Seperti biasa, akhir pekan merupakan hari yang paling dinanti bagi sebagian besar penghuni kota metropolitan, khususnya bagi mereka yang mempunyai segudang kesibukan. Jingga berjalan bersisian dengan Rama menuju Food Court. Perut mereka kerucukan, mengingat tadi siang hanya mengemil makanan ringan sebagai ganjal penghilang lapar.
“Aku mau makan bistik. Kamu?” Jingga memandangi neonbox bergambar daging sapi bulat-bulat, lalu memandang wajah Rama, meminta persetujuan.
Rama mengangkat bahu, yang maksudnya, why not? Walaupun ia tidak memakan daging sapi, Rama tidak protes. Di list menu itu, dia bisa memilih menu lain. Ada gado-gado, capcai, puyunghai, dan soto ayam. Rama adalah seorang vegetarian, meski sesekali memakan daging ayam dan ikan.
“Kamu tidak makan nasi?” Rama memperhatikan Jingga menuliskan pesanan di list menu.
“Kamu juga tidak makan nasi,” Jingga mencatat pesanan Rama, yakni mie kuah ala-ala.
“Tapi kamu kan baru saja sehat, harus makan karbohidrat yang banyak,”
Jingga berhenti mencatat. “Aku sudah sehat. Nah, minumnya mau apa?” Jingga kembali memandangi list menu. Meski kadang pilihannya selalu jatuh pada ice lemon tea atau air mineral.
“Ice lemon tea,” kata Rama cepat.
Jingga menuliskan angka ‘2’ pada kolom ice lemon tea. Kali ini bukan kebetulan. Melainkan dari dahulu kala pilihan minumnya ya memang itu-itu saja.
Satu per satu pengunjung mengosongkan meja makan. Diganti dengan pengunjung lain yang terlihat menahan lapar. Jingga memilih meja paling ujung dekat jendela. Lampu di luar berkelip bagai lampion. Kesibukan Jakarta di malam minggu ini ditutupnya dengan makan malam bersama pria asing yang baru saja dikenalnya.
“Apakah ada yang menarik di luar? Serius benar,” Rama membangunkan lamunan gadis yang sedang menopang dagunya.
“Eh, tidak. Biasa saja. Maaf, aku lupa kalau saat ini sedang tidak sendirian.” Jingga memperbaiki duduknya yang miring. Tiga tahun terakhir ia terbiasa sendiri, kemana-mana sendiri, mengurus ini itu sendiri, makan dan minum sendiri, mandi dan pakai baju sendiri, nyuci baju sendiri, bahkan memotong kuku pun sendiri. Persis yang dilakukan Caca Handika dalam lagu galau andalan. Wajar jika kehadiran Rama membuatnya sedikit berbeda.
Rama mengangkat alis. Melihat wajah Jingga sedekat ini rasanya bagaikan melihat lukisan seorang perempuan yang tak pernah selesai dilukis. Raut wajah Jingga begitu rumit. Membuatnya tak sadar memandangi detil setiap bagian dahi yang lugas, alis yang melengkung sempurna, mata yang sedikit sayu dengan bulu mata agak lentik namun bercahaya, hidung yang membentuk 45 derajat, pipi oval yang sedikit tirus, dagu yang sekilas bagai sangkar burung tempua yang menggantung tanggung, dan terakhir… bibir. Bibir tipis dan basah yang sesekali menyembulkan barisan putih di dalamnya. Begitu seksi. Dasar warna merah muda yang bukan berasal dari pewarna, membuat ia ingin mengecupnya.
“Hey?” Jingga melambai-lambaikan tangannya ke wajah Rama, merasa sedang ditelanjangi.
Wajah Rama bersemu merah, “Emm… maaf, tadi aku pikir semut. Ternyata tahi lalat.” Rama mengalihkan pembicaraan. Tetapi ia tidak bohong, tahi lalat itu pas sekali terletak di sebelah kanan bibir bawah Jingga, menambah kesan manis ketika mulutnya berceloteh dan melengkungkan senyum.
Jingga menggigit bibir, pura-pura tidak mengerti. Ia menggerai rambutnya yang panjang setelah seharian menguncirnya. Warna kecoklatan di tiap helainya, membuat sisi feminin gadis itu semakin terlihat mempesona.
“Kamu kerja dimana?” Jingga membuka obrolan saat pelayan kafe menyuguhkan pesanan ke meja.
“Tidak kerja.” Rama menyedot ice lemon tea, menghilangkan dahaga selama dua jam terakhir menghadapi kemacetan.
“Masa? Aku tidak percaya,” selidik Jingga sembari mengambil garpu dan pisau yang tersaji di samping panggangan stik.
Rama melempar senyum meyakinkan. Tapi itu percuma. Jingga bukanlah orang yang mudah percaya. Maka diulanginya pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
“Kamu bekerja sebagai apa?”
“Aku tidak bekerja, Jingga. Masih belum percaya?” Rama merebahkan punggungnya ke kursi.
“Haruskah aku percaya padamu?” Jingga memicingkan matanya.
“Tidak percaya juga tidak apa-apa,” Rama menyodorkan kartu nama pada Jingga, berharap gadis itu mau percaya padanya. Ia langsung menyerbu makanan yang diantarkan waitress dengan lahap.
Jingga mengambil kartu nama yang disodorkan Rama. Ternyata pemuda itu tidak berbohong. Ia mengiris-iris potongan daging bulat menggunakan pisau dan garpu, kemudian menyuapkannya ke dalam mulut mungilnya. Sesekali terlihat kepanasan karena tidak sabar melahap potongan daging tersebut.
Rama memperhatikan tingkah Jingga, lagi-lagi mengulum senyum. Perempuan yang berada di depannya lucu juga. Gumamnya dalam hati.
“Pelukis juga profesi. Maka pekerjaanmu adalah melukis,” Jingga menyedot ice lemon tea dengan nikmat.
“Bukankah itu seniman?” sangkal Rama ber-huh-hah kepedasan.
“Pekerja kantoran juga seniman. Akunting misalnya, sejenis seni mencatat suatu transaksi yang berhubungan dengan keuangan. Marketing juga seni. Seni mengumpulkan pelanggan untuk mencintai produknya.”
“Tapi melukis yang lebih tepat dikatakan seni dibandingkan seni mencatat dan mengumpulkan pelanggan,” Rama membela pendapatnya.
Kali ini Jingga yang tersenyum. Ia malas adu argumen. Lebih tepatnya tidak suka berdebat.
“Kamu tidak bosan menjadi pekerja kantoran?”
“Memangnya kamu mau menafkahiku?” Jingga fokus pada santapannya, tidak menggubris pertanyaan konyol Rama. Mana ada pekerjaan yang tidak membosankan? Kalau bukan karena tuntutan, ia tidak mau bekerja. Mungkin akan bahagia menjadi pengangguran yang setiap bulan menerima gaji. Tapi pertanyaannya, siapa yang mau menggaji pengangguran? Presiden? Ah, orang pertama di Indonesia itu juga akan berpikir ulang bila harus menggaji jutaan pengangguran.
“Mau,” candanya sambil mengangkat alis.
Jingga berbeda dengan gadis kebanyakan. Dialah sosok wanita yang selama ini ia cari. Gadis yang tak pernah selesai dilukis dan dideskripsikan dalam karyanya.
“Emm…,” Hanya itu komentar Jingga. Gadis itu lebih asyik menandaskan bistik terakhirnya daripada merespon candaan garing Rama. Ia mengambil tisu dan mengelap mulutnya dari sisa makanan yang menempel. Hanya tertawa menanggapi celotehan Rama yang garing.
“Sejak kecil aku paling benci pelajaran menggambar, melukis, apalah itu yang berbau seni rupa. Kau tahu, aku selalu mendapatkan nilai enam dari pak guru,” Jingga tertawa mengingat masa sekolahnya dulu.
“Tapi aku pengagum lukisan.” Jingga memandangi Rama lamat-lamat. Guratan wajah pemuda itu tegas, rahangnya kuat, alis tebal, hidungnya bak burung rajawali, bibirnya yang merah, di dagu dan sela-sela bibir atas dan hidungnya terdapat bulu halus bekas dicukur. Begitu seksi. Saat ia tersenyum dan bicara, membuat Jingga ingin menciumnya.
“Besok siang, aku mau ke pameran lukisan di Jakarta Convention Center (JCC). Kamu mau ikut?” Rama sudah selesai menghabiskan seporsi mie kuah ala-ala. Ia mengelap mulutnya dengan tisu, menirukan gaya Jingga.
Mata Jingga berbinar-binar. Tanpa pikir panjang, ia mengangguk dan tersenyum meyakinkan: pasti datang. Rama membalas senyuman itu dan mengantar Jingga pulang ke apartemennya. Meski mereka terhalang satu kamar, tetapi Rama tidak ingin terang-terangan masuk ke dalam ruangan apartemennya berbarengan dengan Jingga. Ia pura-pura memutar mobil kemudian menuju basemant dan menyusul langkah Jingga dari belakang.
***
Sinar mentari menerobos masuk ke pentilasi kamar Jingga yang menghadap timur. Semalam tidurnya amat nyenyak. Pagi ini ia berniat untuk menggerakkan badannya di taman apartemen. Mungkin itu akan membuat fisiknya sedikit bugar.
Setelah meminum segelas air mineral, Jingga menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitasnya, yakni mencuci muka dan menggosok gigi. Kemudian ia memakai kaos dan celana training, serta menggantungkan handuk kecil di leher.
Saat menuntaskan satu putaran, gadis mungil dengan tinggi hanya 162 cm itu nampak mengatur napasnya yang tersengal. Ia duduk di pinggiran taman serba hijau yang sengaja ditanam oleh petugas apartemen untuk menambah oksigen bagi para penghuninya. Jingga kaget saat Rama duduk di sampingnya.
“Kamu joging juga?” tanyanya sambil menyeka dahi dan pundaknya yang berkeringat.
“Kenapa kamu ada di mana-mana? Jangan-jangan, kamu mengintilku ya?” Rambut Jingga yang panjang dan kecoklatan itu sedikit basah oleh keringat. Ia mencepolnya sembarang. Tengkuknya terlihat seksi.
“Mungkin,” Rama mengangkat bahu. Tiga kali dalam seminggu ia selalu lari pagi, tapi baru kali ini ia melihat Jingga di taman ini. Juga sudah tiga tahun lamanya ia menempati apartemen di daerah Permata Hijau yang ternyata hanya terhalang satu kamar dengannya. Kemana saja dia selama ini? Terlalu sibuk kah? Dirinya bertanya-tanya dalam hati.
Cahaya mentari sudah sepenggalah naik. Perut Jingga mulai keroncongan. Ia mengajak Rama untuk menemaninya sarapan bubur kacang hijau di pinggir jalan, dekat apartemen.
“Kamu tidak lupa kan, kalau nanti siang akan menemaniku ke pameran lukisan?” Rama telah selesai menandaskan makanannya.
“Tentu aku tidak melupakannya,” Jingga menyipitkan mata. Ia mohon pamit untuk segera beranjak ke toilet. Perutnya tiba-tiba mules.
Rama sedikit kecewa, ia pura-pura menawarkan jasa, “Perlu kuantar?”
Jingga menoleh sebentar, “Kau mau menggendongku?”
“Mau,” Suara Rama terbang terbawa angin. Ia hanya memandang punggung Jingga yang menjauh.
**
“Wawww…. Lukisannya indah sekali!” Mata Jingga terbelalak memandangi satu per satu lukisan yang tergantung di tembok. Ada yang beraliran realisme, surealisme, natural, impresionisme, abstrak, hingga auvisme. Dari mulai lukisan poster, coretan di acrylic, hingga kanvas. Semuanya indah, apalagi yang melukisnya, hatinya menerka-nerka sok tahu.
Jingga tak dapat memejamkan matanya walau sedetik. Ia terus memusatkan pandangannya mengamati lukisan sebuah perkotaan kuno yang berada di hadapannya. Warna dan teksturnya sungguh natural. Persis dengan kenyataan aslinya.
“Bagaimana, Nona? Tertarik dengan lukisannya? Ini lukisan terindah dan termahal yang ada di pameran ini. Nanti keburu diambil orang, loh.. Hehehe,” Seseorang berkemeja belang-belang dan berdasi kupu-kupu mendekati Jingga.
“Ini harganya berapa?” Jingga penasaran.
“Seratus juta,”
Jingga memekik tidak percaya. Seseorang yang melukis gambar ini, pastilah pelukis yang amat berbakat. Jingga menarik napas.
“Belum ada setengah hari, lukisanmu sudah laku sepuluh. Hebat sekali,” Laki-laki yang barusan basa-basi pada Jingga, menepuk bahu Rama dan mengobrol akrab.
“Tapi saya ragu dengan penawaran sebesar ini,” Rama memasukkan tangannya ke saku, melirik lukisan yang katanya terindah dan termahal. Ia sama sekali tidak membuat harga semahal itu.
“Jangan pesimis, Kawan. Bahkan di luar negeri harga suatu seni sampai berdolar-dolar. Milyaran rupiah. Saya yakin penjualan kali ini sukses besar,”
“Jadi ini lukisanmu, Rama? LUAR BIASA!!!” Jingga menatap Rama takjub.
Rama hanya tersenyum. Baru kali ini ada wanita yang memujinya seperti itu. Tapi pancaran wajah Jingga nampaknya tidak berdusta, bahwa gadis itu benar-benar mengangumi semua hasil karyanya.
“Kalian saling mengenal?” tanya laki-laki berkulit gelap yang memperbaiki dasi kupu-kupunya.
“Saya yang mengajaknya ke mari, Ton.”
“Kau ini diam-diam saja kalau membawa gadis cantik. Kau tidak mengenalkannya padaku?” Pria berambut klimis itu meledek.
“Itupun kalau dia mau menjadi gadisku,” Rama melempar senyum malu-malu pada Jingga.
Wajah Jingga bersemu merah. Banyak orang yang mengatakan dirinya cantik. Tapi belum pernah sebahagia ini.
“Jingga, perkenalkan ini Anton, rekan melukis dan kawan seperjuanganku. Dia pula yang menjadi seksi repot atas pameran ini. Dialah yang mengatur semuanya. Sejauh ini prediksi yang ditawarkan belum pernah meleset. Dia sungguh berjasa.”
“Aku yang seharusnya terimakasih karena berkat pemuda berbakat inilah, saya bisa memajang lukisan super keren dan mengundang banyak pecinta seni lukis yang terkagum-kagum,” Anton menepuk bahu Rama penuh semangat.
“Jadi gadis ini benar gadismu, bukan?” Anton mengulang pertanyaan.
Rama menggeleng. Tidak ingin salah mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Tapi ia berharap apa yang dikatakan rekan kerjanya menjadi kenyataan.
Setelah asyik berbincang dengan Anton dan melihat-lihat lukisan, Rama menarik lengan Jingga menuju pusat stand pameran. Disana berdiri rekan bisnis lainnya, yakni Pak Alex. Beliau adalah orang yang telah berjasa mempromosikan kerja keras Rama.
“Apa kabar, Pak Pelukis? Senang sekali bisa bertemu lagi di ajang bergengsi ini,” Pak Alex mengambil microphone dan mempersilakan Rama untuk naik panggung.
Sesi tanya jawab antara penikmat seni dan seniman berlangsung. Jingga dipersilakan duduk oleh panitia karena diketahui datang bersama tamu kehormatan. Ia merasa tersanjung dan haru. Melihat gaya bicara Rama yang penuh wawasan, membuat Jingga salut dan tak berhenti tersenyum. Mungkinkah pemuda ini sosok yang ia cari selama ini? Hatinya masih perlu menimbang-nimbang.
Rama menyaksikan rasa kagum dari pancaran senyum Jingga yang selalu merebak. Kepercayaan dirinya meningkat karena gadis itu menemaninya dalam event penting ini. Ia sangat berharap gadis itu mau membuka hati sebagaimana dia telah berhasil membobrok hatinya yang lama mati.
Lepas ajang meet and great, Rama berbincang sebentar dengan panitia event organizer, lalu menggandeng lengan Jingga untuk pulang. Ia tidak ingin gadis manis itu kelelahan karena terlalu lama berada dalam keramaian. Jingga perlu istirahat dan bersantai di kamar, mengingat fisiknya belum sehat benar.
Ada sesuatu yang berbeda saat menyentuh tangan Jingga. Begitu halus dan lembut. Padahal ini bukan kali pertamanya ia menyentuh perempuan yang kini mengenakan sackdress berwarna peach polos selutut. Jingga begitu anggun dan menggoda. Membuat Rama gemas ingin menculiknya ke planet terjauh dari bumi di bagian utara.
Dada Jingga berdebar saat lengan Rama menggandengnya erat. Seakan tidak mau dirinya menjadi anak ayam hilang di tengah kerumunan. Tak sadar ia pun membalas genggaman tangan pemuda itu hingga ke parkiran basemant. Ada yang menggelitiki perutnya. Getaran aneh itu membuat jantung Jingga berdegup tak beraturan. Apakah ini cinta? TIDAK! Jingga buru-buru melepaskan genggaman tangan Rama dengan kasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar