Rabu, 20 Juli 2016

Puing 3 #Jingga #NovelSeries

Dering telepon membuat Livi kaget. Sepagi ini ia sudah di kantor, repot mengurus keperluan meeting, mengebut deadline laporan mingguan. Seusai adzan Subuh, Jingga mengirimkan pesan singkat bahwa dirinya berhalangan hadir karena demam tinggi. Oleh sebab itu, Livi harus datang lebih awal menggantikan posisi atasannya hari ini. Pasca insiden kakinya terkilir kemarin siang, ia izin pulang cepat lantaran kakinya ngilu dan bengkak. Alhasil, sejumlah notes tentang pekerjaannya menumpuk di dekstop.
Di hari yang sama, Jingga tetap melanjutkan pekerjaan seperti biasa hingga larut mala. Berteman dengan komputer, telepon, dan berkas-berkas dokumen yang memabukan kepala. Ia harus merampungkan laporan keuangan cabang dalam waktu dekat. Ia bahkan sengaja membawa pulang setumpukan ordner dan berkas-berkas dokumen pendukung lainnya ke apartemen karena tak sempat diselesaikan berhubung waktu sudah teramat larut.
Dering telepon yang berbunyi semenit lalu, kembali berdering. Livi mendesis malas, meninggalkan sejenak perhatiannya pada angka milyaran rupiah di layar komputer.
“Halo, Livi! Kau dari mana saja? Jangan bilang kau terlambat ke kantor dengan alasan tukang urutnya tidak manjur menyembuhkan kakimu yang bengkak?”
Livi menarik napas. Dimana-mana atasan selalu bawel pada bawahannya. “Ya ampun, Jingga, kupikir siapa? Aku tak sempat mengangkat telepon. Kau tahu kan, betapa sibuknya aku menjalankan mandat darimu? Presiden saja kalah dengan kesibukanku.” Livi menyeringai, melirik jam dinding. Setengah jam lagi ia harus meeting bersama kepala cabang seluruh Indonesia dan jajaran petinggi lainnya untuk membahas omset penjualan yang menurun, serta membicarakan penyeragaman sistem pembukuan.
“Seharusnya kau yang menghadiri meeting ini, Jingga. Aku sungguh malas,” Livi memainkan pulpen di tangannya. “Kini aku baru tahu apa yang kau rasakan, Jingga. Pantas saja kau jadi manusia paling galak sekantor ini. Tanggung jawabmu sungguh luar biasa. Aku tidak sanggup mengemban tugas berat ini. Dan aku tidak ingin menjadi kau.” Celoteh Livi sambil mengapit gagang telepon di antara bahu dan telinganya yang bersentuhan dengan pipi. Matanya kembali pada layar komputer. Sedangkan kedua tangannya menggerakkan keyboard dan mouse. Hal serupa yang sering dilakukan Jingga jika sedang menghadapi seribu tugas yang meluber.
“Jadi kau keberatan menggantikanku, Liv? Sudahlah, jangan keseringan mengeluh. Anggap saja kau seorang leader yang mau tidak mau punya tanggung jawab itu. Oh iya, nanti kalau Pak Steven tanya dokumen perubahan aset lancar, katakan padanya kalau dokumen itu ada padaku. Kemarin sore dia minta dibuatkan updatenya. Tapi karena tidak sempat mengerjakannya, maka aku bawa pulang ke apartemen,”
“Hah, apa kau bilang? Pak Steven? Eh, bukannya tak mau menggantikan tugasmu,” Livi merasa salah bicara. Mendengar nama pemilik perusahaan yang terkenal angker itu, lehernya tiba-tiba bagai tercekik.
Jarum jam terus berputar. Waktu meeting tinggal 27 menit lagi. Bagaimana mungkin dia harus mengambil dokumen itu ke apartemen Jingga? Mengingat jalanan ibukota sudah bagai lautan kendaraan, tidak ada spasi untuk berenang. Livi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Hei, kau tidak akan membahas aset lancar, Livi, hanya membahas omset penjulan sampai minggu ke-2. Berkas yang kubawa tidak ada hubungannya dengan meeting bersama kepala cabang,” ujar Jingga santai. Nada bicaranya tidak setinggi biasanya.
“Lalu untuk apa kau memberitahuku tentang dokumen itu?” Livi menarik napas lega.
“Untuk jaga-jaga kalau Pak Steven menanyakannya. Sebenarnya sudah selesai dan telah kuemail ke beliau.” Jelas Jingga di seberang telepon.
“Oh, syukurlah kalau begitu. Jadi intinya, jika mereka bertanya di luar omset, aku bisa membela diri. Begitu kan?” Livi mengernyitkan dahi. Tidak mengerti.
“Memangnya siapa pula yang akan mengajakmu berkelahi, pakai acara membela diri segala?” Jingga tertawa.
Livi tersenyum mendengar candaan Jingga yang sudah hampir seminggu menghilang dari pendengarannya.
“Eh, bagaimana kabarmu? Kau sudah ke dokter? Sudah makan buburnya? Obatnya sudah diminum?”
“Sudah. Terimakasih untuk semuanya.”
“Syukurlah, sekarang kau istirahat saja. Tapi ponselmu jangan sampai silent dan lowbat ya, aku takut terjadi apa-apa,” katanya serius.
“Ah, kau ini selalu berlebihan. Selamat bertemu kangen dengan Pak Steven ya, Liv. Tenang saja, dia tak seangker yang kau bayangkan. Cuma ya begitu, sedikit menyeramkan,” pungkas Jingga sembari tertawa kecil.
Livi menelan ludah. Ia paling anti berhadapan langsung dengan big bos. Ingin rasanya ia kabur, pura-pura mati suri atau tenggelam di dalam WC karena di sini tidak ada sumur. Tapi itu tak mungkin dilakukannya, karena Delima – sekretaris Pak Steven, sudah mewanti-wanti dirinya agar hadir sebagai inti dari segala penjelasan seluruh cabang, mewakili Jingga.
Setelah menelepon Livi, Jingga terkulai lemah tak berdaya. Semalaman demamnya cukup tinggi. Ia menggigil seorang diri. Tak ada satupun keluarga yang ia hubungi, termasuk Pak Eki, supir pribadinya. Ia tidak ingin merepotkan banyak orang. Meski di pagi buta, ia terpaksa menelepon Livi menginformasikan tidak dapat masuk kerja. Matanya sayu efek kurang tidur.
Dan Livilah yang meminta Pak Eki untuk menjemput Jingga di apartemen, mengantarkan ke dokter, serta membelikannya sarapan agar perutnya terisi. Meski menyebalkan, Jingga merupakan satu-satunya sahabat terdekat Livi. Mereka sempat berpisah tiga tahun bekerja di kantor orang. Lalu Jingga menariknya menjadi tangan kanan sekaligus asistennya selama empat musim terakhir.
Siapa bilang Jingga mirip singa, angkuh dan galak menerkam seluruh mangsa? Jingga seorang yang hangat, humble, setia kawan, loyal, dan segalanya bagi Livi. Saat Livi ada masalah, Jingga selalu berada paling depan. Saat Livi menyerah, Jingga yang mendorong kuat dari belakang. Saat Livi terpuruk lima tahun silam pada peristiwa kebakaran tragis yang merenggut nyawa kedua orangtuanya, Jinggalah yang menjadi penyelamatnya.
Jingga menampung Livi di kosan sempit, karena waktu itu ia masih menjabat sebagai staf akunting biasa. Jingga tidak tega membiarkan Livi hidup sebatang kara di Jakarta. Ia tak pernah bosan menjadi motivator bijaknya setiap hari, tidak putus asa meskipun Livi beringas menolak mentah-mentah petuah bijaknya. Jingga pula yang berhasil megeluarkan Livi dari karantina psikis.
Atas dorongan dan semangat Jinggalah, Livi akhirnya bisa keluar dari masa suram itu. Kini ia sudah bisa menerima kenyataan. Sebagai ganti kehilangan, pasti akan ada yang datang. Rumus kehidupan memang seperti itu. Dua tahun berikutnya, ada arjuna yang bersedia menikahinya, meski sampai saat ini mereka belum dikaruniai momongan. Wajar bila Livi merasa berhutang budi pada Jingga. Bagi Livi, Jingga merupakan pahlawan. Ia ingin membalas semua kebaikan sahabatnya itu.
**
Pukul 12.01 WIB
Telepon di meja Jingga berdering. Livi malas menarik nomor extentionnya. Paling juga itu telepon dari Pak Steven.
Perempuan yang gemar memakai kemeja berkerah itu sedang sibuk merapikan kertas dan file yang berantakan di meja kerjanya. Sepuluh menit yang lalu meetingnya sukses dan lancar. Pak Steven tidak terlalu rewel bertanya macam-macam. Mungkin bisa jadi beliau mengerti posisi Livi yang hanya menggantikan Jingga. Ia hanya minta dokumen pendukung dari perubahan aset lancar yang sempat dikemukakan Jingga melalui telepon tadi pagi.
Dering telepon yang semula di meja Jingga, kini berpindah ke meja kerjanya.
Duh, siapa sih jam makan siang begini telepon? Tidak tahu sedang buru-buru, apa? Livi mengoceh sendiri. Tangannya mengunci laci meja, mematikan komputer.
“Halo?”
“Halo, Bu Livi ya? Ada tamu Ibu Jingga di bawah,” tuturnya dengan suara berat. Itu pak Ali, security lobby.
“Bu Jingga tidak masuk hari ini. Itu bukan tamu saya. Mintalah ia kembali lagi besok siang.” Jawab Livi tergesa-gesa.
“…”
Suara Pak Ali menjauh. Nampaknya ia sedang berbicara dengan tamu yang dimaksud.
“Maaf, Bu Livi, tapi pemuda ini mau bertemu dengan Ibu,”
“Memangnya dia siapa? Apa saya mengenalnya? Kalau begitu saya akan turun lima menit lagi.” Livi memutuskan sambungan telepon.
Siang ini, ia harus bergegas menemui Jingga di apartemennya untuk mengambil berkas dokumen yang diminta Pak Steven. Sekaligus memastikan kondisi terkini sahabatnya. Ia berlari mengejar lift yang terbuka, meminta maaf karena menyenggol karyawan lain dari divisi lain. Ia berkali-kali melirik jarum jam di tangannya, kemudian asyik memainkan layar tab.
“Eh…” Livi menghantam tembok di depannya saat keluar dari lift. Bukan tembok, tapi manusia berkulit sawo matang yang tinggi dan tegap.
“Kau lagi?” Livi terkejut. Belum 23 jamia nyaris tertabrak mobil pemuda itu, sekarang justru bertabrakan dengan pemiliknya.
“Hai, Liv. Aku menunggumu.” Laki-laki itu tersenyum manis.
“Loh, sedang apa di sini?” tanya Livi heran.
“Eh, aku…” Pemuda itu mengusap hidungnya yang bagai paruh burung rajawali. “Aku ingin bertemu denganmu, serta Jingga.” Ucapnya malu-malu.
“Jingga sakit. Aku mau ke apartemennya sekarang. Kau mau ikut?” Livi berjalan terburu-buru.
Pemuda itu tidak menjawab. Namun kedua kakinya mengikuti langkah perempuan yang sedikit berlari memanggil Taksi. Langkahnya yang cepat, bagaikan hendak pergi jauh mengejar pesawat. Livi tidak ada waktu menghubungi Pak Eki untuk menjemputnya.
“Naik mobilku saja,” Pemuda itu menahan lagkah Livi ke basement, menghampiri mobil gagah berwarna putih yang terpakir di barisan paling depan, dekat pintu keluar.
Livi mengangguk, tak banyak komentar. Baru setengah hari ditinggal Jingga, ia amat kelabakan. Apalagi jika menggantikan selama berminggu-minggu dan bulan. Seumpama Jingga resign, ia pun akan resign. Ucapnya dalam hati.
“Kita mampir dulu ke rumah makan. Aku ingin membeli bubur hangat untuk Jingga. Dan kita makan siang di apartemen Jingga saja. Kau belum makan juga, kan?” Livi memasuki mobil, mengarahkan jalan menuju rumah makan. Ia bahkan lupa menanyakan nama si pemuda yang kini berada di sampingnya.
“Kalau boleh tahu, memangnya Jingga sakit apa?” pemuda itu menoleh ke arah Livi. Wajahnya amat penasaran.
“Demam. Kemarin dia lembur hingga larut malam. Ditambah lagi begadang membawa sisa-sisa pekerjaannya yang belum tuntas. Semuda itu dia sudah menjadi leader keuangan. Mengontrol seluruh biaya, membuat anggaran setahun ke depan, mengatur masuk dan keluarnya uang, dan menyajikan laporan konsolidasi. Harus kuakui kerja keras dan keuletannya selama ini sungguhlah berat.” Livi melirik jam tangannya, gelisah.
“Leader?” Pemuda itu menatap Livi sekilas, yang dilirik menjawab dengan anggukan. Selebihnya, tidak ada lagi percakapan di mobil, selain Livi berkata belok kanan, kiri, berhenti, ayo jalan laksana pasukan paskibraka.
Setelah memesan makanan dari rumah makan yang tak jauh dari apartemen Jingga, Livi dan pemuda tak dikenal itu langsung menemui Jingga. Tanpa mengetuk pintu dan mengucap salam terlebih dulu, Livi membuka pintu menggunakan kunci duplikat yang sengaja diberikan Jingga semasih dirinya single dulu. Katanya itu merupakan rumah Livi juga. Maka, Livi bebas bertandang kapanpun ia mau.
“Jingga…” Livi memanggil nama sahabatnya yang terbungkus selimut super tebal yang berbaring di tempat tidur.
Hening. Tidak ada sahutan. Livi sangat panik. Takut terjadi apa-apa pada sahabatnya itu. Tubuh Jingga semakin menggigil. Padahal sejak kemarin, ia tidak menyalakan air conditioner. Kaos kaki, sarung tangan, dan selimut tebal, masih menempel di tubuhnya yang lemas. Ruangan 7 x 10 meter tersebut begitu sunyi, menyisakan dentang jarum dan suara pendingin makanan. Jendela yang biasanya terbuka sedikit di siang hari, masih tertutup rapat. Bisa jadi Jingga belum bergerak semester pun.
Kamar apartemen Jingga mayoritas dipenuhi oleh warna putih. Seperti dinding, korden, asbes, lantai, spray, jam, dinding, laptop, dan rak buku. Warna selingan hanya cokelat di lemari baju yang memisahkan dapur, krem sofa dan meja, serta hijau pemandangan alam dalam kalender kecil di meja kerjanya.
Ruangan tak bersekat (kecuali kamar mandi) ini , tak terlihat satupun benda menggantung di tembok. Pemuda itu sejenak berpikir heran, bukankah perempuan paling suka memajang foto di dinding? Entah itu fotonya sendiri, sahabat, pasangan, atau keluarga. Tapi Jingga sama sekali tidak memajangnya. Hanya berdiri pas bunga dari kaca bening, yang di dalamnya terdapat dua bunga mawar merah muda yang merekah, serta satu yang masih kuncup, lengkap dengan batang berduri dan daun yang diletakkan di sudut meja ruang tamu yang bisa dikatakan tidak mirip dengan ruang tamu.
Ruang kerja Jingga menghadap ke balkon. Sehingga pemuda itu bisa berpikir Jingga akan membuka tirai tipis di balik beningnya kaca, yang langsung disuguhi pemandangan tumbuh-tumbuhan hijau di dalam pot yang disusun serapi mungkin oleh pemiliknya, serta tata letak bangku dan meja mini di samping sebelah kiri. Meski awalnya ia merasa tak ada yang spesial di ruangan Jingga, tapi setelah menjelajahi seluruh isi kamar, ia paham bahwa Jingga adalah gadis yang simpel dan tidak suka berlebihan.
Jujur saja, ia merasa damai berada di apartemen Jingga. Walau AC tidak menyala, namun sepoi-sepoi angin yang masuk melalui pentilasi, membuatnya ingin terlelap. Dengan tidak adanya sekat dan banyak warna, ruangan ini nampak luas dan teduh.
“Ayo, Jingga… Bangunlah... Coba lihat, aku bawakan bubur hangat untukmu. Lekas disantap, nanti keburu dingin dan rasanya tidak enak.” Livi menyibak selimut tebal yang mengatup wajah dan kepala Jingga. “Hey, memangnya kau tidak engap ditutup seperti ini, hah? Nanti kau kehabisan napas.”
Jingga membuka matanya. Mencoba tersenyum saat tahu sahabatnya datang menjenguk. Suara Livi berisik sekali, membuat kepalanya semakin pusing, ujarnya dalam hati.
“Aku malas makan, Liv,” tutur Jingga dengan nada lemah.
“Tapi kau harus makan, Jingga. Perutmu tidak boleh kosong. Aku ke sini mau mengambil berkas yang kau bilang tadi via telepon,” Livi menempelkan punggung tangannya ke dahi Jingga. Astaga! Panasnya tinggi sekali. Mata Livi terbelalak melihat bubur tadi pagi yang dibelikan oleh Pak Eki yang katanya sudah dihabiskan. Bubur itu belum disentuh Jingga sama sekali. Livi mengomel ke sana, ke mari.
“Kau harus dirawat sekarang juga,” Livi menggapai ponselnya di dalam tas. Hendak menghubungi keluarga Jingga.
“Tidak, Liv. Aku sudah sembuh. Aku hanya ingin istirahat total. Dokumennya ada di meja kerjaku, di dalam amplop cokelat. Ambilah.” Jingga menyergah tangan Livi yang hendak menekan kontak telepon ibundanya.
“Sembuh dari Hongkong? Demammu tinggi begini. Kau harus segera ditangani dokter.” Cibir Livi yang mendadak teringat sesuatu. Sekelebat ia mengambil panvi yang tergantung tak jauh dari kompor, mengisinya dengan air dari washtaffel, kemudian meletakannya di atas kompor gas dengan api yang menyala maksimal. Sambil menunggu air panas, Livi mencari handuk kecil di lemari pakaian.
Dan pemuda itu? Dia sedang duduk manis di sofa sambil membolak-balikan majalah di tangannya. Sejak tadi ia menjadi penonton dan penyimak dalam tayangan tentang dua sahabat yang saling merajuk, enggan ikut campur. Kedatangannya hari ini sebenarnya untuk mencari tahu kabar keduanya dan meminta maaf. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan kejadian siang itu. Ia amat ketakutan. Hatinya merasa tidak enak. Benar saja, salah satu dari dua perempuan yang ditemuinya kemarin siang, terjatuh sakit.
Dan semua ini ada hubungan yang melibatkan dirinya. Dia mengusap wajah.
Pemuda berkemeja biru polos itu mengusap wajah. Ini merupakan pemandangan yang mengharukan. Ia berjalan ke luar mencari angin, tidak bisa berlama-lama menonton adegan di dalam ruangan tanpa sekat ini.
“Aku tidak ingin dirawat di rumah sakit, Liv. Kumohon…” Jingga memelas memohon.
“Aku ingin kau cepat sembuh, Jingga. Sampai kapan kau keras kepala?” Livi memeras handuk kecil ke dalam air panas dan menempelkannya ke dahi Jingga berulang-ulang. Ia menatap sendu sahabatnya yang kini bagai mayat hidup. Wajah Jingga teramat pias, sorot matanya meredup.
“Sudah kubilang, tunggu hingga hujan reda. Tapi kau tidak mau mendengar. Kau tahu, waktu itu perutku terasa penuh oleh santapan makan siang, tapi kau memaksa berlari di bawah hujan. Dan sekarang, kau sakit, kan? Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Kenapa belakangan ini kau amat tertutup padaku? Katakan, Jingga…” Livi membuka kantung plastik bening berisikan bubur ayam hangat, memaksa Jingga memakannya, sembari terus menginterogasi bak polisi gadungan.
“Aku tidak pernah membenci hujan,” ungkap Jingga datar. Sudah seminggu terakhir ia tidak nafsu makan. Pikirannya kacau. Hujan kemarin siang bukan kesialan, melainkan satu-satunya hiburan.
“Kenapa kau tidak meneleponku kalau keadaanmu seperti ini? Kukira kau sakit biasa yang hanya membutuhkan istirahat saja,” Livi cekatan mengganti kompres, memeras handuk yang sudah dingin, memasangkannya kembali ke dahi Jingga.
“Aku tidak ingin mengganggu meetingmu, Liv.” Jingga mencoba tersenyum. Senyum yang getir.
“Apakah keluargamu belum tahu?"
Jingga menggeleng.
Livi menyeringai, “Biar aku telepon,”
“Jangan,” pinta Jingga memohon.
Livi menghela napas. Apa yang sebenarnya terjadi pada Jingga? Selama ini mereka sangat dekat. Teramat dekat. Tetapi baru kali ini Jingga begitu tertutup, seolah semua baik-baik saja.
Apalah gunanya sahabat jika tak ada lagi kata transparan? Bukankah sahabat tempat untuk berbagi keluh kesah dan gundah? Meluapkan seluruh suka dan duka? “Tapi kenapa? Kenapa Jingga merahasiakan sesuatu? Bukankah selama ini dia selalu ingin tahu masalahku? Membantuku keluar dari masalah itu? Apa dia tidak memercayaiku?” Livi berkata-kata dalam hati. Merasakan ada yang ganjil terjadi pada Jingga.
Jingga terdiam. Bingung harus memulai cerita dari mana. Terlalu banyak penjelasan asal muasal cerita itu dimulai. Tubuhnya yang bersandar di tumpukan bantal semakin melemah. Singa yang galak itu kini bagai seekor ikan yang kehabisan air. Terdampar di ranjang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar