Sore itu cuaca Jakarta bersahabat. Namun tetap saja langit tak sebiru di pedesaan. Gumpalan awan abu-abu sebenarnya bukan mendung, melainkan polusi udara dari asap pabrik dan kendaraan yang semakin merajalela. Seorang ibu repot menggendong anaknya yang masih balita. Berusaha memberikannya sebotol susu agar bayi itu tidak menangis lagi. Entah dimana suaminya berada.
“Ya, Pinang Ranti, Pinang Ranti….” Petugas Trans Jakarta berteriak kencang memanggil penumpang yang sudah menunggu berjam-jam.
Lautan manusia itu saling berebut. Aksi dorong mendorong terjadi. Namun Jingga betah dengan bacaan di tangannya. Telinganya disumpal handsfree yang mengalunkan lagu-lagu favoritnya. Ia malas menyaksikan keributan yang terjadi. Gadis mungil itu akhirnya memilih masuk ke dalam bus APTB jurusan Kampung Melayu.
“Ongkos-ongkos, ongkos-ongkos,” sang kenek menggerakkan tangannya dengan uang receh., menimbulkan bunyi seperti kerecekan. Itulah bahasa isyarat yang aneh guna menagih bayaran pada penumpang.
Jingga mengeluarkan satu lembar uang lima ribuan dan diberikannya kepada pak kondektur yang berkeliling memintai ongkos pada penumpang yang baru masuk. Tak apalah merogoh isi dompet membayar lagi jatah angkot. Yang penting dirinya bisa duduk dengan tenang dan nyaman. Tidak perlu berdesak-desakan dan bergelantungan macam orang hutan.
Sudah lima jam Jingga berkeliling menggunakan jasa Trans Jakarta dan APTB tanpa tujuan yang jelas. Kalau lapar, ia mampir ke rumah makan, kalau kebelet pipis, dia ke mal cari toilet, mau menonton, tinggal lari ke bioskop, bosan dengan kemacetan, ia melipir ke toko buku. Apapun yang ia mau, sesuka hatinya dimanjakan. Dari mulai berdiri, hingga duduk. Dari yang berhimpitan, hingga mengangkat kaki ke jok. Dari tujuan Jakarta Barat, selatan, utara, hingga timur.
Sebenarnya ia bisa saja mengemudikan mobil Jazz sendiri, atau meminta Pak Eki – supir pribadinya, untuk menemani. Tapi sudah lama ia tenggelam dengan kesibukannya sebagai wanita kantoran. Ia ingin bepergian sendiri. Mengejar angkot, menunggu berjam-jam, dan membaur dengan masyarakat Jakarta lainnya.
Ini adalah weekend pertamanya setelah keluar dari rumah sakit yang membosankan itu. Ia melirik tangan kanannya yang terluka bekas jarum suntik dan selang infus. Perih.Hatinya pun merasa demikian, perih oleh tusukan luka masa lalu akan cinta. Namun tiba-tiba ingatannya mendarat pada laki-laki yang menemaninya siang malam di unit gawat darurat.
“Sakit?” tanyanya.
Jingga mengangguk.
Laki-laki itu melayaninya sepenuh hati. Tak beranjak sedetikpun menjaganya. Mengambil air saat dirinya haus, menopangnya ketika kebelet buang air kecil, menyuapinya dengan sabar, dan menyelimutinya dengan ucapan selamat istirahat. Aneh, padahal mereka belum saling mengenal. Jingga senyum-senyum sendiri tiap kali mengingatnya.
Gadis itu mencoba mengalihkan pikirannya pada gedung-gedung tinggi di kanan dan kiri yang seperti berlari menyerupai atlet maraton. Lagu Fight Song milik Rachel Platten mengiang di telinganya, memanjakan hati yang berperang atas perlawanan jiwanya. Koran yang baru saja dibelinya, dimasukkannya ke dalam tas selempangan polos yang merupakan hadiah dari Dika, mantan calon tunangannya tiga tahun silam. Selera bacanya hilang jika tiba di bagian dunia politik.
Sejak tubuhnya terbaring lemah selama dua hari dua malam, ia berkeinginan untuk membebaskan dirinya dengan berjalan-jalan. Entah mau kemana kedua kakinya membawanya pergi. Berkeliling Jakarta merupakan salah satu caranya mengatasi kejenuhan.
**
Di tempat lain, Rama sedang memasangkan dasi cokelat polos ke kemeja putihnya. Ganteng nian penampilannya sore ini, gumanmnya mencoba menghibur hati. Hidungnya yang mancung bak burung rajawali, serasi dengan raut mukanya yang mempesona. Bila Jingga melihatnya, mungkin perempuan itu jatuh hati. Sayang, hati Jingga keras sekali. Ia teringat kata-kata Livi. Menurutnya semua lelaki sama saja. Tak ada yang benar-benar tulus dan baik, semuanya menyebalkan. Itu pun kata Livi saat menjenguk Jingga di rumah sakit.
Rama berjalan penuh semangat memasuki lift. Sepatu hitam mengkilapnya membuat ia semakin gagah saja. Sore ini ia akan menghadiri acara seminar kliennya, yang memamerkan hasil karya tangannya di sana. Namun kakinya berhenti persis di depan pintu apartemen Jingga yang tertutup rapat. Selama ini ia ingin sekali mengetuk pintu itu, mengajaknya keluar untuk sekadar mencari angin, atau menemaninya makan malam. Tapi ia tak pernah berani melakukannya.
Saat pertama kali bertemu dengan Jingga, Rama merasa semua ini merupakan kebetulan. Ia bahkan kaget saat Livi menawarkan untuk ikut menjenguknya di apartemen yang sama, lantai yang sama. Tapi biarlah Jingga mengetahuinya sendiri kalau ternyata mereka hanya terhalang tiga kamar.
Sejak pernikahannya yang batal tiga tahun silam, Rama lebih memilih memulai kehidupan baru di kota metropolitan. Kota yang sangat ia benci karena kesumperkan dan keliaran manusianya. Ia rela meninggalkan kkota kelahirannya hanya untuk melupakan kesedihannya. Dengan bermodal keahlian melukis dan design, ia merintis karirnya dari awal, berharap nasib baik menyambutnya. Ia tak menyangka akan sesukses ini di kota orang.
Namun tak dapat dipungkiri, kenangan masa lalu yang menyedihkan itu, selalu menjelma dalam kesehariannya. Saat ia melukis, saat termenung di toilet, saat bercakap dengan klien, dan saat apapun itu. Semuanya terlalu menyakitkan. Hukum keluarga yang diterapkan, membuatnya pusing. Kenapa harus ada kasta? Kenapa kekasihnya memilih membatalkan janji suci saat kalender sudah tinggal beberapa hari lagi? Kenapa calon istrinya justru memilih menikah dengan pria lain? Kenapa? Hatinya sungguh ingin meledak. Ia benci ketika harus mengenang puing kisah masa lalunya itu.
Rama mengencangkan dasi. Berusaha mengenyahkan bayangan masa lalunya yang terus membuntuti. Kalau saja ikatan dasi itu mampu membunuhnya seketika tanpa rasa sakit, mungkin sudah ia lakukan. Untungnya dia masih punya akal sehat untuk tidak mati sia-sia. Ia bercermin pada dinding lift yang mengkilap, merapikan anak rambut yang berantakan dengan tangannya. Tiba-tiba ia menangkap sosok Jingga di cermin itu. Jingga yang tersenyum manis memberikan ucapan terimakasih karena sudah dilayani dengan tulus.
Ia berusaha menampik. Tapi wajah Jingga semakin jelas. Ia membalikkan tatapannya ke arah lain. Masih sama. Jingga masih tersenyum manis. Pemuda itu mengusap wajah, buru-buru keluar setelah lift tiba di basemant.
Laki-laki selalu penuh logika. Ia rela menjadi pelayan otodidak hanya karena dirinya hidup di negeri orang. Jauh dari keluarga, kerabat, dan sanak saudara. Bila saja apa yang terjadi pada Jingga menimpanya, mungkin Jingga akan melakukan hal yang sama, merawatnya. Itulah kenapa ia berbaik hati menemani Jingga 48 jam di rumah sakit. Meski mereka belum saling mengenal satu sama lain.
***
Angin dari barat bertiup cukup kencang. Menyapu debu dan menerbangkan sampah-sampah kecil yang dibuang sembarang oleh oknum tak bertanggungjawab. Lalu-lalang manusia berseliweran di sepanjang jembatan busway. Ada yang sendiri, berdua, serta bergerombol dengan teman-teman dan keluarga mereka.
“Nanti kita mampir dulu ke pameran lukisan di kampus UKI.” Salah satu muda-mudi berceloteh pada teman sebayanya.
Jingga berjalan santai meniti jembatan yang menurun. Di sepanjang trotoar kawasan UKI, banyak sekali pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan andalan mereka. Ada batu akik, pernak-pernik tas, sepatu, ikat pinggang, sarung tangan, makanan, minuman, dan dagangan lainnya yang tumpah ruah hingga memakan seperempat badan jalan dan membuat macet.
Gadis itu mengamati satu per satu pedagang kaki lima. Ia berhenti di tempat penjualan sepatu. Tangannya meraba sepatu kets bertali dan mencoba memakainya. Ukurannya kebesaran. Jingga mencopotnya lagi. Pedagang yang melihat, menghampiri dan mengintip ukuran kaki mulus nan mungilnya yang hanya 37. Itu saja kadang masih kendor. Ah, kalau boleh jujur, sebenarnya dia tidak berniat membeli. Tapi berhubung sang pemilik lapak teramat agresif, mau bilang apa lagi.
Pedagang kaki lima itu mencarikan ukuran yang paling pas untuk ukuran kaki Jingga yang mungil. Sambil menunggu, Jingga melihat-lihat sepatu model lainnya yang sengaja digantung dengan berbagai corak, bentuk dan warna. Ada sepatu untuk kerja, sekolah, olahraga, santai, dan sebagainya.
“Ini, Neng. Dicoba dulu saja,”
Dengan terpaksa, Jingga melepas lagi sandal tepleknya, memasukkan kakinya ke dalam sepatu yang disodorkan sang penjual. Ia bisa saja pergi ke swalayan untuk membeli merk ternama yang kualitasnya jauh lebih mumpuni.
“Muat, Mbak. Bagus. Ini harganya berapa?” Jingga memperagakan gaya catwalk. Berusaha menyenangkan hati pemilik lapak.
“Rp 65.000, Neng,”
Jingga mengangkat kepala. Murah sekali… batinnya berkata demikian.
“Sebenarnya saya tidak bermaksud membeli. Tadi saat menuruni anak tangga, mata saya terpaku dengan sepatu kets ini. Sayapun penasaran dan segera kemari untuk menyentuhnya.” Jingga memperhatikan dengan detil sepatu yang kini ada di tangannya. Kelihatannya bagus, tapi pasti baru dipakai sehari saja sudah rusak, pikirnya.
“Tidak beli juga tidak apa-apa, Neng. Dilihat dulu saja. Siapa tahu tertarik,” Wanita berjilbab itu menyunggingkan senyum.
“Selain warna hitam, ada warna lain?”
“Ada warna putih dan abu-abu. Sebentar, saya ambilkan.” Wanita berjilbab itu berlalu lagi.
“Ini! Ukurannya ada yang pas dengan kaki si Neng,”
Jingga memasangkannya kembali sepatu yang disodorkan penjual. Masih agak kendor sedikit. Tetapi lumayan untuk mengejar busway. Ia pun membelinya.
“Mbak sudah lama berjualan di sini?” Jingga mengeluarkan uang yang disebutkan pedagang sepatu tanpa menawar seperakpun. Keterlaluan sekali bila seorang Jingga, seorang manager di perusahaan go public, tega menawar dengan pedagang kaki lima.
Pedagang itu menerima uang dari Jingga dan langsung memasukkannya ke dalam dompet hitam besar yang diikat di pinggangnya. “Sudah lama, Neng.”
“Apa Mbak tidak takut kalau ada razia dari tata dinas kota?” Jingga menyelonjorkan kakinya di trotoar.
“Takut sih, Neng. Ya mau bagaimana lagi. Cari pekerjaan di Jakarta susah-susah gampang. Kadang kita harus sembunyi-sembunyi dari Satpol PP, mesti pintar memutar otak.” Dahi perempuan itu terlipat.
“Ada ongkos premannya, kah?” Jingga memasukkan sepasang sepatu kets putih ke dalam tas selempangnya. Tertarik mendengar cerita langsung dari pedangan pinggir jalan yang selama ini menjadi bulan-bulanan pemerintah karena memakai jalan umum dan menimbulkan kemacetan. Ada kalanya kita yang awam ilmu pengetahuan sosial, perlu sesekali berbicara dari hati ke hati dengan mereka terkait kondisi sebenarnya.
“Pasti ada, atuh. Namanya juga Jakarta. Semuanya serba ada. Usaha bentuk apapun bisa ditemukan di sini, tidak mengenal halal dan haram. Beginilah, Neng, hidup jadi perantau yang serba kekurangan. Tapi Alhamdulillah, sekarang keluarga kami berkecukupan.” Ibu itu mengusap hidung.
Suara klakson berseru membuat bising. Kemacetan sore tak terindahkan. Para pejalan kaki semakin ramai, mengalah melangkah di bahu jalan lantaran trotoar yang menjadi haknya diambil alih. Jingga memperbaiki kunciran rambutnya yang mengendor, sambil memerhatikan kesibukan di sekitarnya yang semakin ramai oleh lalu-lalang mahasiswa.
“Nominalnya besar?” Jingga meneguk air mineral.
“Lumayan. Ketimbang harus menyewa lahan di mal atau pameran. Kadang kalau berjualan di mal, omsetnya suka naik turun. Justru banyak turunnya.”
“Misalnya?” Jingga melipat kedua kakinya di atas karpet kecil dekat rak sepatu. Memandangi sang ibu, tak sabar menunggu celotehan berikutnya.
“Di mal itu tempatnya orang elit. Mana mau dengan barang murahan yang serba KW. Mereka lebih memilih barang mahal yang sudah pasti kualitasnya.” Perempuan itu cekatan merapikan sepatu yang tidak berada pada tempatnya.
“Pasti si Mbak dapat supplier langganan ya? Makanya berani kasih harga murah.”
“Benar, Neng. Kala tidak langganan, mana mungkin saya memperoleh gross profit / keuntungan dari hasil penjualan sepatu KW ini. Jangan salah, lho.. Dalam sehari saya bisa meraup untung rata-rata lima ratus ribu.”
Jingga mengangguk-angguk, berdecak kagum. Secara tidak sadar otaknya mengalkulasi pendapatan si ibu selama sebulan penuh. Seumpama dalam sebulan itu sang ibu berjualan tanpa libur dan tanpa embel-embel diusir Satuan lalulintas Polisi RI, maka gross profit yang diperoleh kurang lebih 15 juta? Wow, angka yang sangat fantastis.” Pekiknya dalam hati.
“Kalau suami Mba kerja di mana?” tanya Jingga lagi, yang lebih tepatnya ingin bertanya; “Suamimu kerja sebagai apa?”
“Kerja bareng dengan saya. Tapi dia sedang mengantar anak saya yang ke-2 les Bahasa Inggris. Pembantu yang biasa mengantar sedang mudik.”
English? Pembantu? Bagaimana bisa? Jingga melipat dahi.
“Pasti si Neng tidak percaya kan kalau seorang pedagang kaki lima seperti saya bisa mengursuskan anaknya Bahasa Inggris?” perempuan itu tersenyum. Jingga membalas dengan senyum tanggung.
“Si Neng juga pasti tidak akan percaya kalau saya dan suami lulusan Sarjana Ekonomi. Sejak lulus kuliah sepuluh tahun silam, kami berdua sama-sama mencari pekerjaan di kantor orang. Tapi ternyata bekerja sebagai pegawai kantor lebih banyak makan hatinya. Kadang bila beruntung mendapatkan atasan yang baik, rekan kerja banyak yang syirik, lantas mereka memusuhi kita. Kadang jika rekan kerja asyik, bosnya yang semena-mena. Disamping itu, gajinya ngepas, tidak cukup untuk menabung dan memberi orangtua. Alhasil kami berwiraswasta. Hasilnya lumayan. Lima kali lipat dari hasil kerja kantoran.” Perempuan itu telah selesai merapikan sepatu.
Jingga menggigit bibir, manggut-manggut mendengar sang wiraswastawati mencurahkan isi hati.
“Anak saya yang pertama sudah kelas tiga sekolah dasar. Dia sekolah di sekolahan Internasional. Anak yang pintar, nurut, dan berbakat.” Perempuan itu tersenyum sendiri. “Dan kami juga punya dua pembantu di rumah. Satu bertugas bersih-bersih, satunya bertugas memegang anak yang paling kecil, baru umur 6 bulan.” Ucapnya penuh bangga.
“Anak Mbak ada tiga?”
Perempuan itu mengangguk. “Kalau si Neng sudah berkeluarga?”
“Belum. Saya masih single,” Jingga benci dengan pertanyaan itu.
“Maaf, saya kira sudah berkeluarga.”
“Tak apa. Banyak yang bertanya begitu. Dan mungkin sudah sepantasnya begitu. Tapi faktanya saya masih betah sendiri.” Jingga tersenyum kecut sambil memperbaiki posisi duduknya.
Perbincangan singkat dengan sang pemilik lapak membuat hati Jingga terenyuh. Wanita itu tidak cantik, tapi punya pasangan yang setia. Kenapa orang lain gampangnya meraih kesuksesan? Bahagianya orang ini memiliki partner yang rela berjuang bersama-sama demi kesuksesan. Jingga mendadak sedih. Ia undur diri dan mengucapkan terimakasih pada perempuan yang membuka matanya bahwa tak selamanya pedagang kaki lima berpendidikan rendah, dan tak selamanya tampang pas-pasan tidak laku di pasaran dunia percintaan. Cantik itu relative, karena yang menilai itu hati, bukan mata. Tapi kadang memiliki hati yang cantik sekalipun masih rentan dikelabuhi.
Langit sore bersemu keemasan di bagian barat cukup meneduhkan hati yang panas. Kebisingan yang tak pernah usai serta hiruk pikuknya Jakarta menjadi karakter kuat mengapa kota ini dikatakan sangat kejam. Semua manusia dari nusantara berkumpul di sini. Menjadi perantau demi sesuap nasi yang begitu mahal. Para pejalan kaki semakin ramai. Saling berceloteh tentang kehidupan mereka masing-masing. Tertawa. Nampaknya tidak ada yang sesedih hatinya.
**
Usai menghadiri undangan kliennya, Rama iseng berjalan sebentar melihat keramaian ibukota sore hari di sekitar Jalan Mayjen Sutoyo, Jakarta Timur. Ia memarkir mobilnya di basemant Kampus UKI. Tidak mengapa pulang telat. Toh di apartemennya tidak ada yang menanti-nanti kehadirannya. Tiga tahun dalam kesibukan tanpa seseorang, membuatnya bebas melakukan apapun yang ia suka. Selama itu masih dalam lingkup yang positif.
Langkah Rama terhenti ketika mendapati seorang wanita imut yang beberapa hari terakhir muncul dalam otaknya. Ia mengucek mata. Semoga hanya halusinasi. Perempuan itu mengenakan kaos oblong berwarna putih, menguncir rambutnya tinggi-tinggi, memakai sandal teplek, dan duduk bersila di karpet salah satu pedagang kaki lima.
Nalurinya menyuruh mendekat. Mencoba menguping apa yang sedang mereka bicarakan. Alamak, gadis itu sungguh manis, meski wajahnya tak beralaskan bedak sama sekali. Bibirnya yang merah merekah, sudah beberapa kali menyunggingkan senyum menawan. Apa yang dilakukan gadis itu di sini? Tanyanya dalam hati.
“Saya mendapatkan banyak pengalaman berharga dari Mbak. Terimakasih banyak atas jiwa enterpreunershipnya. Kalau saja Mbak adalah seorang Mario Teguh, mungkin saya harus bayar mahal untuk mengikuti seminar singkat ini. Semoga di lain kesempatan kita bisa bertemu lagi.” Jingga tertawa renyah pada perempuan yang berdiri di hadapannya. Kemudian pamit.
Rama kagum pada sosok Jingga kali ini. Sungguh apa yang dipikirkannya selama ini salah. Bahwa Jingga hanyalah orang kaya yang sombong. Gadis jutek yang enggan bersahabat dengan rakyat kecil. Pemandangan ini membuat dirinya meralat perkataannya. Jingga adalah gadis sederhana dan apa adanya.
Tak perlu repot mengejar langkah Jingga. Namun langkahnya yang cepat, dan pengawakannya yang mungil, mudah untuk gadis itu menyelip di kerumunan. Rama berteriak memanggil nama gadis itu. Sayang, kedua telinganya disumpal handsfree. Gadis itu tidak mendengar teriakannya.
Dengan wajah kecewa, Rama membalik badan dan menuju parkiran. Pikirannya masih tersendat pada gadis berkulit putih yang terus membayangi hari-harinya belakangan ini. Ia menyalakan mesin mobil Fortunernya, melaju dengan kecepatan lambat karena kemacetan super panjang yang tidak bisa ditoleransi.
Jingga itu laksana bunglon. Kadang jutek, sendu, lucu, ceria, juga misterius. Ah, dia memang penuh teka-teki. Dalam benaknya yang kecewa, di lampu merah itu ia melihat Jingga sedang menyeberangi zebra cross. Tanpa ragu, Rama membuka pintu mobilnya dan mengejar gadis berpakaian santai yang sedang menikmati es krim di tangan kanannya.
“Jingga…” Rama berteriak lagi.
Gadis itu menoleh, mematung.
Seketika lampu berwarna hijau. Dua anak manusia itu membuat pengendara lain geregetan. Suara klakson bersahutan melengking ke telinga. Menyemaraki adegan keduanya di tengah jalan raya.
“Lekas naik mobilku!” Rama menarik paksa lengan Jingga yang mematung di tengah jalan raya.
“Astaga, Rama. Es krimku mau jatuh. Aku baru saja menjilatnya lima kali.” Jingga mengaduh sakit karena laki-laki asing itu menggeretnya tanpa ampun.
Pemuda itu tak mempedulikan. Ia menarik pedal gas dan melaju dengan kecepatan normal. Diliriknya gadis bunglon yang berada di samping kirinya. Jingga yang sedang manyun menatap lurus jalanan. Rama tersenyum menyaksikan wajah sebal Jingga. Kadang ekspresi seseorang bila sedang kesal, terlihat lebih lucu dan sayang jika tidak menggodanya.
“Aku tidak ingin kau tertabrak, Jingga.” Rama menoleh sebentar, memerhatikan mimik wajah Jingga yang terlipat, sebelum akhirnya fokus mengemudi.
“Tanganku sakit. Lihat ini! Merah bukan? Kau jahat sekali,” Jingga menunjukkan pergelangan tangannya yang merah akibat dicengkram Rama barusan.
Rama tersenyum. Gadis ini memang menggemaskan.
“Oh ya, aku tidak sempat meminta kontakmu saat kau mengantarku pulang dari rumah sakit.” Jingga mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang.
Rama mengangkat bahu, “Tentu tidak sempat. Kau kan wanita paling sibuk se-planet bumi. Sedang sakit saja masih sibuk memikirkan pekerjaan.”
Jingga melotot sebal. Tidak jadi meminta kontak laki-laki menyebalkan itu. Ia membalikkan wajahnya ke jendela, buru-buru menghabiskan es krim connya yang mencair. Memang sih, pada saat meringkuk di rumah sakit, Jingga terus menghubungi Livi, memantau dan mengontrol beberapa anak buahnya terkait pekerjaan urgent melalui telepon dan chatting.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Rama tanpa menoleh.
“Baik,” Jingga menjawabnya singkat. Juga tanpa menoleh.
“Aku akan membelikanmu es krim yang jauh lebih besar dari ini.”
“Benarkah?” Jingga menatap Rama lamat-lamat. Matanya mengerjap-erjap macam anak kecil.
“Kukira kau mahasiswi yang sedang belanja sepatu di pedagang kaki lima, dan kemudian membeli es krim sambil menjilatinya di lampu merah,”
Jingga memanyunkan bibir, “Pedagang kaki lima itu telah menjadi guruku. Kau jangan merendahkan mereka. Manusia seringkali menilai manusia lainnya berdasarkan kerangka luar, warna kulit, dan kedudukan. Jika kau mau menelaah, sedikiiiitt saja…” Jingga menempelkan jempol dan kelingking tangannya, memasang wajah serius.
“Siapa kira mereka yang kita remehkan ternyata memiliki value / nilai yang jauh lebih berkelas, jauh lebih elit, jauh lebih jenius dari kita. Siapa kira seorang pedagang kaki lima yang jualan dagangannya di pinggir jalan, yang berperang dengan bisingnya kendaraan, sarat polusi, harus siap siaga dengan satuan lalulintas polisi atau satlantas polri, adalah orang-orang yang cerdas, merdeka, dan sukses. Siapa kira? Mereka berani menjadi diri sendiri, mereka bertanggungjawab atas resiko sendiri.” Tukas Jingga sambil mengelap mulutnya yang belepotan oleh es krim.
“Iya, aku tahu itu.” Rama tersenyum. Kali ini Jingga mirip sekali dengan mahasiswi semester awal. Wajahnya imut dan tidak sedewasa yang ia lihat kemarin siang. Jingga benar-benar mirip bunglon.
Kamu manis, Jingga, sungguh. Selain manis, kamu juga terbuka pada hal-hal umum, pada hal-hal sepele yang belum tentu orang lain mau peduli. Kau pelajar yang ulung. Jangan salahkan aku kalau aku kagum padamu. Sayang, kalimat itu hanya menggantung di tenggorokan Rama. Pita suaranya seakan bersembunyi, enggan membantunya bicara.
Berada di dekat Jingga, ia lupa dengan kemacetan yang luar biasa parah. Rama memarkirkan mobilnya di sebuah rumah makan di daerah Sarinah. Dengan pakaian Rama yang formal, dan Jingga yang abal-abal, mereka PD berkeliling mal di antara ratusan mata yang memandang. Tertawa. Ini adalah kali pertamanya Rama mendengar tawa lepas Jingga. Juga untuk kali pertamanya Jingga mengenal sosok Rama yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar