Malam ini Jingga malas memasukkan makanan ke mulutnya. Padahal lambungnya sudah perih dan butuh diisi. Mungkin makan tadi siang merupakan pengganjal perut hingga esok pagi. Seharian ini ia terus kepikiran Rama yang tiba-tiba mendiamkannya tanpa sebab. Tak ada lagi yang memberikannya ucapan selamat tidur, tak ada lagi yang mengecup kening dan bibirnya, tak ada lagi perhatian kecil yang ia terima dari laki-laki bertubuh tinggi dan berdada bidang itu. Ia amat merindukan kekasihnya.
Jingga ingin sekali memberikan penjelasan, namun semua kontak Rama tak bisa dihubungi. Jingga benar-benar pusing. Ia membuka laptopnya, menyalakan modem, dan mencoba mencari tahu tentang Anton - rekan kerja lukis Rama, melalui media sosial. Di jejaring sosial, ada ratusan bahkan ribuan manusia yang bernama Anton. Satu per satu akun ia buka. Jika foto profilnya bergambar aneh, ia mengirimkan pesan dan bertanya, “Apakah benar, ini Anton rekan kerja melukisnya Rama?”
Sayang, hanya sedikit yang merespon pesannya. Dan semuanya menjawab bukan. Jingga hampir putus asa. Ia tidak bisa mencari Anton lantaran tidak tahu dimana titik keberadaan cowok bertubuh kurus hitam itu. Ingin meminta tolong pada siapa lagi? Jingga benar-benar tidak tahu, buntu.
Setelah merenung beberapa menit, Jingga teringat sesuatu. Ia segera membuka dompetnya dari dalam tas kerja. Di dompet itu ada kartu nama Rama dan nomor telepon event organizer yang bekerjasama dengannya. Mungkin dia bisa menelepon EO tersebut untuk mencari tahu kontak Rama yang bisa dihubungi. Gadis itu harus menghilangkan rasa malu demi keadaan hatinya yang tak karuan. Ia ingin cepat menuntaskan kesalahpahamannya dengan Rama. Karena menurutnya masalah bukan untuk dihindari, melainkan dihadapi.
Jingga mulai mengetikkan 11 digit nomor telepon yang tertera pada kartu nama tersebut.
“Diamond Picture, selamat malam. Ada yang bisa dibantu?” Baru satu nada panggilan, suara laki-laki menjawab dengan suara menyenangkan.
Jingga gugup harus berkata apa. Namun ia sekali lagi memberanikan diri untuk berbicara, “Saya Jingga…”
“Jingga? Hey, ini Jingga yang dua bulan lalu menghadiri pameran seni lukis di JCC kan? Saya Anton. Masih ingat?”
Belum lengkap Jingga menyusun kalimat, percakapannya langsung dipotong oleh lawan bicaranya. “Iya, benar. Kebetulan sekali,” Jingga mengigit lidah. Rasa gugupnya membuncah.
“Ada apa meneleponku, Jingga? Ada yang penting kah? Atau kau punya lukisan yang ingin kau pajang juga? Oh ya, selamat ya akhirnya kau bisa melelehkan hati Rama. Pak pelukis itu sempat bercerita tentangmu. Wajahnya bahagia sekali ketika menyebut namamu.”
Jingga menarik napas. Anton tahu banyak tentang Rama.
“Anton, sebenarnya…” Lidah Jingga terasa kelu. Kata-katanya tak pernah selesai diucapkan.
Anton yang merasakan ada yang tidak beres, segera ke masalah inti, “Apa yang bisa kubantu, Nona?”
“Aku sedang lost contact dengan Rama. Ponselnya tidak dapat dihubungi. Semua ini hanya salah paham. Kemarin malam dia memergokiku sedang duduk berdua dengan laki-laki di kamar apartemen. Dan semenjak itu dia tidak menghubungiku lagi. Aku harus menjelaskan semuanya pada dia. Tapi aku tidak tahu apakah dia mau mendengarkanku atau tidak.”
“…”
“Anton, apakah ada kontak Rama selain yang akhirannya 388? Atau, kau tahu keberadaan dia sekarang? Tolong beri tahu aku.” Jingga mendesah resah.
“Sebentar,” Anton mengecek ponselnya, “Ada. Nomor khusus untuk urusan pekerjaan. Kau mau?”
“Aku tidak yakin dia akan menerima panggilanku.”
“Pasti diangkat,” Anton memberikan semangat 45.
“Kalau boleh, aku ingin kau membantuku untuk menjelaskan masalah ini. Laki-laki yang kemarin malam ada di apartemeku, dia adalah mantanku tiga tahun lalu yang kebetulan mampir. Dia memang memintaku untuk memperbaiki hubungan kami, tapi aku menolaknya. Bukan karena aku sudah punya Rama, melainkan aku memang sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi padanya. Kumohon Anton, bisakah kau membantuku?” Jingga memelas. Suaranya serak karena habis menangis.
“Baiklah, akan kucoba. Kau yakin tidak mau nomor telepon Rama?”
“Tidak perlu. Nanti aku akan meneleponmu kembali jika aku benar-benar membutuhkan nomor itu. Sebelumnya aku mengucapkan terimakasih banyak. Maaf sudah merepotkan,”
“Tak apa, Jingga. Dia itu memang kalau marah suka begitu. Pahami saja sifatnya. Ah, orang jatuh cinta itu lucu ya, ada cemburu dan ini itu,” Anton terbahak dengan ucapannya sendiri.
Jingga tidak ikut tertawa. Hatinya sedang muram. Ia berharap Anton bisa membantu menjelaskan pada Rama tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Dan semoga saja Rama mau mengerti.
Tak terasa waktu sudah di angka dua dini hari. Jingga belum juga memejamkan matanya. Dari sepulang kerja, ia hanya tidur-tiduran di kasur. Tidak makan, tidak mandi, tidak cuci muka, tidak gosok gigi, dan rutinitas lainnya sebelum tidur. Meski lampu sudah dimatikan, matanya belum juga mengantuk. Kepalanya pusing memikirkan Rama. Kenapa laki-laki gengsinya tinggi sekali? Sungguh egois.
**
Alarm Jingga bergetar hebat. Melengkingkan suara ke seluruh ruangan. Bekas tisu berantakan memenuhi kamar tidur dan sofa. Semalaman Jingga menangis hebat karena Rama. Matanya bengkak seperti terbentur benda tumpul.
Jingga menyalakan lampu dan membuka tirai jendela. Matahari di ufuk timur malu-malu terhalang awan. Ah, benci sekali jika harus mengingat nama itu. Jingga menguap, tidurnya hanya empat jam. Perutnya bernyanyi keroncongan.
Gadis itu menuju dapur dan membuat roti bakar serta segelas susu hangat. Tidak tanggung-tanggung, ia juga menyeduh minuman sereal sebagai tambahan nutrisinya yang tak terisi semalaman. Sejak kemarin, ia hanya mencomot setengah porsi makan siang. Ia bergidik, tidak mau dirawat di rumah sakit lagi.
Pagi ini ia ingin melepaskan pikirannya tentang Rama. Meski dadanya sesak, ia mencoba untuk mentralkan perasaannya. Cinta memang selalu menyiksa. Andai saja tak ada perasaan spesial terhadap laki-laki itu, mungkin tidak ada hati yang merindu dan cemas seperti ini. Jingga beranjak mandi dan bersiap-siap menuju kantor. Hari ini ia harus mengemudikan mobilnya sendiri karena Pak Eki masih belum kembali ke Jakarta.
Di basemant, Rama melihat Jingga melajukan mobilnya dengan kencang. Pagi buta begini gadisnya sudah meluncur ke tempat kerja dengan mengenakan blazer biru muda dan celana panjang putih yang beralaskan high hells hitam mengilap setinggi 10 cm. Rambutnya dibiarkan tergerai. Jingga sungguh menawan melintas di depan matanya. Namun sebagian hatinya membantah kalau perempuan itu sungguh tega melukainya. Maka Rama buru-buru masuk ke dalam lift dan istirahat di kamar apartemennya.
Semalam, ketika Jingga menelepon Anton, sebenarnya ia sedang berada bersamanya saat itu di ruangan melukis. Ia tidak ingin pulang ke apartemen hingga seminggu ke depan. Tapi Anton menceramahinya panjang lebar dan harus mau mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Alhasil Rama pun pulang karena diusir oleh sahabatnya itu.
**
“Kamu menangis, Jingga?” tanya Livi prihatin.
“Begitulah,” Jingga memperbaiki kacamata minusnya. Kacamata yang hanya dipakai ketika melihat angka dan rumus-rumus di layar komputer.
“Semalam aku sedang repot. Juna terus meneriakiku untuk segera pulang dari swalayan. Di rumah, aku masih harus mengemasi barang-barangnya. Selepas membereskan semua yang perlu dibawa, aku ketiduran. Juna mau audit ke Sulawesi selama lima hari ke depan. Kau boleh menginap di rumahku jika mau, Jingga. Aku sudah minta izin pada Juna.”
Jingga tersenyum hambar. Usulan yang bagus. Tapi ia tidak ingin menghindari masalahnya. Dia bukan anak kecil lagi yang harus kabur-kaburan.
“Terimakasih atas tawaranmu, Livi. Tapi aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di apartemen. Esok lusa mungkin keadaannya membaik. Aku ingin menghadapi masalahku dengan dewasa.” Jingga menyesap kopi vanilla untuk mengurangi rasa kantuk.
“Tapi kau tidak boleh memendam masalahmu sendirian, Jingga. Aku tahu kamu sudah dewasa dan matang, tapi ada baiknya kau cerita padaku tentang apa yang kau rasakan. Kau ingat kan, saat aku terpuruk lima tahun silam? Kau adalah pahlawanku. Ya, kau pahlawanku, Jingga. Jangan gengsi untuk berkeluh kesah padaku,” Livi menepuk bahu Jingga.
Jingga memasang senyum tanggung. Rupanya Livi masih membahas perubahan sikapnya yang tertutup. Apa yang harus diceritakan? Toh hanya diri sendiri yang merasakan. Jingga menarik napas dan mulai fokus pada report mingguannya.
Hari ini pekerjaan sedang banyak-banyaknya. Closing bulanan empat perusahaan membuatnya hampir mabuk. Beberapa anak buahnya dipanggil satu per satu terkait laporan mingguan. Jingga baru mematikan layar komputer di angka 21:00 WIB. Awalnya Livi menemaninya, tapi asistennya hanya mampu duduk di kursi panas hingga pukul delapan petang. Jingga memang sudah terbiasa sendirian di ruangan lantai 11 itu. Ia bahkan sama sekali tidak takut kalau karyawan lain bilang gedung itu kalau sudah malam berubah jadi angker.
Usai mengirimkan laporan konsolidasi pada Pak Steven, Jingga tidak langsung pulang ke apartemen, melainkan mampir ke sebuah rumah makan dekat kantornya. Ia memesan banyak sekali menu makanan kesukaannya, seperti soto ayam, prekedel, dan ikan gurame. Termasuk aneka es krim dan dissert. Selama satu jam ia habiskan di restauran itu. Pikirannya lagi-lagi menyangkut tentang Dika yang dulu bekerja sebagai kepala restaurant. Karena dia, hubungannya dengan Rama merenggang. Jingga semakin pusing bukan kepalang. Ia menuruni lift dan melajukan mobilnya untuk pulang.
Jalanan ibukota malam hari nampak lengang. Cahaya lampu yang menguning sedikit menentramkan hatinya yang kelam. Di kiri dan kanan jalan, bangunan bertingkat tinggi menjulang bak kotak raksasa yang memancarkan cahaya warna-warni. Tepat setelah gedung FX, Jingga membelokkan setirnya dan mengebut sampai ke parkiran apartemennya. Bassemant yang sunyi dan lampu sedikit temeram, membuat hati Jingga merasa sepi. Ia berjalan dengan langkah cepat menuju lift. Rasanya ingin segera merebahkan tubuh dan otaknya yang letih.
Setibanya di kamar apartemen, Jingga malah menuju balkon. Ia lupa kalau malam ini purnama sedang terang benderang. Siapa tahu kegalauan hatinya berkurang dengan memandang purnama yang menggantung aduhai. Jika ada waktu senggang, biasanya ia pergi menginap di vila langganannya di daerah Puncak Bogor. Di sana langitnya lebih bersih dan cerah. Sehingga ia merasa seperti bermandikan cahaya bulan.
Jingga berdiri memegangi pagar besi. Wajahnya dingin diterpa hembusan angin malam. Tanpa berganti pakaian terlebih dulu, ia asyik menenggakkan kepalanya menikmati bulatan berwarna jingga yang menyala di antara gelap hatinya. Beberapa bintang yang setia menemani, ikut menghiasi megahnya malam. Satu bintang yang paling mencolok cahayanya, berkedip di bawah lengkungan bulat sang purnama. Selalu begitu dan dia tidak keberatan sang gemintang menemaninya. Tetapi tak lama awan hitam menutupi teman malamnya. Merusak kebahagiannya yang sedang asyik menatap purnama. Jingga mendengus kecewa. Kenapa pula awan hitam itu datang lagi? Pikirnya jengkel.
**
Coklat panas di cangkir putih sudah selesai diseduh. Rama membawanya ke balkon lalu menyesapnya dua tegukan. Di bangku kayu yang tertancap dekat pagar besi apartemennya itu, ia memandang remang-remang lampu kota yang disinari cahaya purnama. Jika duduk di balkon meneguk coklat panas atau kopi seperti ini, ia teringat Anton yang sering meledeknya bahwa dirinya merupakan pria tidak normal lantaran tidak merokok.
Saat sekolah dasar dulu, Rama pernah sembunyi-sembunyi kabur dari sekolah hanya untuk mencicipi batang berasap itu. Namun ia ketahuan guru BP yang langsung melaporkan pada orangtuanya. Dan hari itu menjadi hari naas sedunia dan nyaris mati oleh cambuk sapu lidi dan jeweran dari ayah. Bukan karena trauma, tapi berhubung rasa asap itu sama sekali tidak nikmat. Lebih baik mengunyah tebu, ungkapnya. Biarpun agak keras dan butuh perjuangan hingga tinggal ampas, setidaknya ada rasa manis di lidahnya. Demikian penjelasan Rama pada Anton kenapa dia tidak mau merokok seperti pria kebanyakan.
Malam ini Rama tidak bisa tidur. Itulah sebabnya ia menyeduh cokelat panas. Ia juga sedang tidak antusias untuk melukis. Rasanya lebih menyenangkan menikmati sisi kota Jakarta malam hari dari atas. Lampu balkon sengaja tidak dinyalakan. Ia bangkit dari kursi kayu menghampiri pagar besi. Sesekali ia menengadah ke langit kemudian menyesap coklat hangat yang dipegang di tangan kanannya sambil berusaha tidak memikirkan apapun. Hanya secangkir cokelat, bulan, bintang, lampu kota, gedung-gedung tinggi, dan dirinya disitu.
Jingga yang masih betah berdiri memegangi pagar besi, sama sekali tidak menyadari ada bayangan yang bergerak di sebelah kirinya. Bayangan itu sedang mematung menghadap langit dalam kegelapan. Bila sedang me time begini, ia lupa akan semua masalah yang menyelinap di pikirannya. Ia bahkan lupa kalau Rama hanya terhalang satu kamar di sebelah kiri. Matanya lebih terpukau memandang purnama dan senyapnya malam dengan pemandangan yang menentramkan jiwa. Ia baru kembali ke kamar setelah kakinya kesemutan dan merasa pegal lantaran berdiri kurang lebih satu jam memegangi pagar. Rambutnya masih tergerai, sedikit acak-acakan tertiup angin. Atau barangkali ia juga lupa kalau sejak pagi belum menyisir rambutnya.
Rama mendengar langkah kaki dan melihat bayangan perempuan berambut panjang memasuki ruangan apartemen. Matanya terbelalak saat mengetahui gadis itu ialah Jingga. Gadis yang sudah dua hari didiamkannya. Dadanya sakit ketika harus mengingat kekasihnya sedang berduaan dengan laki-laki lain. Tapi ia juga tak bisa menahan rasa rindu yang menyesakan dada. Perkataan Anton terus mengiang di telinganya, yang berujar bahwa lelaki dikatakan sudah dewasa jika mau mendengarkan sebuah penjelasan dari pasangannya.
Rama meletakan cangkir coklat panas yang tinggal sedikit lagi di meja kayu. Ia menutup pintu balkon dan langsung menuju apartemen Jingga. Ia yakin gadis bunglonnya belum terlelap.
Baru saja Jingga mencopot blazer biru dan celana panjang putihnya, tiba-tiba suara bel nyaring memekakkan telinga. Saat ini ia hanya mengenakan tanktop dan celana street hitam pendek. Gadis itu takut jika mantannya - Dika, akan kembali menemuinya lagi. Namun ia mendengar suara yang sempat menghilang dua hari terakhir akibat hujan badai yang memporak-porandakan hatinya karena kesalahpahaman.
Jingga berlari membuka pintu. Seolah ingin berteriak bahwa ia amat merindukan kehadiran orang yang barusan memanggil namanya dari corong bel. Namun setelah pintu terbuka, gadis itu justru mematung dengan perasaan salah tingkah. “Rama?”
“Boleh aku masuk?” Rama memandangi Jingga dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Jingga mengangguk. Langsung menutup pintu dan menguncinya. Takut ada orang lain yang masuk.
“Kau tidak pantas membuka pintu dalam keadaan seperti ini, Jingga. Bagaimana kalau yang memencet bel adalah orang jahat?” Rama duduk di sofa sambil marah-marah.
Jingga tersenyum lega. Lebih baik dimarahi daripada didiamkan berhari-hari. Ia langsung memeluk tubuh hangat Rama yang menyeruakan wangi maskulin, “Aku tahu ini kamu, jadi aku tidak perlu berganti pakaian saat membuka pintu. Aku kangen kamu, Rama,” senyuman itu berubah menjadi isak tangis.
“Aku berjanji tidak akan menangis lagi. Tapi aku tidak bisa. Kau sudah mendoktrin bahwa aku jahat. Padahal kau sendiri lebih jahat. Kau tidak mau mendengarkan sedikitpun penjelasanku,” Jingga terisak tak terperi.
Rama membalas pelukan Jingga dan menciumi rambutnya yang berantakan. Meski belum mandi, tubuh Jingga begitu harum. Rama seketika sedih melihat mata Jingga yang sembab dan sayu. Tapi wajah sendu itu selalu terlihat manis. Semanis bibirnya yang ia tidak kecup selama dua hari.
“Aku juga minta maaf, Sayang. Rasa cemburu ini membutakanku. Aku tidak rela kau berduaan dengan laki-laki lain, Jingga. Aku tidak ingin sedetikpun kehilanganmu,” Rama menatap wajah Jingga lamat-lamat.
Pemuda itu mengusap air mata Jingga dan mencium bibir gadis itu dengan perasaan rindu yang luar biasa. Tidak berhubungan dua hari saja terasa sungguh menyiksa. Apalagi jika harus terpisah berbulan-tahun. Ia menyibak anak rambut yang menutupi wajah Jingga. Tangan kirinya melingkar di pinggang Jingga yang saat ini hanya terbalut sehelai kain tipis sebagai penutup kulit putihnya.
Jingga memejamkan mata, membalas ciuman hangat Rama yang membasahi bibir atas dan bawahnya. Bulu tipis yang berada di sekitaran bibir Rama membuatnya geli. Mungkin Rama sedang malas mencukurnya. Jiwanya terasa melayang ke angkasa dan membuat ketagihan ingin melakukannya lagi dan lagi. Kedua tangannya melingkar di leher Rama, kadang iseng mengacak-acak rambutnya. Napasnya memburu dan tersengal. Sesekali ia melepaskan ciuman dan meneruskannya kembali hingga berjam-jam.
“Kita harus segera menikah,” Rama membisikkan sesuatu di telinga Jingga.
Jingga menggangguk dan meneruskan ciuman erotis itu hingga jarum jam tepat pukul 00:00 WIB.
Jika cinta sesimpel ini, tidak perlulah untuk saling membenci satu sama lain. Toh keduanya saling membutuhkan dan merasa ingin memiliki. Manusia terkadang egois untuk mengakui perasaannya. Selalu menghindar dan berpura-pura tidak butuh. Padahal keduanya merasa amat tersiksa menahan rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar