Jingga menjatuhkan tubuhnya ke kasur ekstra besar dan empuk di apartemennya. Seharian ini ia lelah melakukan meeting yang menguras otak. Diliriknya jam dinding yang sudah di angka delapan malam. Ia terlonjak tatkala teringat janjinya tadi siang untuk menghubungi kekasihnya, Rama. Gadis mungil itu merogoh isi tasnya dan meraih ponsel berwarna abu-abu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat sebelas panggilan tak terjawab dari pujaan hati yang saat ini berada jauh di pulau seberang.
“Aku terlalu sibuk hari ini, maafkan aku. Tadi seharian aku meeting dan memberikan penyuluhan pada beberapa divisi yang melenceng dari budget bulanan,” Jingga memiringkan badannya dan menarik napas.
“Tak apa, sayang. Aku malah yang mengganggu kesibukanmu. Seharian menghubungimu macam remaja yang kasmaran. Kau tiba di apartemen jam berapa? Jangan bilang baru saja,”
“Tebakanmu benar. Aku baru saja tiba dan langsung meneleponmu.”
“Kau jangan terlalu lelah, Jingga. Aku tidak ingin kau sakit lagi,”
Jingga menelan ludah. Perhatian Rama membuatnya terharu. Selama ini tidak ada satupun orang yang memedulikannya seperti ini. Mau pulang jam berapapun tidak ada yang peduli. Tapi laki-laki itu membuatnya berlutut. Seandainya dia ada di sini malam ini, pastilah dirinya sudah mengajaknya makan malam dan memanjakannya dengan cerita humoris yang membuatnya terbahak-bahak.
Rama selalu berhasil memenangkan dan menenangkan hatinya dengan semua perhatian dan sikapnya. Hatinya tiba-tiba merindu. Ia ingin kekasihnya ada di sini, di sampingnya. Menyentuhnya dan berkata, kau harus makan sayur dan buah yang banyak, sambil mengambil alih menu restaurant ke makanan organik.
“Sayang?”
Jingga terperanjat. Tidak sadar selama beberapa detik ia melamun. “Aku ingin kau lekas pulang, Paduka Raja… Aku membutuhkanmu di sini,” Suara Jingga mendadak lesu. Ia betul-betul menginginkan Rama ada di sampingnya saat itu juga.
“Dan ini yang harus kuberi tahu padamu kenapa seharian tadi aku meneleponmu. Kedua orangtuaku sedang ada kegiatan aktivis dari warga Australia. Aku kebagian projek itu. Melukis mereka satu per satu. Padahal dulu mereka tidak pernah mengambil projek guide seperti ini.” Rama menarik napas.
Dan Jingga pun semakin lesu mendengar kabar tersebut.
“Akhir-akhir ini turis dari mancanegara membludak, sehingga perusahaan domestik kewalahan, dan akhirnya meminta tolong pada keluargaku untuk menghandlenya sementara waktu. Kau harus ke sini untuk melihatnya. Sekalian kau mengenal budayaku,” Rama terdengar antusias saat menceritakan projek barunya.
Jingga senang sekaligus kecewa. Alamat membawa kedua orangtuanya melamarnya bisa lebih lama dari waktu yang ia perkirakan sebelumnya.
“Kamu sudah makan?” tanya Rama dari gagang ponsel.
“Belum. Tapi tadi aku sempat mampir ke rumah makan langgananmu untuk memesan ikan bakar dan sayur bening. Aku ingin makan malam bersamamu. Cepatlah pulang!” Jingga gelisah membalikkan badannya ke kiri dan kanan.
“Jingga sayang, bersabarlah… Aku juga ingin sekali berada di dekatmu setiap waktu. Aku ingin melakukan apapun bersamamu. Tapi tidak sekarang. Kau harus menjadi gadisku yang kuat. Sekarang kamu makan dulu hingga perutmu terisi penuh makanan. Jangan langsung tidur, tetapi duduk dulu sampai makananya turun, mungkin sambil menunggu, kamu bisa mandi dan bersih-bersih. Kemudian langsung tidur. Jangan pikirkan macam-macam,”
Suara Rama terdengar memerintah. Tapi Jingga suka jika kekasihya memberikan wejangan. Maka Jinggapun menuruti perkataan kekasihya dan bergegas tidur lebih awal. Setumpukan pekerjaan masih membayanginya untuk segera dirampungkan. Ia melipat dahi, malas mengingat pekerjaan yang tak pernah ada habisnya.
Kamar apartemen yang tanpa sekat itu sudah gelap sejak dua jam yang lalu. Pendingin ruangan sudah diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu dingin ataupun panas. Tapi gadis itu tak jua bisa memejamkan matanya. Bayangan Rama seakan momok menakutkan yang terus terlintas di kepalanya. Jingga duduk memeluk lututnya di kasur empuk. Dua hari tanpa pujaan hati di sampingnya, membuatnya merasa kehilangan.
Hal serupa berulang tiap malam. Hingga Jingga tak kuasa menahan hasratnya untuk bertemu dengan pujaan hatinya yang terpisah jarak beratus-ratus kilometer darinya. Matanya sering sembab ketika menahan rindu yang luar biasa menguasai dirinya. Ia benar-benar butuh Rama. Rama harus pulang ke Jakarta, menemani hari-harinya dengan sentuhan lembut laki-laki itu.
Seandainya ia bisa menembus dimensi waktu, Jingga ingin sekali menyapa Rama, memeluknya, menciumnya, dan berceloteh dengannya. Jika saja rindu ini ibarat kertas, ia ingin melipatnya ke lipatan paling kecil, lalu memberikannya jembatan penghubung di tengah lipatan itu. Atau seandainya rindu itu laksana air di dalam gelas, maka ingin sekali ia tumpahkan air itu agar rindunya terbalaskan.
**
“Rama belum pulang?” Livi mengunyah permen karet mint yang diletakkan di meja lobby.
“Belum. Katanya ada projek melukis dan menjadi guide ala-ala selama beberapa hari,” Jingga mengambil satu permen karet dari meja lobby tersebut.
“Kalau tidak salah sudah satu minggu dia belum kembali, kan?”
Jingga mengangguk. Sudah seminggu namun rasanya bagai berabad-abad. Bagaimana tidak, merindukan Rama dalam hitungan detik bagaikan tak bertemu satu minggu. Setiap napas yang ia hela, rasanya bagai sebulan. Jingga benar-benar tidak kuat jika terlalu lama terpisah jarak dengan laki-laki itu.
Sebagai sahabat dekat Jingga, Livi memberikan saran, “Tak usah terlalu memikirkan dia. Dia juga pasti merindukanmu, dan ingin secepatnya bertemu denganmu. Bersemangatlah untuk menyambut kedatangannya beserta keluarga besarnya. Kalian hanya sedang diuji untuk saling merindu.”
Jingga memicingkan mata. Tidak salah Livi mengatakan kalimat barusan? Darimana ia mendapatkan kata-kata bijak itu? Tapi ada baiknya Jingga harus merenungkan kalimat yang diucapkan sahabatnya. Bahwa ia harus bersabar untuk menantikan kejutan indah di akhir penantian panjang.
Dering ponsel Jingga berdering.
“Sayang, sudah pulang? Jangan bilang masih di kantor.”
Hati Jingga seakan berbunga-bunga tiap kali mendengar suara kekasihnya menggema di ujung telepon. Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya, seakan mereka anak ABG yang sedang kasmaran.
Livi penasaran siapa yang telepon. Ia mengangkat kedua alisnya ingin tahu. Jingga mengatakan yang meneleponnya adalah Rama. Ia memberikan bahasa isyarat yang untungnya Livi paham.
“Aku baru saja mau pulang. Ini sedang menunggu Pak Eki. Ada Livi juga. Kau tidak kangen pada Livi?” Jingga basa-basi tidak merindukannya.
“Aku tahu sebenarnya kau hendak berkata, kau tidak merindukanku, Paduka Raja?” Rama tertawa menirukan nada bicara Jingga.
Muka Jingga bersemu merah. Bila Rama ada di hadapannya, mungkin laki-laki itu akan segera menciumnya, kemudian Jingga menonjok bahunya pelan.
“Sayang, tanggal 12 Juni nanti ada pesta kesenian Bali. Kau harus menyaksikannya. Seru sekali,” ucap Rama penuh semangat. “Weekend ini kamu tidak lembur kan? Aku harap kamu mau terbang ke mari, menemuiku dan kita berpelukan, seperti Teletubies. Kemudian kita sama-sama ke Jakarta. Tentunya bersama kedua orangtuaku.”
Jingga berpikir sejenak. Ia tidak mau langsung mengiyakan ajakan Rama. “Akan kupikirkan ya. Semoga tidak ada pekerjaan yang mengharuskanku mengerjakannya di akhir pekan ini.”
“I miss you, Honey… Mmuah…”
“Miss you too…”
Jingga menutup teleponnya. Ia terlihat sedang menghitung kancing.
Livi yang memperhatikan tingkah aneh Jingga, segera menyodorkan seabrek pertanyaan, “Kau ini kenapa sih, Jingga? Aku ingin tahu, jangan dipendam sendiri.”
“Pak Eki sudah di depan. Ayo, Livi, bergegas!” Jingga tak menghiraukan pertanyaan Livi.
“Kau belum menjawab pertanyaanku. Nanti aku bisa mati penasaran dan akan terus menggentayangimu,” Livi memanyunkan bibirnya menyusul Jingga masuk ke dalam mobil Jazz silver yang menjemputnya di depan gedung.
Jingga tetap tak menjawab. Ia masih terus berpikir apakah dia akan menyusul Rama ke Bali? Hatinya belum siap jika harus bertemu dengan sanak saudaranya sendirian. Tapi bukankah cinta butuh perjuangan? Hatinya semakin bimbang.
“Kita kemana, Non?” Pak Eki menoleh ke belakang.
“Ke kafe Kemang, Pak.” Livi yang menjawab.
Pak Eki mengangguk dan melajukan mobil menuju Jakarta Selatan.
Jingga masih terdiam dengan kebimbangannya. Sejak pagi, ia sudah berjanji pada Livi untuk menemaninya membeli kue ulang tahun dan kado untuk Juna, suami Livi.
“Livi, Rama minta aku menyusulnya ke Bali. Tanggal 12 Juni nanti ada pesta kesenian Bali. Sekaligus menjemput kedua orangtuanya mengunjungi Jakarta. Apa yang harus kuperbuat?” Akhirnya Jingga membuka suara.
Livi mengetuk-ngetuk jok mobil mencari jawaban yang tepat. Meskipun Livi suka asal ceplos, namun ia adalah manusia yang penuh dengan pertimbangan matang. Dia tidak mau salah mengambil langkah. Mendengar kebimbangan Jingga, ia pun berhak mengeluarkan pendapat.
“Kau yakin mau ke sana?”
“Entahlah,” Jingga mengangkat bahu.
“Apa tidak sebaiknya menunggu saja? Aku takut kau kenapa-napa. Hari apa kau akan ke sana?” Livi bersikap macam polisi yang terus mengintrogasi.
“Sabtu ini.” Jingga menarik napas.
“Aku sebenarnya ingin sekali menemanimu, Jingga. Tapi aku ragu Juna akan mengizinkan. Minggu ini ia ada jadwal ke luar kota. Kalau saja dia stanby di Jakarta, aku bisa mengajaknya ikut ke Pulau Dewata. Sekalian honeymoon.”
“Aku bisa ke sana sendiri, Liv. Aku hanya gugup bertemu keluarganya. Ah, ini memang bukan pertama kalinya aku menemui calon mertua. Tapi aku selalu nervous di pertemuan pertama. Apa yang harus kulakukan?” Jingga merebahkan kepalanya pada jok. Ia sungguh bingung.
“Kalau itu keputusanmu, aku akan selalu mendukung. Bersikaplah tenang dan senyaman mungkin. Jadilah diri sendiri, Jingga. Aku yakin kau bisa mencairkan suasana. Kau orang yang menyenangkan. Meski kau juga teramat menyebalkan. Bersyukur di dunia ini cuma ada satu orang yang sepertimu.” Livi meleletkan lidahnya. Tertawa. Ia tidak ingin ketegangan terjadi di dalam mobil dan hati Jingga yang sedang dilanda bimbang. Sebisa mungkin ia ingin membuat Jingga nyaman.
Jingga melotot sebal. “Beruntung juga kau tidak punya kembaran, menghadapimu saja aku sudah repot bukan kepalang, apalagi punya kembar siam.” Jingga balas meleletkan lidah. Hanya teman dekatlah yang berani mengomentari kelebihan dan kekurangan sahabatnya sendiri, serta terang-terangan meledek tanpa takut yang diledek marah.
Pak Eki yang menyimak celotehan Jingga dan Livi ikut tertawa. Dua perempuan ini memang selalu ribut tak mengenal tempat dan situasi. Ia juga berdoa semoga majikannya - Jingga, mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya.
**
Sepulang menemani Livi mencarikan kue ulang tahun dan kado untuk Juna di Kawasan Kemang, Jingga masih menghitung kancing kemeja yang ia kenakan. Berpikir untuk datang atau tidak menemui kekasihnya di Denpasar.
Jingga menanggalkan pakaiannya, mencemplungkan diri pada bathtub lalu menyalakan shower. Mungkin tetesan air yang mengenai kepala dan tubuhnya bisa membantunya berpikir lebih jernih. Ia tak butuh air hangat untuk menghangatkan tubuhnya yang menggigil oleh rasa bimbang. Ia hanya butuh busa dari sabun favoritnya yang menyeruakan wangi harum dan menenangkan. Gadis itu senang bermain busa. Ia bisa berjam-jam menghabiskan waktu di kamar mandi kala lelah akibat pekerjaan kantor dan pikiran lainnya.
Dering ponsel Jingga berdering memenuhi ruangan. Ia tau itu pasti telepon dari Rama. Jingga segera menyambar handuk dan mengeringkan rambut dan tubuhnya yang basah. Ia melangkah ke meja kerja dan meraih ponsel yang berada di dalam tas kerjanya.
“Jangan bilang kamu masih di jalan?”
“Aku sedang mandi. Sekarang sudah selesai. Tadi aku mengantar Livi membelikan sureprise untuk Juna. Maaf tak sempat mengabarimu.” Jingga menggigit bibir.
“Tidak apa, Tuan Puteri. Aku hanya khawatir takut kamu kenapa-napa. Sudah makan?” terdengar Rama menarik napas.
Perhatian kecil Rama selalu berhasil membuat hati Jingga luluh. Ia ingin laki-laki itu berada di sini, mencium keningnya, mengecup bibir, dan memeluknya erat. “Aku sudah makan di Kafe Kemang. Kuharap kaupun sudah makan, Paduka Raja...”
“Aku sudah makan, sayang. Pakai nasi betutu.”
“Apa itu? Sejenis keong ya?”
Rama tertawa di balik telepon, “Betutu itu sejenis ayam kampung. Kamu ini lucu sekali.”
“Eh, masa? Aku tidak tahu. Hehe,” Jingga ikut tertawa. Berbicara dengan Rama selalu menyenangkan. Ia ingin Rama cepat kembali ke pelukannya detik ini juga. Titik.
“Ya sudah, lekas istirahat ya. Di sini sudah pukul sebelas malam.”
“Di sini pukul sepuluh. Rama, aku ingin memelukmu. Tapi besok saja. Malam ini aku ingin lekas tidur,” Jingga tiba-tiba merasa sedih. Ia menyudahi percakapan, berbohong bahwa ia mengantuk berat. Padahal, jujur saja ia tidak bisa berlama-lama mendengar suara kekasihnya karena semakin merasa rindu yang luar biasa menyiksa kesehariannya.
**
Di ranjang kayu berelief naga, Rama memandang kosong langit-langit kamar. Melukis wajah Jingga yang tidak sedetikpun hilang dari benaknya. Ia merasa hatinya tertinggal di sana, berharap gadis bunglon itu berada di sisinya saat ini juga, menemaninya menatap bintang yang jauh lebih indah daripada di ibukota.
Jingga mencoba memejamkan matanya. Malam ini ia harus membuat keputusan. Ia akan menantang dirinya untuk menemui Rama di Pulau Dewata. Perasaan rindunya sudah tak bisa dinegosiasi lagi. Ia harus secepatnya bertemu Paduka Raja tercintanya.
Lampu tidur dibiarkan menyala. Jarum jam dinding tak lelah berputar membentuk rotasi 360 derajat. Jingga mencoba memejamkan matanya. Meski ia harus berjuang melawan rasa rindu yang mengutuk hatinya untuk segera berjumpa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar