Rabu, 20 Juli 2016

Puing 11 #Jingga #NovelSeries

Sabtu malam di pertengahan bulan Juli, Rama tengah sibuk memberesi barang bawaan yang sekiranya penting untuk dipakai di pulau seberang. Jingga ikut mengobrak-abrik kamarnya, membantu apa saja yang akan dipacking.
“Tidak usah banyak-banyak, sayang… Aku hanya sebentar. Di sana aku masih punya pakaian salin untuk sehari-hari,” Rama memperhatikan Jingga yang sedang melipat-lipat kaos dan kemeja ke dalam kopernya.
“Tapi kamu harus bawa ini untuk persediaan selama di sana,” Jingga memasukkan tiga handuk kecil ke koper, mengingat kekasihnya sering berkeringat jika kepanasan.
Rama menarik napas. Kali ini ia tidak boleh menolak apa yang menurut gadis bunglonnya penting bagi dirinya.
“Rama…” Jingga memasang wajah sedih. Ia mendekati Rama yang duduk di hadapannya.
Rama menggenggam jemari Jingga yang dingin, “Kamu sakit?”
Jingga menggeleng.
“Sini aku peluk,” Rama merangkul bahu Jingga penuh kasih.
“Aku pasti akan sangat merindukanmu,”
“Aku juga.” Rama mempererat pelukannya. “Tapi ini demi masa depan kita. Aku akan menikahimu secepatnya,”
Selama beberapa hari ke depan, Rama akan menemui orangtuanya dan memperkenalkannya pada kekasihnya di Jakarta. Hatinya pun merasa berat meninggalkan gadis kesayangannya. Ia takut Jingga akan menerima tamu lain selain dirinya. Ia takut Jingga berpindah ke lain hati selama ditinggal pulang ke kampung halaman. Rama memperhatikan koper warna hitam, berganti memandangi rambut Jingga dengan perasaan takut luar biasa.
Perasaan Jingga tidak enak. Baru kali ini ia merasakan kegelisahan melepas kepergian Rama. Ia berpikir macam-macam tentang kekasihnya itu. Bagaimana kalau pesawatnya mengalami hambatan? Bagaimana jika Rama berubah pikiran? Bagaimana seandainya ada gadis lain yang lebih cantik dan baik daripada dirinya? Jingga tak berani mengatakan hal ini pada Rama. Yang bisa ia lakukan hanyalah memeluk Rama erat, mencium aroma maskulin dan merasakan dada Rama yang bergerak naik turun.
Detak jam dinding dan jantung sepasang kekasih itu seakan menjadi backsound perpisahan mereka. Suara air conditioner dan kulkas menjadi nada tambahan dalam keheningan ruangan yang penuh dengan berbagai lukisan. Rama mengelus-elus rambut Jingga, mengakibatkan gadisnya merasa damai. Gadis itu terpejam di pelukan kekasihnya dengan perasaan yang gelisah.
Rama hati-hati membopong tubuh Jingga ke kamar tidurnya. Menyelimuti gadis itu dengan perasaan takut yang tak terkira. Ia menatap wajah sendu itu seperti bayi kecil yang seakan kehilangan ibu menyusuinya. Rama bersandar pada bantal, kepalanya menunduk sambil memijat pelipisnya yang terasa berat. Sesungguhnya ini hanyalah perpisahan sementara untuk mewujudkan kesakralan antara mereka, katanya meyakinkan hatinya sendiri.
Sekali lagi Rama menatap wajah Jingga yang damai. Pelan-pelan ia mengusap hidung mancung dan bibir Jingga. Bibir yang selalu membuatnya tergoda. Hidung yang selalu ingin ia cubit tiap kali berdekatan dengannya. Rama merebahkan tubuhnya di samping Jingga. Matanya tertutup hingga alarm berbunyi pukul enam pagi.
**
“Semalam kau tidur bersamaku, Tuan?” Jingga memiringkan badannya menatap wajah Rama yang masih mengantuk. Lucu sekali melihat wajah itu.
“Semalam kamu terlelap di pelukanku. Jadi aku menidurimu di sini. Percayalah, aku hanya mengusap hidung dan bibirmu, tidak lebih.” Rama memiringkan tidurnya, menatap wajah dan tubuh Jingga yang langsing meringkuk di sampingnya. Entah kemana kain yang menyelimutinya semalam. Rasanya ia ingin sekali berada di ranjang yang sama setiap detik bersama Jingga.
“Iya. Aku percaya padamu,” Jingga memeluk Rama dan membenamkan wajahnya di dada hangat pemuda itu. Empat jam lagi ia harus siap melepas kepergian kekasihnya menuju Bandara Ngurah Rai, menemui kedua orangtua dan keluarganya untuk membahas pernikahan mereka.
Rama mencium rambut Jingga yang wangi. Apakah mungkin ia kuat menahan rindu selama beberapa hari ke depan? Hatinya ragu.
“Bangun yuk, nanti ketinggalan pesawat,” Jingga mengangkat kepalanya dan mencium pelipis, hidung, kening, pipi, dan bibir hangat Rama.
“Nanti dulu. Aku masih ingin bersamamu,” Rama menarik lengan Jingga yang menjauh.
“Dasar manja. Ayo, bangun, nanti kau ketinggalan pesawat. Kita harus berpisah dulu untuk hidup selamanya,” Jingga menepis tangan Rama.
Mendengar perkataan Jingga, Rama akhirnya bangkit dari tidurnya yang belum tuntas. Hatinya selalu bahagia ketika berada dekat gadis itu. Dan ia ingin menjadi manusia paling bahagia selamanya bersama Jingga.
**
Jingga dan Rama saling berpegangan tangan. Membisu di lobby pemberangkatan pesawat. Hati keduanya sama-sama berat untuk melepaskan kepergian dan meninggalkan satu sama lain. Rama mencium kening Jinga lama saat pesawat yang akan ditumpanginya mendarat dan memanggil penumpang yang akan dibawanya terbang menuju Pulau Dewata. Ada yang hilang dalam dirinya. Rasanya seperti meninggalkan seongok daging yang selama ini menempel di dalam kulitnya.
Jingga memeluk erat tubuh besar dan tinggi Rama. Dadanya bergejolak. Ia sungguh tidak ingin berpisah sedetikpun dengan pemuda itu. Tapi ia harus berbesar hati melepaskan kekasih hatinya sementara waktu demi memilikinya secara utuh jiwa dan raga secara sah menurut hukum dan agama.
“Jangan pernah bersedih, gadis bunglonku, aku akan selalu menghubungimu setiap saat,” Rama mengangkat kepala Jingga yang terbenam di dada bidangnya dan sekali lagi mencium keningnya lama.
Jingga tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca, “Aku akan sangat merindukanmu, Rama. Cepatlah kembali!”
Perlahan Rama melepas genggaman tangan Jingga. Berjalan mundur dan membalikkan badannya. Ia menarik koper hitam besar di tangan kirinya. Sesekali menengok ke belakang, melihat wajah sendu gadisnya yang harus ditinggalkannya sementara waktu.
Jingga tak kuasa melihat Rama menjauh dari penglihatannya. Semakin lama punggung Rama menjauh di antara lalu-lalang penumpang lain. Ia menarik napas, semoga kegelisahannya tak menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan.
**
“Kita pulang, Pak Eki,” Jingga masuk ke dalam mobil Jazz.
“Baik, Non,” Pak Eki melajukan mobil majikannya menjauhi Bandara Soekarno Hatta. Dari spion tengah, ia bisa melihat majikannya sedang menatap jalanan dengan tatapan kosong.
“Nona Jingga baik-baik saja, kan?”
Jingga menatap spion tengah dan tersenyum, “Semoga begitu, Pak.”
Hari semakin siang. Kesibukan ibukota mulai terlihat. Para pedagang asongan dan koran di lampu merah hinggap menawarkan dagangannya. Penyapu jalanan yang mayoritas mengenakan kaos orange giat mengeruk sampah dan debu. Kendaraan roda dua dan empat berseliweran dengan kecepatan sesuka hati mereka. Papan iklan besar-besar tergantung di sepanjang sisi jalan tol. Ada yang bertema persahabatan, keluarga, dua sejoli, dan kucing peliharaan. Perlahan terik sang surya dari ufuk timur menyilaukan pandangan Jingga dan melelapkannya di jok mobil hingga tiba di apartemen.
**
Pagi itu meja kerja Livi berantakan. Banyak tagihan yang harus ia bayar hari ini. Atasannya Jingga sedang tidak bisa diganggu. Sebentar lagi ada rapat direksi dan dia harus menyelesaikan report yang akan dibahas dalam rapat tersebut.
“Livi, kau sudah tanya Denia kenapa pembayaran hutang kita membengkak?”
“Sudah. Katanya memang supplier kita menaikan harga barang mereka.”
“Panggil Denia kemari! Aku ingin bicara.”
Livi segera menekan tombol ekstention divisi Purchasing Order, meminta Denia ke ruangan Jingga sekarang juga.
Ruangan Jingga tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Di ruangan itu hanya ada dirinya dan Livi, dua bangku untuk tamu, lemari besar berisikan ordner-ordner, serta lemari yang dibuat memanjang untuk menyimpan berkas-berkas data pendukung laporan keuangan. Sekat kaca yang menutup, membuat ruangan itu sangat privacy dan confidential, mirip seperti akuarium.
“Pagi, Bu Jingga…” Denia mengetuk pintu dan masuk saat ada ada jawaban dari dalam.
“Duduk.” Jingga menekan tombol control s di komputernya, lalu mengalihkan matanya ke perempuan yang dipanggilnya semenit lalu.
“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?”
Denia menggeleng.
“Denia, kamu sudah melakukan kesalahan cukup fatal.” Jingga memainkan pulpen merah di tangan kanannya.
“Maksudnya, Bu?”
“Saya sudah bilang sama kamu berkali-kali. Jangan pernah memesan stok terlalu banyak. Sesuaikan dengan permintaan saja. Orang gudang mengeluh karena space untuk barang tidak cukup. Dan kau tahu, Denia?”
Denia menggeleng. Ia selalu sanksi melihat mata Jingga yang tajam dan mendengar nada jutek manager keuangan itu.
“Mulai besok, kau harus tanya dulu padaku apa saja barang yang akan kau pesan dan untuk customer siapa. Tagihan hutang kita membengkak. Kau mau membayar sebagian barang yang tidak terjual?”
Denia menggeleng lagi.
“Ini sudah di luar budget, Denia. Belum lama Pak Steven menegurku.”
Livi tak berkomentar. Pemandangan seperti ini sudah biasa baginya. Mendengar Jingga marah-marah pun sudah biasa. Ia tetap melanjutkan pekerjaannya meski kupingnya panas mendengar nada bicara Jingga yang ketus dan berapi-api seakan hendak memakan mangsa.
“Saya tidak mau tahu, kamu harus atur bagaimana caranya agar stok kita tidak mubadzir di gudang. Kamu harus koordinasikan dengan Eva untuk menawarkan produk yang menggantung pada customer.” Jingga menarik napas dan menyandarkan tubuhnya di kursi merah.
“Panggil Eva ke mari, Livi!” Jingga menggeleng-gelengkan kepala.
Livi segera memencet tombol marketing dan menghubungkannya ke Eva.
Ruangan itu menjadi semakin panas karena ada dua anak manusia yang sedang diceramahi. Jingga harus tegas, karena dia yang bertanggungjawab atas laporan. Selain itu dia juga yang mengetahui alur laporan itu dibuat. Maka ia yang memegang kendali atas semua akun neraca dan laba rugi, termasuk memberikan penyuluhan pada SDM yang terjun di dalamnya.
**
Jingga menyalakan tombol on pada layar proyektor. Sambil menunggu para jajaran petinggi tiba, ia menyiapkan file yang akan dibahas dalam meeting siang ini. Ponselnya bergetar. Rupanya telepon dari Rama. Tapi saat ini ia tidak bisa mengangkatnya.
“Kamu sudah menyelidiki kenapa tagihan hutang ke supplier membengkak, Jingga?” Pak Steven menekuk jari telunjuknya ke dagu. Terlihat sedang berpikir.
“Sudah, Pak. Ternyata pihak purchasing order melakukan pesanan lebih dari yang kita butuhkan. Tadi saya sudah panggil Denia untuk mengatur bagaimana caranya agar stok yang menggantung bisa dijual ke konsumen dengan harga pokok penjualan yang sesuai,” Jingga berdiri paling depan, memimpin rapat.
“Ini tidak bisa didiamkan terlalu lama, Jingga. Saya tidak ingin terlalu banyak menarik dana dari investor hanya untuk mengurus kasus ini.” Timbal Pak Lian selaku General Manager Operasional.
“Begini saja, ke depannya saya akan coba mengontrol permintaan dari customer, memantau harga pokok penjualan, dan mengkoordinasikan dengan Jingga serta pihak inventory dan purchasing order,” timpal Heri.
Jingga mengangguk setuju. Ia juga mengusulkan ide akan memperbaiki prosedur yang seharusnya dijalankan. Rapat berakhir selama tiga jam membahas tentang hutang dan piutang. Ia keluar paling belakangan dari ruang meeting setelah mencatat apa saja yang didikte dari para direksi dan petinggi lainnya.
“Selamat siang, Ibu Jingga…” Pak Ali memberi hormat saat Jingga keberatan membawa laptop dan dokumen pendukung lainnya ke meja kerjanya usai rapat.
“Sudah selesai meetingnya, Bu Jingga?” Salah satu karyawan bertanya.
Jingga hanya tersenyum tipis menjawab sapaan staf karyawan dan salam Pak Ali. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju ruangannya di lantai 11. Pikirannya sedang tidak bisa diganggu. Ia menatap lurus jalanan dan memasang wajah angkuh. “Lisa, tolong ke ruangan saya!” Jingga memanggil anak buahnya divisi finance.
“Baik, Bu,” Lisa mengikuti langkah Jingga di belakang dengan membawa selembar kertas dan pulpen.
“Saya mau minta tolong, buatkan saya laporan pembayaran hutang PT Tribun dan Telaga secepatnya. Cutoff per 31 Juli 2013.” Jingga duduk di kursinya dan menyalakan kembali laptop yang baru saja dibawanya ke ruang meeting. Ia tidak mungkin meminta bantuan Livi karena asistennya tersebut sedang merekap pekerjaannya yang tertunda akibat meeting barusan.
Setelah lisa keluar ruangan, Jingga meraih ponselnya yang diabaikan sejak pagi. Ia menepon balik kekasihnya dengan durasi super singkat.
“Tadi aku sedang rapat dengan owner dan petinggi lainnya. Maaf, tidak bisa mengangkat teleponmu. Dan maaf aku sibuk sekali hari ini. Sepulang kerja nanti, aku akan meneleponmu.”
“Tidak apa-apa. Aku akan meneleponmu nanti malam. Sekarang, lanjutkan pekerjaanmu.”
“Terimakasih atas pengertiannya.” Jingga menutup telepon. Matanya kembali menatap layar komputer yang menjabarkan beberapa system software laporan keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar