Rabu, 20 Juli 2016

Puing 8 #Jingga #NovelSeries

Jingga membenamkan wajahnya di dada bidang Rama. Rasanya begitu nyaman berada dalam pelukan itu. Ia tidak tahu apakah harus membenci Rama atau malah sebaliknya. Ia tak bisa memungkiri kalau dirinya membutuhkan Rama lebih. Tapi lidah itu sulit sekali mengucapkan kata. Ia hanya bisa terisak di pelukan pemuda asing yang telah membuat hidupnya semakin kacau.
Rama seketika merasa bersalah. Kenapa Jingga menangis di pelukannya? Mungkinkah ia marah padanya karena sudah lancang menyentuh bibir manisnya? Rama hanya bisa membalas pelukan Jingga. Terdiam. Ia merasa sangat bersalah.
“Jingga, aku minta maaf. Aku melakukan kesalahan fatal. Maaf jika aku melakukan ini karena aku tertarik padamu sejak awal kita berjumpa di bawah hujan itu, di rumah sakit, di rumah makan, dan di sini. Aku menginginkanmu lebih dari teman.”
Jingga masih membenamkan wajahnya di dada Rama. Isakannya semakin kencang. Rama bingung harus berbuat apa. Ia tak pernah tega menyaksikan wanita yang dicintainya menangis sesegukan seperti ini. Tiba-tiba bayangan wajah sang ibu melintas di kepalanya. Wanita yang amat dicintainya sejak kecil, yang menangis saat mengantarnya ke bandara untuk waktu yang sangat lama.
“Aku benci padamu, Rama…” Jingga mengangkat kepalanya yang terbenam beberapa menit. Ia mengambil tisu di atas meja, menyeka pipinya yang berlumuran air mata.
Kaos Rama basah oleh air mata Jingga yang menyelinap hingga ke bulu dadanya. Ia membantu mengambilkan sehelai tisu untuk Jingga. Perasaannya sungguh bersalah.
“Aku benar-benar minta maaf, Jingga. Sungguh aku tidak berniat untuk melecehkanmu,” Rama menundukkan kepala.
Jingga terisak lagi. Air matanya tumpah lagi.
“Aku membencimu karena kau telah membuatku menyukaimu,”
“Lantas kenapa kamu membenciku?” Rama menarik napas lega, menggenggam erat jemari tangan Jingga, mencoba menenangkan gadis itu. Kali ini ia yang memeluk tubuh mungil Jingga, mencium keningnya lama, kemudian mengusap air mata yang membasahi mata dan pipi Jingga. Rasanya tidak percaya, gadis yang dicintainya membalas perasaannya.
Dalam pelukan Rama yang nyaman, Jingga terpaksa mengakui penderitaannya selama ini. Sudah tak terhitung berapa kali hatinya terluka oleh cinta. Gadis yang mendekati kepala tiga itu trauma akan masa lalunya yang menyakitkan. Dari mulai cinta pertamanya yang tidak direstui orang tua, dikhianati oleh kekasihnya yang ke-2, diselingkuhi oleh mantannya yang ke-3, dibohongi oleh pacar ke-4, dimanfaatkan oleh cintanya yang ke-5, ditipu habis-habisan oleh calon tunangannya yang ke-6, digantung oleh mantan kekasihnya yang terakhir.
Harapan akan cinta yang tulus, ibarat berada di sebuah ayunan yang naik turun. Bukannya bahagia, ia malah sering terjatuh, tidak dapat bertahan. Sejak hubungan tak direstui sepuluh tahun silam, ia berjuang mati-matian untuk sukses agar kelak tidak ada lagi orang yang menginjak harga diri dan keluarganya. Orang miskin memang tidak pantas untuk merasakan cinta, pikir Jingga.
Kini Jingga sudah sukses, tetapi cinta pertamanya keberatan untuk menjalani hubungan jarak jauh. Laki-laki itu menikah dengan perempuan lain. Hatinya amat terpukul bila mengingat perjuangannya mempertahankan cinta yang terpisah puluhan kilometer yang berakhir sia-sia. Saat ada orang lain yang menggantikan senyumnya yang hilang karena patah hati, ia harus menerima kenyataan kalau orang itu hanya memainkan perasaannya, tidak serius mencintainya. Cinta memang manis di awal saja.
Selanjutnya begitu dan begitu lagi. Hingga mantannya yang terakhir, ia tak pernah berhasil membawanya ke mahligai rumahtangga. Jingga tak tahu sampai kapan harus menemukan cinta sejati yang akan menjadi orang terakhir yang menemani sisa hidupnya.
Hatinya sudah hancur dioper ke sana ke mari. Tak ada yang benar-benar tulus mencintainya sepenuh hati. Gadis itu benar-benar trauma. Pertanyaan dari orang tua, teman, saudara, dan handai taulan lainnya membuatnya semakin tersiksa. Mereka tidak tahu persis apa yang dialaminya selama ini. Ia tidak sudi jika harus jatuh cinta lagi. Terlalu sakit. Itulah kenapa dia membenci kehadiran Rama. Laki-laki itu telah membuatnya merasakan kembali perasaan senang dan bahagia. Tapi ia takut jika harus terluka lagi untuk kesekian kalinya.
Rama mendengarkan keluh kesah Jingga tanpa berani memotong sepatah katapun. Ia mengusap rambut panjang gadis yang ada di pelukannya dengan hati yang terluka. Hatinya sendiripun sebenarnya masih trauma akan kenangan masa silam yang mengasingkan dirinya sampai di kota ini. Ia rela terpisah jauh dari keluarga, saudara, dan teman-teman lainnya. Dirinya pun kerap mendapatkan pertanyaan yang membuatnya kenyang. Sehingga ia lebih memilih mengasingkan diri dibandingkan tinggal dengan luka dan pertanyaan yang menusuk dada.
“Sepertinya cerita kita hampir sama,” Rama mengusap rambut Jingga.
Jingga mengangkat kepalanya dari pelukan Rama, menatap Rama dengan mata sembab. Cerita mana yang sama?
Rama membantu Jingga mengusap air mata yang tersisa di mata dan wajahnya. Laki-laki itu pun bercerita tentang masa lalunya yang kelam. Patah hati itu rasanya sungguh menyiksa. Direndahkan itu sungguh menyakitkan. Ditinggal menikah oleh orang tercinta sungguh membuat frustasi. Tapi bertemu dengan Jingga, ia mencoba memberanikan diri membuka hati. Berharap Jingga menjadi teman hidup selamanya kelak.
“Berjanjilah Jingga, kau tak akan menangis lagi karena luka masa lalu yang menyedihkan. Berjanjilah menjadi gadisku yang kuat dan tegar. Kita hadapi bersama, apapun itu.” Rama memperat genggaman tangannya ke jemari Jingga.
Jingga mengangguk. Ia memeluk Rama sekali lagi. Sungguh nyaman berada di pelukan laki-laki itu. Kalau boleh, malam ini ia ingin tidur di pelukan Rama hingga pagi.
**
Semilir angin menyapa kulit pipi Rama dari balik pentilasi. Tubuhnya masih terbalut selimut tebal. Senyumnya merekah ketika menyadari bahwa diam-diam Jingga menginginkannya. Hatinya telah terisi oleh gadis imut nan manis yang membuat hatinya meleleh tiap kali mengingatnya. Sekarang dia sudah punya tetangga sekaligus teman di apartemen ini selain security dan petugas kebersihan. Rama tidak sendirian lagi.
Selain melukis, kini Rama mempunyai pekerjaan baru, yakni menjadi supir pribadi kekasihnya, Jingga. Maka ia harus membiasakan diri mandi lebih pagi untuk mengantar dan menjemput pujaan hatinya tersebut. Walaupun sebelumnya ia tak pernah punya jadwal rutin bangun pagi seperti ini. Senyumnya yang manis terus mengembang seperti gelombang.
Jingga membaringkan tubuhnya di ruangan yang terhalang satu kamar apartemen dengan Rama. Senyumnya merebak bak bunga mawar yang baru mekar. Ia bangun lebih awal sebelum alarmnya berbunyi. Jatuh cinta selalu seindah ini. Membuatnya selalu ingin terjaga dan dekat dengan orang tercinta setiap saat. Ia masih merasakan hangatnya bibir Rama mencumbunya tanpa ampun. Gadis itu tak dapat berhenti tersenyum. Rasanya ingin mengulanginya sekali lagi.
Hari ini dan seterusnya, Jingga punya supir baru. Rama dengan antusias menawarkan jasa mengantar dan menjemputnya kemanapun yang ia suka, termasuk mengantar dan menjemputnya berkeliling Indonesia. Meski sudah punya Pak Eki, tetapi Jingga tidak akan memecat lelaki paruh baya itu. Pak Eki tetap menjadi supir pribadinya. Ia akan mengalihkan tugaskan untuk menjemput Livi yang sering lupa bangun. Selain untuk cadangan mengantarnya ke sana kemari, Jingga sudah menganggap Pak Eki seperti keluarga sendiri. Ia tidak mau membiarkan lelaki itu kehilangan mata pencahariannya.
“Terimakasih, Rama. Aku kerja dulu,” Jingga membuka pintu mobil.
Namun Rama menahan tangannya, mengangkat alisnya ingin dimengerti. “Ada yang kurang,”
Jingga tersenyum, paham apa yang Rama maksud. Ia mengecup kening, pipi kanan dan kiri, serta bibir Rama yang manis dan hangat. Rama membalas ciuman itu dengan penuh semangat. Menurutnya, kecupan Jingga merupakan vitamin baginya. Dan betapa senangnya hati Rama ketika kekasihnya menjatahkan ciuman itu sebagai ongkosnya karena sudah diantar-jemput.
“Terimakasih juga untuk breakfastnya,” Rama mengacak-acak rambut Jingga yang tergerai. Mendapatkan perhatian kecil seperti dibuatkan sarapan, membuatnya merasa terlahir kembali setelah mengalami kematian panjang.
Rama mencium Jingga sekali lagi dan membiarkan gadisnya membuka sendiri pintu mobil, karena tidak ingin terlihat gombal seperti kebanyakan laki-laki lain.
**
Di ruangan kerja, Livi menatap sebal Jingga karena menugaskan Pak Eki untuk membangunkan tidurnya yang nyenyak.
“Kau tahu, Jingga? Aku sedang melangsungkan mimpiku menggoreng ikan. Untung saja tidak gosong,” Livi memanyunkan bibirnya.
“Mentang-mentang suami kerja siang, kau pun ikut bangun siang. Kau bisa melanjutkan mimpimu nanti malam,” Jingga meletakkan hobo bag hitam mengkilat ke loker, kemudian menyuil roti berisikan irisan buah anggur, apel, dan per yang dilapis coklat putih sebagai sarapan. Tak lupa, ia pun sengaja membuatkannya untuk kekasihnya-Rama, serta asisten langka - Livi, yang sering mendumel.
“Kata Pak Eki, kau punya supir baru? Tapi kenapa mobilmu dibawa Pak Eki? Kau juga punya mobil baru? Lantas memberikan Honda Jazzmu secara cuma-cuma pada Eki?” Livi menginterogasi Jingga sembari menyuap sarapan ringan yang dibuatkan untuknya.
“Perlu kuberi tahu?” Jingga menyalakan komputer sembari mengunyah suapan roti terakhir.
“Tidak perlu. Itu tidak penting bagiku,” Livi melahap roti besar-besar ke mulutnya. Bukannya mengucapkan terimakasih, ia malah berkicau macam burung kenari. Tidak mau diam.
Karena risih dengan ocehan Livi, maka Jingga memberitahu kalau Ramalah yang menjadi supir barunya saat ini. Jingga juga bercerita kalau dia dan Rama sudah menjalin hubungan lebih dari teman.
Livi yang mendengar cerita Jingga memekik senang. Ia memeluk gemas Jingga, mulutnya komat-kamit berdoa semoga kali ini sahabatnya tidak terluka lagi dan bahagia sampai maut memisahkan. Jingga mengamini doa Livi. Bibirnya tak bisa berhenti tersenyum. Sayup-sayup lagu milik Ellie Goulding mengalun indah dari radio kecilnya. Menambah bunga-bunga di dalam hatinya yang mekar dan merebak seperti musim sakura yang gugur tertiup angin.
So love me like you do, lo-lo-love me like you do.
Touch me like you do, to-to-touch me like you do.
What are you waiting for?
Gadis berparas anggun itu hampir saja gagal konsen saking bahagianya. Ia mencoba memfokuskan matanya pada rumus-rumus yang tersaji dalam Microsoft Excel. Hari ini ia mesti mengirimkan email pada pemilik perusahaan tempatnya bernaung mencari selembar rupiah terkait laporan neraca dan rugi/laba yang sudah tertunda dua hari.
Sejak berhasil meluluhkan kerasnya hati Jingga, Rama berpesan pada kekasihnya itu untuk tidak terlalu capek. Jingga tidak boleh lembur dulu sebelum fisiknya benar-benar fit seperti sediakala. Maka tepat pukul 17:00 WIB, Rama menjemput gadis menggemaskan itu di kantornya. Meski Jingga sudah terbiasa sendiri dan menolak keras, aturan Rama tidak boleh dibantah. Semua ini demi kebaikan dirinya sendiri. Maka Jingga pun menurut dengan amat terpaksa.
“Sore ini kita tidak perlu makan di luar. Aku sudah belanja sayuran di swalayan dekat apartemen. Nanti sesampainya di dapur, aku akan masak apa yang kubisa. Kau harus mencobanya, suka tidak suka,” tukas Jingga sembari memasang sabuk pengaman ke pinggang.
“Baiklah, Tuan Puteri. Apapun yang engkau masak, pastilah lezat. Emmm… Rasanya aku mulai lapar….” Rama menggerakkan bibirnya seakan sedang menyantap masakan Jingga yang super nikmat. Aneh, Jingga seperti orang yang tak asing baginya meski baru beberapa hari kenal.
Jingga tertawa. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Rama. Kemacetan sore hari di sepanjang Jalan Sudirman hingga Permata Hijau sungguh membuat borring time. Rama iseng memutar lagu milik Ed Sheeran yang berjudul Thinking of Loud. Duet dadakan pun terjadi di dalam mobil itu.
And Darling I will be loving you till we're 70.
And Baby my heart could still fall as hard at 23.
And I'm thinking 'bout how people fall in love in mysterious ways.
Jingga memejamkan matanya, tak menyangka suara Rama semerdu ini. Hati Jingga benar-benar melayang ke angkasa. Dirinya bagai terhipnotis. Berada di dekatnya, selalu merasa nyaman. Ia tidak ingin kehilangan lagi. Tidak mau. Jatuh cinta bukanlah sesuatu yang indah, karena disamping rasa bahagia, ada rasa takut yang mengancam, seperti takut gagal dan kehilangan. Tapi ia ingin menikmati kebersamaannya dengan Rama. Jikapun hubungan mereka singkat, setidaknya ia merasa menjadi wanita hebat. Cinta itu sungguh aneh. Kadang mengangkatnya tinggi, juga menjatuhkannya ke jurang terdalam.
Rama yang menyadari gadisnya berhenti bernyanyi, mengusap rambut dan mencium kening Jingga yang bersandar di bahu kirinya. Jiwanya serasa kembali menginjak umur 23 tahun. Dan ia memikirkan cara orang jatuh cinta secara misterius. Seperti halnya cinta yang selalu misterius. Juga gadis di sampingnya yang begitu misterius.
Perasaan cinta begitu cepat menjalar ke hatinya yang lama sepi. Rama selalu ingin dekat dengan gadis itu, membawanya ke warna-warna cerah dalam lukisan dunia imajinasinya. Begitupula dengan Jingga. Ia merasa Rama adalah puing hatinya yang hilang. Rasanya tak ingin berpisah sampai maut memisahkan. Oh, inikah sejoli yang dilanda asmara, selalu menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar