Rabu, 20 Juli 2016

Puing 14 #Jingga #NovelSeries

Kegaduhan lalu-lalang manusia yang berceloteh di depan apartemen, membuat Jingga terganggu. Ia membuka pintu dan melihat beberapa tukang sedang mengangkut barang menuju lift. Mungkin ada penghuni apartemen yang pindahan, pikirnya dalam hati. Namun matanya terpaku ketika menyaksikan tiga orang laki-laki kesusahan membawa kanvas berukuran besar dan berat. Bukankah itu milik Rama? Tanyanya dalam hati.
Jingga menoleh ke apartemen Rama yang terbuka. Apakah pemuda itu ada di sana? Namun ia urung mencari tahu. Saat hendak melangkahkan kaki, ia berpas-pasan dengan Anton - teman dekat Rama, yang juga sibuk mengatur para tukang agar hati-hati jangan sampai lecet.
“Anton?” Jingga spontan memanggil laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit hitam yang nampak kesusahan membawa lukisan Monalisa.
“Hey, Jingga. Apa kabar? Pagi sekali sudah ngantor? Kau ini memang work a holic yah,”
“Bisa saja, kau ini. Kenapa barang-barang Rama dikemasi?”
“Si Brengsek itu menyuruhku mengatur kepindahannya ke kampung halaman. Setengah bulan lagi kan menikah. Dan berarti kau akan menetap di Bali, bukan? Wah, selamat ya… Aku turut senang mendengarnya.” Anton pura-pura tidak tahu. Tapi ia harus memberitahukan berita bodoh ini pada Jingga.
“Oh, begitu ya? Rama tidak cerita padaku.” Jingga memasang wajah polos. Dadanya seketika sesak. Sesak yang tak berujung. Ternyata Rama benar-benar membuktikan ucapannya. Tapi bukankah ini keputusan bulatnya untuk merelakan dia? Entahlah. Sepetak hatinya masih tersisa untuk kisah si pelukis itu.
“Kau tidak mau menitipkan salam untuk Rama?”
“Aku sepertinya harus segera ke kantor. Sudah telat.” Jingga permisi dan berjalan dengan langkah super cepat menuju lift.
Anton menggelengkan kepala, “Aneh sekali. Sebenarnya siapa yang gengsinya besar? Laki-laki atau perempuan?”
Pagi ini Jingga mengemudikan mobil Jazznya sendiri. Pak Eki berhalangan hadir karena ada urusan keluarga. Air matanya tiba-tiba mengalir deras membanjiri pipinya yang tirus. Keramaian ibukota tak berhasil meramaikan hatinya yang sepi. Dengan susah payah ia menelan ludah, menertawakan hidupnya yang teramat getir.
Fajar memaksa matanya untuk terbuka. Dadanya terasa sesak karena himpitan luka. Dan seperti biasa, bersama sang mentari yang selalu bersinar setiap pagi, ia akan berkata pada dunia bahwa dirinya baik-baik saja. Meski bertolak belakang dengan kondisi mentalnya yang sakit. Cintanya pada Rama tak mereda sedikitpun. Bahkan kian hari kian besar saja. Rindupun kian menggelitik jiwa. Ia sadar semua yang terjadi bukan keinginannya. Tapi ia tak bisa membohongi betapa terpukulnya ia mendengar kabar baik yang menurutnya buruk ini.
Ada untungnya juga menyetir mobil sendirian, mau tertawa ataupun menangis, tidak ada orang yang tahu. Tapi seketika tangan Jingga kram. Ia menepikan mobilnya dan meneruskan menguras deras air matanya yang meluber. Semenjak pertemuannya di Bali seminggu lalu, Jingga mencoba tegar, meski kenyataannya hampir setiap malam ia bersimbah air mata. Kabar pernikahan yang akan berlangsung dua minggu lagi, membuatnya ingin mati detik itu juga.
Kalau saja dirinya tidak bertemu Anton di apartemen, mungkin ia tidak akan tahu kabar bahagia yang menyedihkan itu. Jingga mengelap air matanya dengan tisu. Bedak dan mascara yang melekat di wajahnya luntur. Sejauh ini hanya Rama yang berhasil menjinakkan perasaannya. Sejauh ini hanya Rama yang kuasa menenangkan hatinya. Ia bagai hidup kembali setelah sempat mati rasa. Tak ada satupun kekurangan pada pemuda itu. Di matanya, semua tentang Rama tergambar indah. Seperti lukisan hasil karya tangan Tuhan, yang tak ada cacat sedikitpun. Mana mungkin ia bisa melupakan laki-laki itu.
**
Jarum jam sudah di angka 21:00 WIB. Jingga baru mematikan komputernya. Katanya, jika sedang patah hati, carilah kesibukan sebanyak-banyaknya untuk menutupi kesedihan. Tapi cara itu tak pernah berhasil. Jingga memang sibuk, aktivitasnya segudang, tapi hatinya tetap saja nelangsa oleh rasa sepi dan rindu yang membunuhnya secara perlahan. Kalau saja ada obat instan untuk menciptakan rasa bahagia dan membuang sesak di dada, mungkin ia sudah membelinya dengan harga berapapun jua.
Seperti malam yang sudah-sudah saat penat melanda, Jingga tak langsung pulang ke apartemen. Ia mampir dulu di rumah makan dekat kantornya di Kawasan Sudirman. Di sana hampir 24 jam restauran elit buka. Maka ia pun bebas menikmati malam sepinya dengan caranya sendiri.
“Jingga?” Seorang laki-laki berkemeja abu-abu menghampiri meja makan Jingga yang tersisa satu bangku.
“Hey, Pak Heri. Baru pulang juga?”
“Iya, tadi ada sedikit pekerjaan yang mesti diselesaikan,” Laki-laki itu mengangkat alis dan tersenyum manis. Meski menurut Jingga tak ada manis-manisnya. “Kamu juga habis lembur?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Closing report belum selesai?” Laki-laki itu memanggil waitress dan memesan lobster dan segelas pepsi.
“Tinggal direview sekali lagi. Oh ya, kabar anak Pak Heri bagaimana? Sudah bertemu?” Jingga mengalihkan topik pembicaraan, malas membicarakan pekerjaan di luar kantor, seperti yang pernah dikomplain Livi padanya.
Laki-laki itu menunduk, “Aku belum juga mendapatkan izin untuk menemui Zita. Mantan istriku sungguh tega. Masa menengok buah hatinya sendiri saja tidak boleh. Kejam sekali, bukan?”
Jingga mencoba simpati, “Esok lusa pasti bertemu.”
“Semoga saja. Kamu sudah makan?” ucapnya santai.
“Baru saja selesai,” Jingga menunjuk dessert yang tinggal piring dan sendok.
Heri mengangguk.
Sejak awal bertemu Jingga, sebenarnya Heri sudah jatuh hati. Namun sayangnya Jingga tak merespon sikapnya. Kala itu Jingga memang masih berstatus tunangan Dika. Hingga hubungan Jingga dan Dika selesai, Heri tak pernah punya kesempatan mendapatkan hati Jingga. Mungkin dia malu memiliki suami duda, pikirnya. Namun Heri tak putus arang, ia selalu mencari tahu tentang Jingga melalui Livi. Pria berusia 36 tahun itu sudah pernah mencoba melamar Jingga, namun ditolak dengan alasan belum siap. Atau tepatnya karena tidak ada chemistry di antara mereka.
Hingga kabar menyakitkan itu sampai ke telinga Heri, bahwa Jingga mengalami depresi akut karena kehilangan Rama, ia berusaha untuk menakhlukan hati Jingga yang keras. Ia ingin merasa sekadar dibutuhkan untuk menjadi teman tertawa dan bertukar cerita. Tapi Jingga amatlah tertutup. Ia tak bisa mengulik lebih dalam perasaan gadis jutek itu lebih jauh.
**
TV cable itu telah dimatikan. Baru saja Jingga terkekeh menonton film bergenre komedi. Tertawa adalah salah satu obat untuk menutupi kesedihan hatinya yang sepi. Meski sebenarnya tidak mujarab sama sekali. Jingga menengok kalender mejanya. Besok pagi merupakan acara puncak pernikahan Rama bersama Kilka. Ia meringkuk memegangi lututnya di sofa ekstra besar yang dulu pernah diduduki bersama Rama. Hatinya terasa seperti diiris-iris sembilu, pedih bukan main.
Dering telepon memenuhi ruangan tak bersekat. Jingga berjalan malas mengangkatnya. Ia mendekatkan gagang telepon ke telinga sebelah kiri dan membiarkan orang yang berada di seberang sana bicara lebih dulu.
“Aku telah menunaikan janjiku untuk menikahi perempuan pilihan orangtuaku, Jingga. Dan kuharap semoga kau menyesal.” Suara itu membuat Jingga pening. Siapa lagi kalau bukan Rama, mantan calon suaminya. Tapi Jingga sudah menganggap hubungan mereka berakhir semenjak pertemuannya di Bandara Ngurah Rai. Untuk apa pula ia menghubunginya memberitahu?
“Aku sudah bulat dengan keputusanku, Rama. Dan aku tidak akan pernah menyesal.” Jingga mematikan telepon itu. Tangannya bergetar hebat. Gagang telepon itu terjatuh ke lantai. Kalimat Rama yang terucap dalam sinyal kabel di pulau seberang, sungguh membuat jiwanya terguncang. Ada sesuatu yang hilang dan melayang. Dan ia pun ingin terbang bersama elang, menyelamatkan separuh hidupnya yang terbuang.
Perlahan, tubuh Jingga yang bersandar di tembok, semakin menurun dan akhirnya tersuruk di lantai dengan posisi kaki tertekuk. Jingga tersedu sedan memeluk lututnya. Ia menundukkan kepala membiarkan air mata jatuh menetes dan membasahi celana panjangnya. Ia tak kuat lagi menahan sesak. Semua ini teramat tragis.
Rasanya ia tak mampu lagi mengangkat kepalanya yang tertunduk lemas. Darahnya seakan membeku, napasnya serasa pengap dan berhenti. Derai air matanya terus membanjiri pipi tirusnya, tersedu-sedu meratapi kemalangan nasib percintaannya. Kesedihan ini pernah ia rasakan tiga tahun lalu saat putus cinta dengan Dika. Tapi puncak kehilangan paling menyakitkan adalah malam ini. Ketika seseorang yang masih kita cintai menikah dengan orang lain.
Kenapa cinta selalu menyakitkan, sadis, dan keterlaluan? Pertanyaan itu tak pernah ada yang menjawabnya dengan benar. Rama, lihatlah luka ini yang sakitnya abadi, yang terbalut hangatnya bekas pelukmu. Tubuh Jingga tumbang tersungkur di lantai.
Tak lama Livi datang membuka pintu menggunakan kunci duplikat yang diberikan Jingga. Ia memeluk erat Jingga yang tersedu-sedan. Pada saat mengetahui tanggal pernikahan Rama dari Anton dua inggu lalu, Jingga langsung memberitahu Livi. Dan Livi mencatatnya dalam otak. Perempuan super bawel itu ingatannya memang tajam.
“Aku memang tidak pantas bahagia, Liv.”
“Tidak, Jingga. Kamu salah. Kelak kau akan merasakan kebahagiaan yang tak terkira dan tak pernah terbayangkan sebelumnya,”
“Itu hanya omong kosongmu saja agar aku berhenti menangis. Aku bukan anak kecil lagi yang membutuhkan balon warna-warni serta permen lollipop bergambar pelangi untuk menghibur rasa sedihku,” Isak Jingga semakin keras.
“Aku paham. Tapi kau adalah gadis istimewa yang kuat, Jingga. Aku yakin, Tuhan akan menggantikan segala kesedihanmu dengan kebahagiaan yang melimpah ruah. Kau harus percaya itu.”
“Aku tidak akan pernah percaya dengan semua petuah bijakmu, Livi. Bahkan seseorang yang bijak sekalipun, belum tentu mereka menjalani hidupnya dengan bijaksana. Hidup ini tidak sesempurna dan sesederhana itu.”
“Kau benar, Jingga. Tapi bukan berarti hidupmu tamat sampai di sini. Aku memang belum pernah merasakan sakit yang kau rasakan. Tapi aku mohon bertahanlah… Kau pasti bisa menyelesaikannya. Menangislah, Jingga.. Buang semua rasa sesak di dadamu. Aku akan selalu ada untukmu, seperti kau selalu ada untukku. Aku yakin, kau bisa melewati semua ini dengan tegar.” Seumur hidup, Livi baru dua kali berpacaran. Dan putusnya pun dengan kasus ringan. Melihat Jingga menangis sesegukan, ia pun tak tahan membendung air matanya.
“Aku tidak ingin jatuh cinta lagi, Liv. Terlalu sakit. Aku benci dengan cinta… Aku ingin membuang hatiku agar tak menjadi manusia yang berperasaan Lebih baik seperti itu, kan? Kenapa Tuhan mempertemukanku dengan dia jika harus berpisah seperti ini? Rasanya aku tidak kuat lagi. Aku ingin mati saja.” Jingga mendorong kuat pelukan Livi. Namun ia tak berhasil, tenaganya sudah habis.
“Apa yang kau katakan barusan? Perjalananu masih panjang, Jingga.. Tak sepantasnya kau bicara begitu. Dengarkan aku, suatu saat kau akan menemukan cinta sejatimu. Yakinlah..” Livi memeluk Jingga. Untung saja ia datang tepat waktu. Ia tidak mau sahabatnya semakin frustasi dan melakukan hal gila yang akan menyelakakan dirinya sendiri. Bunuh diri, misalnya. Bulu kuduk Livi mendadak merinding memikirkan itu.
“Tapi sampai kapan? Aku lelah. Aku tak ingin jatuh cinta lagi. Aku tak percaya jodoh. Aku ingin mati saja.”
**
Malam itu Livi tidur bersama Jingga. Ia sudah meminta izin pada Juna untuk meringankan beban sahabatnya. Meski Jingga menolak dan mengusirnya pergi, Livi tetap bersikeras menemani, memastikan sahabatnya tidak melakukan hal bodoh. Orang-orang yang frustasi kerap kehilangan kontrol, sehingga mereka berpikir pendek untuk menyelesaikan kasus runyamnya pada tindakan paling tolol diluar nalar pikiran manusia.
Tangisan Jingga mulai mereda. Ia mencoba memejamkan mata. Tidak bisa. Jingga gelisah di tempat tidurnya. Ia tidak sedikitpun mengantuk. Menurut para ahli psikolog, ada dua hal yang membuat seseorang sukar tidur. Pertama saat ia jatuh cinta, kedua saat ia kehilangan. Barangkali pendapat itu benar adanya. Dirinya sendiripun mengalami demikian, tidak dapat terlelap. Ia masih terisak, hatinya sungguh tidak berdaya.
Livi beberapa kali menguap di balik selimut tipis yang menutupi kepalanya. Sebenarnya ia ngantuk berat. Tapi ia harus berakting pura-pura tidur agar bisa mengawasi gerak-gerik Jingga. Ia tidak ingin sesuatu buruk terjadi. Jingga memang menyebalkan dan keras kepala, tapi dia adalah sahabat terbaik yang pernah ada.
Jingga menatap dinding-dinding kamar yang gelap. Matanya sembab. Ia sungguh tidak kuat. Rasanya menyerah dan pasrah. Esok lusa, mungkin akan ada keajaiban yang membuat hatinya cerah. Kadang Tuhan membuat pilihan rumit bagi hambanya. Jika saja pilihan rumit itu seperti memilih hadiah yang sama-sama ‘wah’, tentulah tidak akan ada yang kecewa.
**
Ini adalah bulan kedua setelah pernikahan Rama. Jingga sempat sakit selama dua minggu pasca menerima kabar buruk itu. Ia sering tidak masuk kantor karena pikirannya bercabang kemana-mana, sukar berkonsentrasi. Imun tubuhnya seakan tidak kuasa menangkal virus dan kuman yang menyebabkan dirinya mudah sakit. Cinta bisa menguatkan, pun melemahkan seseorang yang dilandanya.
Kalau dulu Jingga pernah menjadi motivator Livi saat ditinggal kedua orangtuanya dalam peristiwa naas, kini gantian Livi yang menjadi badut dadakan meskipun tak pernah membuat Jingga tertawa. Jingga sering melamun, marah-marah tidak jelas pada bawahan, malas ikut meeting, dan susah makan laiknya anak kecil. Wajah Jingga selalu murung, kadangkala ia menyaksikannya menangis. Sampai-sampai keyboardnya basah oleh air mata. Alhasil Livi meminta keyboard baru pada bagian IT. Agar divisi IT tidak curiga, Livi memberikan alasan bahwa keyboard Jingga rusak karena ketumpahan teh panas.
Selama dua bulan itu, Jingga menjadi pribadi yang menyedihkan. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat karena malas makeup, pelit bicara, dan 1000x lipat lebih jutek dari sebelumnya. Livi hampir menyerah menghadapi kelakuan Jingga. Namun kalau bukan karena sahabat dekat, ia terus menyemangati Jingga. Kadangkala meminta bantuan pada kakak angkat Jingga untuk meminta solusi.
Sebagai atasan Jingga, Heri pun merasakan ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada bawahannya. Akhir-akhir ini Jingga mudah tersinggung, mudah menangis, dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah-dua patah kata permisi. Bila Jingga gagal fokus, semua pekerjaannya akan ngelantur, repot jadinya. Ia pun menanyakan perubahan sikap Jingga pada Livi apa yang telah terjadi. Dan Livi menjawab sekadarnya saja.
**
Di luar langit sedikit berawan. Namun tidak mendung seperti musim hujan, karena saat ini masih di penghujung kemarau. Pak Eki sudah tiba di basemant, siap mengantar majikannya yang belakangan ini tak bersuara. Setiap hari mata Jingga sembab. Dua bulan terakhir ini, Jingga memang banyak menghabiskan malamnya dengan bersimbah air mata, mengenang semua tentang Rama, dan menyesal telah membuka hatinya untuk laki-laki itu. Di jok belakang, Jingga memandang ke luar jendela, menikmati kesibukan ibukota yang menggeliat.
Beberapa menit berselang, percikan air hujan mulai turun. Ratusan milyar larik tetesannya membasahi jalananan, pohon-pohon, gedung-gedung tinggi serta kaca jendela mobil. Beberapa manusia yang berjalan kaki segera memekarkan payung. Pak Eki segera menyalakan wiper. Kaca jendela mobil berembun. Kilat petir berwarna putih menyilaukan mulai menyambar-nyambar. Begitu cepat membelah gelapnya langit. Melupakan seseorang yang pernah berarti, tidaklah secepat kilat halilintar yang menggelegar. Setiap detik, bayangan Rama kerap muncul di pikirannya. Dari mulai bangun tidur, hingga tidur lagi. Ingin mengenyahkan, namun sulit dan menyakitkan. Apapun yang tersaji di depan mata, pasti selalu berkaitan tentang Rama. Jingga menarik napas. Cinta memang pembunuh nomor satu bagi kalangan patah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar