Rabu, 20 Juli 2016

Puing 1 #Jingga #NovelSeries

“Bergegas, Jingga! Langit sudah mau jatuh. Gerimisnya membesar.” Livi berlarian mencari tempat berteduh.
Belakangan ini cuaca di Jakarta memang sedang moody. Sejam lalu terik, kemudian berganti gelap. Livi benar, mendung yang menggelayut di akhir Bulan Maret ini bagaikan hendak tumpah, mengguyur seluruh permukaan bumi dan isinya. Jingga tidak ikut berlari menghindari tumpahan langit seperti yang dilakukan asisten sekaligus sahabat baiknya, Livi. Gadis berpengawakan mungil dan imut itu amat menyukai hujan. Menurutnya bulir air yang menetes dari langit merupakan hiburan dari Tuhan. Selalu mengesankan.
“Jingga, apa kau tidak mendengar kata-kataku? Lari, Jingga! Nanti kau basah kuyup setiba di kantor,” Livi berteriak seperti tarzan. Tak sadar kalau orang-orang di sekitar memperhatikan tingkahnya macam anak kecil main tak umpat. Perempuan berkulit sawo matang dan bertubuh tinggi itu berteduh di depan ruko kecil di samping halte busway.
Jingga berjalan santai di antara kesibukan siang itu. Sepanjang trotoar, para pekerja kantoran macam Jingga dan Livi yang sama-sama bosan makan di kantin gedung maupun catering dari perusahaan, memilih makan di kantin gedung tetangga, dan kini berlarian menjauhi hujan. Satpam-satpam repot mengatur masuk dan keluarnya mobil dari dan hendak ke parkiran. Jingga benar-benar tak menghiraukan teriakan Livi yang mati-matian berusaha mengeringkan kemeja formalnya menggunakan tangan yang disulap menjadi kipas buatan.
“Makeupmu luntur, Jingga! Rambutmu akan lepek. Kau bisa sakit. Ah, kau ini selalu keras kepala.” Livi terus berteriak. Napasnya tersengal, seperti habis berlari satu putaran kebun binatang.
“Biarkan saja,” jawab Jingga ketus setibanya setengah menit kemudian menyusul Livi di tempat berteduh. Ia bahkan sama sekali tidak mempermasalahkan makeupnya luntur, rambutnya lepek, kemeja blousenya kuyup, sepatu hak tingginya kotor, dan akan sakit seperti yang dikatakan Livi barusan. Tak lama berselang, halte yang mereka singgahi penuh sesak oleh manusia-manusia yang takut tertimpa air hujan dan menjadi ajang arisan dadakan.
“Kau jangan gila, Jingga!” Livi mencoba tidak peduli. Ia masih sibuk mengeringkan bajunya dengan tangan. Kemejanya tidak sebasah Jingga, karena lebih dulu sampai di tempat berteduh, tetapi ia terus berusaha bagaimana caranya agar kemejanya kembali kering. Percuma, tampias air hujan yang tertiup angin menambah basah kemejanya.
Jingga tersenyum memperhatikan ulah Livi yang terus berkicau, tidak bisa diam. Ia melirik jam tangan warna silvernya, waktu istirahat tinggal 17 menit lagi, sementara hujan semakin lebat. Sebenarnya gedung perkantoran tidak terlalu jauh, sekitar 20 meter dari tempat mereka berdiri saat ini. Hanya tinggal menyeberang jalan, melewati dua gedung perkantoran yang tinggi menjulang, dan menerobos taman serta lahan parkiran. Jingga bisa saja berlari di bawah hujan, sudah kepalang basah juga. Tapi demi menghargai Livi, ia pun harus menghentikan langkah.
“Pekerjaan masih banyak, Liv. Kita harus segera ke kantor,” Jingga menatap jalanan. Mobil yang berseliweran di sepanjang Jalan Sudirman terlihat lengang. Mungkin sebagian pengendara enggan mengoperasikan kendaraan roda empatnya saat turun hujan.
Dulu sebelum gubernur DKI baru dilantik, jalanan ini semburawut macam benang kusut. Sepeda motor yang jumlahnya jutaan memadati seluruh badan jalan. Ribuan kendaraan roda empat dan dua milik pribadi, angkutan umum seperti bus patas, kopaja, metromini, angkot-angkot kecil, dan bajaj, kerap membuat Jakarta tidak bergerak dan berisik oleh riuh klakson yang terdengar bagai terompet di malam tahun baru. Setiap hari seperti itu. Membosankan. Ia dan semua penghuni Jakarta merasa setahun lebih tua dari umur sebenarnya, termasuk Livi yang masih mengeluh tentang bajunya yang basah.
Livi memandangi Jingga tidak suka, “Kau memang benar-benar sudah gila, Jingga! Di otakmu cuma ada pekerjaan, pekerjaan, dan pekerjaan, tidak jauh-jauh. Aku kenyang mendengarnya,”
Jingga mengangkat kedua alisnya, Loh, ada yang salah dengan ucapanku? Memang begitu kan kenyataannya? “Lantas sampai kapan kita menunggu hujan reda? Pekerjaan menggunung sudah memanggil-manggil untuk diselesaikan, Liv,” Jingga melirik lagi jam tangannya. Jarum panjangnya kini sudah di angka 10, sepuluh menit menjelang pukul 13.00 WIB. “Sebentar lagi jam istirahat berakhir,” Jingga menarik napas resah.
“Bisa tidak, sekali waktu di luar kantor tidak perlu membahas soal pekerjaan. Mau dibahas habis juga tidak akan pernah ada habisnya. Habis sih, kalau perusahaannya gulung tikar,” Livi bersedekap dada, tidak ingin berkomentar lebih panjang.
“Aku akan ke kantor sekarang,” Jingga membungkukkan badan, melipat ujung celananya.
Livi pura-pura tidak mendengar.
“Kau mau ikut denganku, atau tetap menunggu hingga langit bersih dan menampakkan kembali matahari teriknya?” Jingga berdiri menatap sekitar, ancang-ancang melangkahkan kaki. “Apa kau berharap ada pelangi seusai hujan? Silakan…” tegasnya melirik Livi sambil ancang-ancang menerobos derasnya hujan.
Livi menoleh. Ia sendiri tak dapat memastikan kapan hujan akan usai. Mau tidak mau ia harus ikut pulang ke meja kerja bersama Jingga yang super keras kepala.
“Apa boleh buat,” Livi mengangkat bahu pasrah dengan wajah tertekuk.
Jingga menoleh ke kiri jalan, memastikan tidak ada mobil yang lewat. Tangannya diangkat ke atas kepala, berusaha menampik air hujan mengenai ubun-ubunnya. Gagal. Pada akhirnya, tidak ada satupun tetesan dari awan beku itu berhasil dihalang. Sudah kepalang.
Livi tertinggal beberapa langkah di belakang Jingga. Ia berjalan setengah berlari menyusul rekan kerjanya. Sial, air hujan perlahan masuk ke celah-celah sepatu pantopelnya yang mendadak membuatnya licin. Perempuan berambut pendek itu terpeleset tepat di bahu jalan.
“JINGGA…” Livi berteriak menahan sakit. Rintihannya kalah oleh derasnya gemericik hujan.
Dan tiba-tiba…
Terdengar bunyi ban mobil direm mendadak, memekakkan telinga. Kegaduhan terjadi. Suara klakson terdengar bersahutan membuat bising. Livi berteriak histeris. Ia menutup kedua mata dan telinganya. Bunyi itu cukup kencang. Hanya berbatas satu meter saja darinya. Jika kalian melihatnya, pasti bagai menonton adegan film Fast & Furious versi nyata. Betapa menggentarkan.
Jingga yang merasa ganjil, menengok ke arah belakang. Matanya terbelalak menyaksikan Livi terjatuh di bahu jalan sambil memegangi tumit kakinya, mengaduh kesakitan. Entah dia menangis atau tidak. Kalaupun menangis, air matanya tersamarkan oleh rintikan air hujan. Jingga berlari panik menghampiri Livi yang terlihat meringis mencopot sepatu pantopelnya.
“Ya Tuhan, Livi, apa yang terjadi?” Jingga menyentuh lembut bahu Livi.
“Kakiku terkilir, Jingga. Tolong bangunkan aku! Sakit sekali...” Livi berkata parau. Ia jatuh persis di depan mobil yang hampir saja menabraknya. Beruntung pengemudi di dalam mobil berwarna putih itu berhasil mengendalikan rem.
“Pelan-pelan, Liv,” Dengan sigap, Jingga membantu membangunkan Livi, memapahnya ke trotoar. Ia juga melambaikan tangan pada orang yang ada di dalam mobil yang nyaris menabrak sahabatnya agar segera bertanggungjawab.
Sesosok laki-laki berbadan tegap tinggi keluar dari mobil, memekarkan payung besar bermotif kotak-kotak biru, bertanya apakah Livi baik-baik saja.
“Tidak apa-apa, Pak. Hanya terkilir,” tukas Jingga mencoba biasa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Suara klakson semakin ramai. Rasa-rasanya ini bukan malam tahun baru yang sebelumnya sempat dibahas. Iringan suara panjang, pendek, dan tak berarturan itu membuat kepalanya pusing. Pemuda itu menundukkan kepalanya meminta maaf pada pengendara lain karena membikin kemacetan panjang dan segera meminggirkan posisi mobil Fortunernya ke sisi kiri jalan.
“Aku sungguh minta maaf,” ujar pemuda itu dengan payung kotak-kotak ekstra besar usai memarkirkan sembarang mobilnya. Spontan payung besarnya menghalangi tubuh Jingga dan Livi dari guyuran air hujan.
“Tak apa. Kecuali kau tidak mampu mengerem mobilmu dengan terampil dan mengenai anggota tubuh sahabatku, sampai mati aku tak akan memaafkanmu. Dan bisa jadi urusan kita sampai ke pengadilan,” tukas Jingga ketus.
Pemuda itu mengangguk. “Kantor kalian dimana?” tanyanya basa-basi.
“Di sana, tidak terlalu jauh.” Jingga menunjuk gedung berwarna biru dongker yang berdiri gagah di depan pelupuk mata.
Pemuda itu mengulum senyum, merasa lega. “Biar kuantar,” sapanya jentel.
“Tidak perlu. Lagipula kami terlanjur basah,” sergah Jingga menolak.
“Kenapa kalian nekat sekali? Kenapa tidak menunggu hujan reda?” tanyanya menginterogasi.
Livi diam, takut salah menjawab. Ia membiarkan Jingga yang memberikan keterangan pasca insiden kakinya pincang. Dalam hatinya meringis kesakitan. Dua sepatunya ditenteng oleh Jingga. Tapi kalau dipikir-pikir, pemuda berkumis tipis ini tampan juga, bisiknya nakal.
Jingga juga diam, tak dapat berkata-kata. Ini salahnya, memaksa Livi untuk ikut pulang dalam keadaan hujan setengah badai. Bila diceritakan pada laki-laki asing ini, bisa-bisa berbuntut panjang. Dia malas berujar.
“Hmm.. Baju kalian basah kuyup. Perlukah aku membantu membelikannya di swalayan terdekat?”
“Perlu sekali,” Sambar Livi menggebu-gebu. “Aku tidak ingin jatuh sakit memakai baju basah hingga sore,” mulutnya manyun.
“Hehehe…” Pemuda itu tertawa pelan.
“Tidak usah repot-repot, Pak. Kami punya pakaian salin cadangan di loker. Mungkin teman saya lupa,” Jingga menunduk memperhatikan jalan, takut terpeleset seperti Livi.
“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau sudah menyiapkan baju ganti?” protes Livi tidak terima dibilang pelupa.
“Karena kau bawel sekali, Livi. Aku pusing mendengar celotehanmu,” Jingga melotot sebal menyuruh Livi diam.
Livi mengerutkan dahi. Di taman serba hijau yang dihiasi bunga kaktus dan hamparan rumput jepang, ia membenarkan kalimat Jingga. Tak ada seorangpun yang mampu menandingi kebawelannya. Dan tak ada seekor cicak yang tak gentar melihat Jingga melotot, seakan bola matanya hendak copot. Menyeramkan. Livi bergidik membayangkan jika kedua bola mata Jingga benar-benar lepas dari cangkangnya.
“Sudah-sudah, jangan bertengkar.” Pemuda itu tertawa lagi. “Jangan panggil Pak. Saya belum menjadi bapak.”
“Benarkah?” Mata Livi berbinar-binar. Rasa sakitnya tiba-tiba menghilang.
“Benar,” jawabnya singkat.
Jingga tidak menyimak obrolan kecil antara sahabatnya dengan orang asing yang sedang memayunginya saat ini. Baginya obrolan itu sama sekali tidak penting. Gadis mungil itu memandang lurus ke depan, tidak lagi memperhatikan jalan. Tiba-tiba kakinya tersandung selang yang terhubung ke taman. Dasar selang sialan! Beraninya bersembunyi di balik rumput. Makinya dalam hati.
“Kau tidak apa-apa, Jingga?” Pemuda itu spontan menahan tangan dan tubuh Jingga. Payungnya miring, membuat Livi kehujanan lagi.
Jingga shock. Jika saja tak ada si pemuda asing ini, ia sudah tersungkur mencium rumput dan tanah. Sepasang pantopel milik Livi yang dipegang Jingga jatuh. Ia buru-buru bangkit dan mengambilnya.
“Makanya, lepas saja sepatunya sepertiku, Jingga. Kau ini memang keras kepala,” celoteh Livi tanpa dosa.
Jingga melotot kesal. Maksudnya tidak lain begini; “Bisakah kau diam sebentar, Livi?” kecamnya dalam hati.
“Benar, dilepas saja. Daripada terkilir seperti temanmu, kan repot jadinya, hehehe…” Pemuda itu meledek.
Jingga tersenyum kecut. Livi memang pantas diledek.
“Sudah hampir sampai, Pak. Jadi aku tidak perlu melepas sepatu,” ungkap Jingga jutek. “Sekarang Bapak bisa meninggalkan kami di sini dan kembali ke mobil. Di sana pasti banyak orang yang sebal gara-gara mobil Anda berhenti sembarangan.”
Livi mencubit pinggang Jingga yang ditimpal dengan pekikan. Jangan judes-judes dong jadi orang, bisiknya pada Jingga. Jingga hanya memasang ekspresi sebal. Tak lama ketiganya sudah tiba di pintu masuk. Pemuda itu undur diri, sekali lagi meminta maaf karena nyaris menabrak Livi. Jingga lai-lagi menjawabnya singkat. Ia menggosok-gosokan telapak tangannya untuk menghilangkan rasa dingin.
Livi mengelus dada, bersyukur ia selamat dari kecelakaan maut meski kakinya sedikit membiru, “Lain kali, kau tidak boleh mengebut dalam keadaan hujan deras. Untung saja remnya pakem. Coba kalau blong, aku tidak tahu bagaimana nasibku nanti. Kau akan masuk penjara.” tuturnya panjang lebar.
“Aku sungguh minta maaf. Aku buru-buru menerjang hujan demi tiba di tempat meeting tepat waktu,” kata Pemuda itu terus terang.
“Lekaslah kembali ke mobilmu, Tuan! Aku tidak suka bunyi klakson memenuhi gendang telingaku.” Jingga memalingkan badan, memasuki pintu masuk yang disulap oleh kaca ajaib yang bisa membuka dan menutup dengan sendiri secara otomatis tiap kali ada seseorang yang masuk dan keluar gedung.
“Dia memang seperti itu, jutek dan keras kepala. Lain kali kau harus tetap hati-hati saat mengendarai kendaraan. Karena bisa merugikan diri sendiri dan nyawa orang lain,” desis Livi menggigil.
“Terimakasih sudah mengingatkan. Lain kali saya akan lebih berhati-hati. Baiklah, kalau begitu saya mohon pamit. Segeralah ganti pakaian kalian. Kalau perlu, mandi air hangat dulu.” Pemuda itu tersenyum. Senyum yang sangat manis. Ia membalikkan badan menuju mobilnya yang terpakir sembarang di sisi jalan.
“Hey, siapa namamu, Tuan? Kau bahkan sudah tahu nama kami,” teriak Livi hendak mengejar, namun tidak jadi mengingat kakinya terasa ngilu. Yang ada ia malah meringis kesakitan memegangi lutut dan tumit kakinya.
Pemuda itu menoleh sebentar, tersenyum melambaikan tangan, membalikkan badan dan berlalu tanpa memberi tahu siapa namanya. Cowok yang aneh, protes Livi sebal.
“Tidak perlu berlebihan begitu pada orang asing, Livi. Cepat masuk! Atau kau mau punggungmu penuh tato kerikan tulang ikan kakap atau hiu lantaran terlalu lama mengenakan baju basah?”
“Eh? Kupikir kau sudah ganti pakaian,” Livi menghampiri Jingga yang berdiri disamping meja security, kemudian berjalan bersisian menuju lift ke lantai sebelas. “Sebentar, Jingga. Aku tidak mengerti, kenapa akhir-akhir ini kau berubah drastis? Bukankah kau selalu menyenangkan dengan orang baru? Dan kau selalu bisa mencairkan suasana?” Livi menatap janggal sahabatnya.
Jingga mengangkat bahu. Ia memang terkenal ramah dan supel pada orang yang baru dikenal. Tetapi tidak untuk hari ini. Mengapa dia berubah? Dirinya sendiripun menggeleng tidak tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar