Honda Jazz diparkirkanya di basemant dekat lift. Usai melakukan penerbangan Lombok-Jakarta selama tiga hari, Jingga merasa sedikit lelah. Ia ingin buru-buru tiba di tempat tidur. Namun saat hendak berbelok menuju lift, kedua matanya terpatri pada plat mobil Rama yang bersisian dengan mobilnya. Jingga menggelengkan kepala. Mungkin itu hanya halusinasi saja karena terlalu sering memikirkan mantan kekasihnya.
Setibanya di apartemen, Jingga langsung merebahkan tubuhnya ke springbed. Beberapa hari terakhir, ia susah tidur. Tanpa membuka jaket dan syal yang membungkus tubuh langsingnya, Jingga terpejam hingga langit menutup tirai siang. Ini merupakan tidur terlelapnya pasca tiga bulan berpisah dengan Rama.
Di kamar nomor 75, Rama terbangun mendengar sms yang masuk dari operator seluler. Rajin sekali pihak operator mengirimkannya pesan. Ia membuka matanya menatap langit-langit kamar. Nyawanya belum sepenuhya kumpul. Ia menguap, tidurnya lumayan lelap. Ia kegerahan karena lupa tidak menyalakan AC. Di kamar mandi itu, ia menyalakan shower, membiarkan dingin air membasuh hatinya yang bergejolak. Ingatannya terus melayang memikirkan dimana gadis bunglonnya berada. Dengan hanya mengenakan kaos oblong berwarna hitam dan celana kolor pendek, Rama duduk di balkon.
Di luar langit sudah gelap. Purnama hari ke tiga di bulan Agustus sedang berbincang dengan bintang di bawahnya. Jingga suka sekali menyaksikan bulan dan gemintang. Ia berharap gadis itu akan melakukan hal yang sama, di bawah langit yang sama, saling mengenang. Ia melirik ke kanan, menghayal Jingga melakukan hal serupa, yakni memegang pagar besi, menengadahkan wajahnya ke langit lepas. Tersenyum. Lalu Rama kembali menatap purnama, melihat senyum Jingga yang manis tergambar jelas di sana. Matanya yang sayu membuat dada Rama sesak. Purnama dan gemintang lalu kompak menertawai kekalutan hatinya yang tercabik-cabik. Rama menarik napas.
Diluar dugaan, pintu balkon tetangga sebelah kanan apartemennya terbuka. Keluarlah seorang perempuan yang sibuk menguncir rambutnya tinggi-tinggi. Dia hanya mengenakan tanktop putih yang dibalut jubah hitam panjang dan celana pendek berwarna gelap. Betapa terkejutnya Rama saat menyadari gadis itu adalah seseorang yang beberapa hari terakhir membuatnya kelimpungan. Gadis yang menghilang dua puluh tiga tahun tiga bulan dalam kehidupannya.
Gadis itu memegangi pagar dan menengadahkan wajahnya ke atas. Persis apa yang dilakukannya saat ini. Rama tersenyum memperhatikan tingkah Jingga dalam kegelapan. Ia ingin sekali menyapanya, namun bingung harus berbuat apa. Rasanya gugup dan gemetar.
Jingga kesulitan menguncir rambutnya akibat malas menyisir. Ia baru saja menuntaskan bermain busa di bath tub setelah tertidur dua jam di kasur empuk. Dua jam yang menurutnya sangat membantu memulihkan tenga dan pikirannya. Ia mengedipkan mata saat melihat bayangan laki-laki yang mirip dengan Rama memegangi pagar. Sama seperti gayanya saat ini. Lagi-lagi pikiranya kacau. Semilir angin malam mengucapkan selamat malam. Bayangan Rama yang berdiri memegangi pagar, kini memandang dirinya dan tersenyum. Jingga bergidik dan langsung masuk ke apartemennya. Kenapa jadi horror begini, pikirnya.
Rama memandangi punggung Jingga memasuki kamar. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia diam tak berekspresi? Apakah dia membenci kehadirannya? Atau sengaja menjaga jarak karena lusa akan melangsungkan pernikahan dengan orang lain? Gumamnya dalam hati.
Pintu balkon Jingga tertutup kembali. Rama ingin sekali menyapa gadis itu untuk yang terakhir kalinya. Namun sekujur tubuhnya gemetar. Rasa bersalah terus menghantuinya. Ia merasa menjadi laki-laki pecundang dan pengecut.
Jarum jam terus berputar. Tiga puluh satu menit tiduran di kamar, Jingga gelisah memikirkan bayangan Rama yang terus menjelma seperti hantu. Ia menyalakan TV LED. Lagi-lagi tayangan tentang dunia politik. Ia suka pusing menonton tayangan tersebut. Digantinya channel yang lebih menarik. Sepasang kekasih sedang berjalan bersisian di taman serba hijau. Sang pria menyuapi es krim ke mulut wanitanya dengan candaan yang membuat hidung wanita itu belepotan. Kenapa melihat pasangan lain bahagia sekali hidupnya? Kenapa dia sendiri tidak? Seketika hati Jingga tersayat perih. Dimatikannya TV LED tersebut. Ia mengambil kunci mobil untuk menikmati suasana malam dari kepiluan hatinya.
**
Rama memandangi lukisan wajah Jingga yang penuh dengan solasi bening. Robekan kertas membuat bagian itu semakin rumit. Ia sungguh merindukan gadis yang ada dalam lukisan itu, mendekap tubuhnya yang hangat. Dadanya panas mengingat sebentar lagi ia akan kehilangan gadisnya untuk selama-lamanya. Bagaimanapun juga, ia harus menemui Jingga sebelum pernikahan itu berlangsung. Ia hanya ingin meminta maaf atas kebodohannya menerima tantangan konyol Jingga, menikahi Kilka. Tidak ingin larut dalam kesedihan, Rama bergegas keluar apartemen untuk mencari angin.
Sandal teplek kesayangan sudah menempel di kaki mungil Jingga. Siap menemani sejauh apapun gadis itu pergi. Kedua kakinya gemetar saat melihat halusinasi mantan kekasihnya berdiri di sampingnya. Jingga melawan rasa takutnya dengan menyentuh wajah Rama yang berdiri di hadapannya. Betapa ia terkejut saat jemarinya berhasil mendarat di pipi itu.
“Akhirnya kamu pulang juga. Aku mencarimu kemana-mana,” Rama mendekati gadis yang mencepol sembarang rambutnya ketika sedang mengunci pintu.
“Benarkah ini kamu, Rama? Kupikir kaulah yang tidak akan pernah pulang,” Jingga mematung tidak percaya.
Suasana menjadi kikuk. Rama serba salah harus berbuat apa. Jingga menggigit bibir bawahnya, bingung. Ternyata mobil yang terparkir di sebelah Jazznya benar milik Rama. Juga bayangan hitam laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegangi pagar di balkon, menengadahkan wajah ke langit dan memandangnya dalam kegelapan adalah sungguhan Rama.
“Aku tidak bisa tidur. Maukah kau menemaniku jalan-jalan?” Patah-patah, Rama mencoba mengawali percakapan.
Tanpa menjawab dan memperlihatkan bahasa tubuh, Jingga mengikuti langkah Rama dari belakang. Keduanya sama-sama diam. Jingga tidak menyangka pertemuannya dengan Rama terjadi lagi. Hatinya bertanya-tanya; apakah Rama ke Jakarta dalam rangka menghadiri seminar lukisan? Atau berbulan madu bersama Kilka? Namun lidahnya terasa kelu untuk bertanya banyak hal. Rasanya dia sudah tidak punya hak apapun tentang laki-laki yang kini sah menjadi milik suami orang, baik menurut hukum maupun agama.
Jantung Rama berdegup cepat. Perasaan senang sekaligus sedih meliputi segenap perasaannya. Ia ingin sekali menggenggam tangan Jingga yang halus, tapi apakah dia masih boleh menyentuh calon pengantin yang dua hari lagi menikah? Dadanya benar-benar sesak.
Jingga memasang sabuk pengaman di bahunya. Ia masih belum bersuara bertanya apapun. Ia melirik sekali lagi wajah Rama yang serba salah. Sama seperti dirinya yang serba salah.
“Bagaimana kabarmu?”
Keduanya justru melontarkan kalimat yang sama. Meski intonasinya berbeda. Untuk mengurangi rasa groginya, Rama melajukan mobil keluar dari basemant. Seemntara Jingga menatap ke luar jendela. Jalanan ibukota tidak terlalu ramai, tidak terlalu sepi juga. Cukup lengang. Mengingat malam ini adalah malam minggu pukul sebelas.
Rama melajukan mobilnya sangat pelan. Ia tidak tahu mau kemana. Namun berada di dekat Jingga seakan waktu berhenti berputar. Ia ingin menghabiskan waktunya hanya bersama gadis itu.
Deru mobil dan kibasan angin mengusir senyap. Lampu-lampu jalanan memberikan efek tenteram. Keduanya masih diam. Rasanya kaku sekali untuk memulai percakapan.
“Bagaimana kabar Kilka?”
“Kamu tidak menanyakan kabarku?”
Jingga menggeleng. “Kamu terlihat baik-baik saja, jadi aku tak perlu bertanya,” umpatnya dalam hati.
“Aku sudah bercerai dengannya sebulan yang lalu.” Rama melirik Jingga yang menatapnya penasaran.
“…”
“Dari awal aku katakan padamu bahwa aku tidak mencintai dia, Jingga. Tapi kau memaksaku. Dan kamulah yang menang karena aku tidak berhasil mencintai dia seperti yang kamu inginkan.”
“Kita tidak mungkin bersatu. Dunia kita berbeda, Rama.” Jingga merasa senang mendengar perceraian Rama, sekaligus sedih karena tak bisa melawan takdir untuk hidup bersama laki-laki itu.
“Di dunia ini tidak ada yang mustahil, Jingga.”
Jingga memandang ke luar jendela. Daun-daun yang gugur tergilis roda menimbulkan suara gemeretas. Sesungguhnya ia mulai terbiasa tanpa Rama. Tapi kenapa laki-laki itu harus muncul kembali dalam kehidupannya? Hatinya sungguh rapuh menghadapi semua ini.
Rama memperhatikan sikap Jingga yang berubah dingin. Sifat bunglonnya kembali diperlihatkan. Mungkin dia sedang menjaga jarak atas pernihakannya minggu depan, pikirnya. Langit ibukota tampak redup oleh cahaya lampu yang temeram. Gedung-gedung tinggi menjulang laksana robot persegi panjang yang mengeluarkan cahaya warna-warni. Rama menepikan mobilnya di seputaran Bundaran Hotel Indonesia. Dadanya terasa semakin sesak. Ia butuh oksigen tambahan untuk melancarkan pernapasannya yang tersumbat. Di sepanjang trotoar, sepasang muda-mudi berceloteh heboh. Tidak banyak. Hanya satu-dua.
Merasakan ada yang ganjil, Jingga menoleh ke arah Rama, bertanya apakah mesin mobilnya bermasalah? Atau bannya bocor? Rama menggeleng. Ia mematikan mesinnya tanpa berkata apapun.
“Lantas kenapa kita berhenti di sini?” Jingga masih menatap mata Rama yang terlihat lelah. “Kamu mengantuk, Ram? Sini, biar aku yang menggantikan menyetir mobilnya.” Ia berusaha menggeser duduknya.
Rama menggeleng. Menolak Jingga menggantikan dirinya menyetir. Ia membuka jendela mobil, membiarkan semilir angin menyusup masuk. Menggantikan udara pengap dalam jiwanya yang gelap.
“Seminggu yang lalu, bapak masuk ICU. Saat yang bersamaan, aku bertemu dengan Azka. Dia memberikanku foto ini,” Rama mengubek-ubek laci mobil dan menyalakan lampu.
Jingga bengong tidak mengerti. Dahinya berkerut.
“Bila kau bertemu dengan gadis imut ini, katakan padanya bahwa aku amat sangat menyesal. Berpisah dengannya berpuluh-puluh tahun, membuatku rindu. Dan saat mengetahui ia akan menikah dengan orang lain, hatiku bertambah pilu. Aku teramat sangat merindukannya.” Rama menahan air matanya agar tidak tumpah.
Mata Jingga berkaca-kaca.
“Aku pernah hampir gila ditinggal menikah oleh tunanganku tiga tahun silam, dan aku jahat sekali meninggalkanmu menikah dengan orang lain. Sekarang aku harus merasakan lagi rasanya kehilangan ditinggal pergi olehmu. Aku berhak mendapatkan balasan setimpal,” ucap Rama sambil mengusap wajah.
Napas Jingga seperti tersumbat. Mengapa dunia ini sempit sekali, pikirnya dalam hati. Ia spontan menggenggam tangan Rama dan berkata, “Aku tidak jadi menikah,” katanya Lirih.
Mata Rama memicing. Apa dia tidak salah dengar?
“Saat aku dan Heri sedang memilih gaun pengantin, mantan istri Heri meneleponya untuk meminta rujuk. Aku tidak tega. Perempuan itu lebih membutuhkan Heri sebagai sosok ayah dari anakya. Lagipula aku tidak punya perasaan apapun pada dia. Aku hanya sedang belajar mencintainya, mengingat umurku yang semakin tua.”
Jingga membuka pintu mobil dan berjalan mengitari Bundaran HI. Ia tak peduli jika Rama meninggalkannya seorang diri di sana. Banyak Taksi yang berkeliaran di sini. Ia hanya tidak kuat menahan bendungan air matanya yang meluber. Ia benar-benar menangis malam ini. Menangisi kepiluan nasibnya.
Rama membiarkan Jingga berjalan di seputaran air mancur. Namun kaki gadis itu melangkah terlalu jauh dan tak kembali. Guratan mata sayu dan wajah sendu Jingga membuat hatinya menjerit. Gadis itu selalu punya cara sendiri untuk menutupi kesedihannya.
Rama berlari menyusul langkah kaki Jingga yang semakin jauh. Dia tak mau kehilangan gadis itu lagi. Tidak mau. Dengan napas yang tersengal, ia menarik lengan Jingga secara paksa, “Kau hendak kemana, Jingga? Kenapa kau meninggalkanku?”
“Aku sedang jalan-jalan malam, bukankah tadi kau yang mengajakku? Kukira kau mengikuti di belakang, dan kupikir kau yang justru meninggalkanku,” Jingga mengangkat bahu, matanya sembab. Tatapannya datar tak berekspresi. Wajahnya kian sendu. Rama yang merasa bersalah, menarik kencang tangan Jingga, menyebabkan tubuh mungil gadis itu jatuh ke pelukannya.
“Jangan pergi lagi, kumohon…” Rama menangkap tubuh Jingga yang terjatuh ke pelukannya. Mencium aroma wangi tubuh Jingga, seperti mencium sehektar taman bunga. Wangi harum yang menenangkan.
Dada Jingga bagaikan terjepit saat Rama menariknya kencang. Ia bisa mencium kembali aroma maskulin dan hangatnya tubuh Rama. Rasanya damai berada dalam pelukan laki-laki itu. Jingga semakin pilu. Air matanya kembali basah. Ia tak bisa menutupi kesedihannya lagi. Hanya balas pelukan yang bisa ia lakukan.
“Aku tak akan membiarkanmu berjalan sendirian. Aku akan selalu di sampingmu, memelukmu, menghangatkan saat kau kedinginan, dan mendinginkan saat kau merasa panas. Jingga Anggunella, aku mencintaimu, dan akan selalu mencintaimu. Tak peduli dengan semua perbedaan kita. Aku akan selalu bersamamu,”
Jingga tersedu sedan mendengar ucapan Rama. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Rama yang bidang, memukulnya kencang-kencang.
“Dan aku… Aku tak akan berpura-pura lagi tidak membutuhkanmu, Dewa Gede Ramayoga…”
Rama menangkup wajah Jingga yang sendu. Disaksikan purnama, gemintang, dan terang lampu-lampu kota. Dua manusia itu tampak kecil karena dikelilingi gedung-gedung yang menjulang tinggi di sekitarnya. Keduanya saling menertawakan kegetiran masing-masing sambil berderai air mata.
Sejauh ini, hanya Rama yang berhasil meluluhkan keras hatinya, mencairkan ego dan membuatnya tertawa. Akankah ia harus membuka lagi hatinya untuk laki-laki yang saat ini sedang terisak memeluknya? Rupanya laki-laki juga bisa menangis, pikirnya.
Jingga memegang lengan atas Rama yang berotot. Ia menahan rasa harunya yang terbendung di pelupuk mata. Lucu sekali hidup ini. Selama ini hatinya mengambang di lautan lepas. Terombang-ambing ombak tapi tak jua tenggelam. Barangkali hidup ini ibarat pasir di pesisir laut. Meski berkali-kali terhantam derasnya arus dan terinjak, mereka tetap menerima. Walau kadang hantamannya keras dan menyisakan luka. Gadis bunglon itu masih berlinang air mata.
Kalau cinta itu misterius, Jingga percaya. Karena cinta bisa merasuki siapa saja yang dikehendakinya. Sifatnya bisa lembut, bisa juga kejam. Ada manusia yang hidup dengan banyak cinta. Ada juga yang miskin cinta. Di pelukan Rama, Jingga mengakui bahwa dirinya membutuhkan Rama lebih dari apapun.
Dan dibalik kisah memilukan ini, selalu ada tangan-tangan lain yang berperan. Dan Azka lah orang dibalik semua ini. Azka yang mengumpulkan puing-puing masa lalu Jingga dan Rama laksana puzzle yang terpisah dan menyambungkannya kembali. Bertahun-tahun lamanya Azka menyembunyikan Anggun dari Rama, menyamarkan Dewa dari Jingga, dan bertahun-tahun itulah ia menjaga rahasia dua sahabatnya, lalu mempersatukannya.
***
Tiga tahun yang lalu, saat Rama terpuruk, Azka mereferensikan kamar apartemen nomor 75 sebagai tempat persembunyiannya dari sakitnya kata ‘patah hati’. Satu nomor yang terhalang nomor 76 dengan kamar Jingga. Mungkin semua ini kebetulan, atau bisa jadi disengaja.
Yang jelas, Azka mengetahui nomor itu dari Jingga. Tanpa sedikitpun Jingga curiga bahwa Azka berniat menyelamatkan jiwa sahabatnya yang saat itu gundah gulana karena putus cinta dan gagalnya membina rumahtangga. Jingga dan Rama pernah mengalami pahitnya mengenyam pendidikan tentang cinta. Walaupun jika kau berani bertaruh, taka da dunia pendidikan tentang sesuatu kasat mata yang membuat manusia buta hati, buta mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar