Rabu, 20 Juli 2016

Puing 13 #Jingga #NovelSeries

Sayup-sayup suara angin menyibak jarak puluhan kilometer. Pagi itu jalanan ibukota lengang. Cahaya masih gelap. Hawa dingin menusuk tulang. Jingga merapatan jaketnya agar merasakan sedikit kehangatan. Ia telah memantapkan hatinya untuk menjemput Rama di kota Denpasar. Pak Eki yang mengenakan kupluk hitam di kepalanya, melajukan mobil dengan kecepatan normal.
“Hati-hati, Non…” Pak Eki baru akan memutar balik mobil setelah majikannya memberikan seulas senyum.
Setelah melalui pemeriksaan dan sinar x-ray, Jingga menyeret koper berwarna merah tua menuju lobby keberangkatan pesawat. Hatinya benar-benar gugup. Meski ini bukan kali pertamanya ia harus menemui calon mertua, tapi baginya selalu menegangkan. Pagi itu bandara Seokarno-Hatta tidak terlalu ramai. Sekelompok anak muda menggendong tas besar dan memakai sandal tebal. Nampaknya mereka akan mendaki gunung, pikirnya.
Sekitar lima belas menit menunggu di lobby pemberangkatan, Jingga berjalan menuju pesawat dan mencari tempat duduk yang terletak dekat jendela. Sinar mentari di ufuk timur berwarna merah keemasan membuat matanya silau sekaligus terpukau. Pagi yang elok ini semoga membawa kesan yang indah.
Selama kurang lebih dua jam di pesawat, Jingga hanya menatap kosong pemandangan di bawahnya yang terdiri dari awan dan awan. Ia tidak mempedulikan benda putih yang mengapung bagai kapas itu mengingatkan dirinya pada sosok laki-laki berkulit putih dan berkacamata minus yang pernah membuatnya kecewa. Walaupun harus diakui, ia suka sekali menatap awan.
Jingga berpegangan pada jok kanan dan kirinya ketika pesawat landas. Hatinya benar-benar gugup. Rasanya ingin pulang lagi saja ke Jakarta. Namun sudah terlanjur sampai. Adakalanya manusia harus siap dengan segala konsekuensi yang ada.
**
Rama celingukan mencari Jingga di pintu keluar bandara. Ia teramat rindu dan ingin memeluk gadis itu erat-erat. Matanya terkesima saat melihat gadis bunglonnya melilitkan syal bermotif polos di lehernya, menarik koper berwarna merah tua dan memakai kacamata hitam, berjalan di antara kerumunan.
“Kau mirip sekali dengan turis mancanegara. Ckckck,” Rama tersenyum dan berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku teramat sangat merindukanmu...” Ia merentangkan kedua tangannya, siap memeluk Jingga erat-erat.
Jingga tersenyum ketika laki-laki bertubuh tinggi tegap itu menghampirinya. Ia membuka kacamata hitamnya demi melihat senyum paling indah yang memamerkan deretan gigi-giginya yang putih. Jingga meletakkan koper dekat kakinya. Ia pun berjinjit dan memeluk Rama dengan rindu yang meluap-luap.
“Ternyata kamu datang juga, sayang…” Rama mencium kening Jingga.
“Awalnya aku ragu, tapi aku penasaran dengan pentas kesenian Bali, makanya aku ke sini,” Jingga menggigit lidah. Sebenarnya itu bukanlah alasan kenapa dirinya kemari, melainkan rindu pada laki-laki yang membuatnya takut kehilangan setengah mati.
Rama melepaskan pelukannya. Ia menangkupkan tangannya pada gadis mungil itu dan berbisik, “Hari ini aku untukmu. Kita akan keliling Bali. Dan aku akan menjadi pemandumu secara cuma-cuma.”
Jingga tersenyum dan mengangguk. Ia memegang tangan Rama yang berotot. Keduanya pun berlalu meninggalkan bandara menggunakan mobil Fortuner Rama yang dipaketkan menggunakan jasa ekspedisi.
Jingga tak dapat menyingkir sedikitpun dari hangat kulit Rama. Ia menyandarkan kepalanya dan bercerita panjang lebar tentang apa yang dirasakannnya selama kekasihnya pergi. Aroma maskulin dari tubuh Rama memberikan sensasi berbeda. Jingga benar-benar merindukan lelaki itu.
Udara di Bali lumayan bersih dibandingkan di ibukota, sehingga mereka tidak membutuhkan AC mobil, cukup membuka kaca untuk merasakan hembusan angin menyapa kulit wajah. Rama mengelus rambut jingga yang tertiup angin. Wangi rambut gadis itu membobol pertahanan seksualnya. Detak jantungnya serasa lebih cepat. Rasanya ingin sekali membopong tubuh wanita ini ke kasur empuk dan menikmati kebersamaan mereka tanpa seorangpun yang mengganggu.
“Kita sarapan dulu yuk, pakai nasi betutu.”
“Oh, yang daging keong itu ya?”
Keduanya tertawa. Setelah sarapan, rencananya Rama akan menemani Jingga melihat-lihat Museum Bom Bali, Pantai Kuta, dan tentunya Pesta Kesenian Bali yang selama ini ia bangga-banggakan.
Rama tak bisa sedikitpun memalingkan matanya pada wajah dan bibir Jingga yang menggemaskan untuk dicium, pada tangannya yang mulus untuk digenggam, pada tubuh langsingnya untuk dipeluk dan dirangkul. Ia sungguh rindu akan kehadiran gadis bunglonnya. Bukan sekadar kebutuhan biologisnya, melainkan keinginannya untuk memiliki secara utuh dan permanen.
Jinggapun melakukan hal yang sama. Ia tak mau melewatkan momen berharga ini. Melihat wajah Rama selalu menyenangkan. Laki-laki ini selalu membuatnya takjub. Tubuhnya yang kekar dan tatapan Rama yang tajam, membuat hatinya yang keras bagai es di kutub utara mencair seketika. Perasaan gugupnya hilang saat menatap mata Rama. Seakan mata itu menghipnotisnya untuk berani dan tidak takut pada apapun. Ada Rama di sini, semua akan baik-baik saja, pikirnya.
Tak ada kalimat yang terucap. Keduanya terdiam saling pandang dan mengagumi. Celotehan dari pengunjung lain bagaikan iklan dari radio yang samar numpang lewat. Kalau saja dunia tak membuat aturan yang rumit tentang sebuah hubungan, tata karma, dan moralitas, Rama sudah mencumbu gadis itu dengan ganas. Rasa ketertarikan menjadi sebuah hasrat menggebu untuk memilikinya lebih intim dan utuh.
**
Angin dari barat bertiup cukup kencang. Membuat mata Jingga kelilipan. Ia mengucek mata menghilangkan sesuatu yang mengganjal. Perih. Rama yang memperhatikan, segera memberikan bantuan ala tentara perang, meniup mata Jingga yang memerah.
“Bagaimana? Sudah enakan?”
Jingga mengangguk.
Rama mengacak rambut Jingga yang tergerai dan berkibar tertiup angin. Ia sungguh tak kuasa menahan hasratnya untuk mencium bibir Jingga yang merekah dan seksi. Tapi itu tak mungkin dilakukan mengingat saat ini mereka sedang berada di tengah lautan manusia yang menyaksikan tari kecak di acara pesta kesenian Bali.
Sialan. Melihat wajah Rama sedekat ini, membuat dada Jingga terguncang. Ia hampir hilang kendali untuk mencium bibir laki-laki itu dan seluruh bagian wajahnya. Ia harus menahan diri untuk tidak melakukan hal konyol di depan umum. Hari semakin siang. Terik matahari bercampur sinar ultraviolet mengguyur kulit mulus Jingga. Rama mengajaknya makan siang di tempat yang langsung menghadap ke Pantai Sanur. Jika saja Jingga datang di hari biasa, tidak akan seramai ini pengunjungnya. Tapi apa boleh buat, gadisnya itu perempuan yang paling sibuk seantera raya.
Puas mengelilingi Bali dan menikmati pesta keseniannya, Rama merangkul pinggang langsing Jingga. Di pasir putih itu mereka saling berpegangan tangan seperti bayi kembar siam. Rama menggiring Jingga memasuki mobil. Mereka akan ke rumah, menemui kedua orangtua Rama.
Rasa gugup yang sempat hilang, mendadak muncul dalam benak Jingga. Ada perasaan takut yang mencekam melanda sekujur tubuhnya. Ia sungguh ingin lari dari pertemuan ini. Namun sentuhan tangan Rama sedikit menguatkan dadanya yang berdebar.
**
Sebelum keluar dari mobil yang diparkir di balik rimbunnya pohon nangka, Rama mengecup kening Jingga, menangkup wajah dan mengulumi bibirnya hingga basah. “Semua akan baik-baik saja. Aku memang belum mengatakan apapun pada bapak dan ibu. Biar jadi sureprise,”
Seperti ada yang menggelitiki perut bawah Jingga saat bibir Rama melumat bibirnya. Ia membalas ciuman panas Rama dan tak ingin mengakhirinya. Ia rindu merasakan deru napas laki-laki itu, rindu akan detak jantung dan sentuhannya. Jingga benar-benar pasrah di dalam mobil itu. Tangannya mengusap dada Rama yang bidang. Membuat Rama semakin memperganas ciumannya.
“Tapi aku takut,” Jingga melepaskan ciuman mereka.
“Tak ada yang perlu ditakutkan,” Rama menancapkan lagi aksi permainan bibir dan lidahnya pada bibir Jingga yang manis dan hangat. Seolah ucapannya barusan adalah kalimat yang meyakinkan Jingga bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Pikiran Jingga berputar ke angkasa. Antara nikmat dan takut yang luar biasa. Tapi untuk saat ini ia ingin menikmati sentuhan Rama yang membuatnya menegang. Tak sadar tubuhnya menggeliat dan condong ke dada Rama. Membuat payudaranya menempel di dada bidang itu.
Rama menangkap tubuh gadis itu dan mengelus-elus punggung Jingga. Puncak berahinya terasa terkikis karena dua buah dada Jingga yang penuh dan empuk mengenai dada bidangnya. Ia ingin secepatnya memiliki gadis itu secara utuh dan sah. Maka ia melepaskan ciumannya, mengecup kening Jingga dan mencium pelan bibir yang masih basah itu. “Aku tidak tahan lagi untuk menelanjangimu sekarang juga.”
Dengan napas tersengal, Rama merapikan bajunya yang berantakan dan membuka pintu mobil. Ia menuntun langkah Jingga yang gugup. Sekali lagi meyakinkan semuanya akan berjalan dengan lancar. Rama mengerti perubahan wajah Jingga yang mendadak pucat. Pertemuan pertama dengan calon mertua memang selalu menegangkan. Tapi ia tak mau tubuhnya tegang lebih lama menahan hasratnya yang membuncah untuk memiliki gadis ini sepenuhnya.
Jingga bersyukur kekasihnya mengerti apa yang dia rasakan. Tak perlu memberitahu, laki-laki itu sudah membaca hati dan pikirannya. Kepala Jingga mendadak pusing. Napasnya terasa tak beraturan. Degup jantung seakan mau copot. Bagaimana ini?
Terdengar tawa hangat dari teras. Sepertinya dua keluarga yang lama tak berjumpa. Di sana juga terdapat satu wanita cantik yang mengepang rambutnya ke pinggir. Jingga tertatih melangkahkan kakinya.
“Nah, itu Rama, anakku. Yang saat ini sedang kita bicarakan,” Sang ibu berbaju kebaya khas Bali menghampiri Rama.
Rama melepas sandalnya, memasuki teras.
“Tampan sekali, anakmu ini, Lastri. Lebih ganteng daripada foto yang kau tunjukkan,” Sang ibu yang mengenakan sanggul ikut menghampiri.
Rama terlihat bingung. Apalagi Jingga. Siapa mereka? Manakah orangtua Rama? Jingga menggigit bibir dengan perasaan takut luar biasa.
“Rama, ini Bu Kilka, calon mertuamu.”
Jingga yang berdiri di ambang pintu kaget dan mematung. Apa? Calon mertua?
“Maksud Ibu apa? Aku tidak mengerti,” Rama sungguh bingung.
“Duduklah, Rama. Biar bapakmu yang menceritakan,” sang ibu yang memakai baju kebaya khas Bali menuntun Rama duduk di sampingnya.
Jingga berdiri mematung. Belum paham.
“Kau akan menikah dengan Kilka, Rama. Kami sudah menentukan tanggal pernikahannya. Kalian satu kasta, cocok sekali bukan?” Bapak berbaju batik tertawa.
Jingga tidak ikut tertawa, masih menjadi patung. Dimana letak lucunya?
“Tapi aku sudah punya calonku sendiri, Pak. Orang Jakarta. Dia yang akan menjadi istriku,” Rama memandang Jingga yang berdiri di luar teras.
Jingga kikuk saat menjadi pusat perhatian. Dengan kaki yang gemetaran, ia mencoba menyunggingkan senyum.
“Itukah perempuan yang kau maksud?” sang bapak berbaju batik menatapku.
“Em, bukan, Pak. Saya hanya temannya Rama yang kebetulan bertemu di depan jalan, mau berlibur di Bali. Maaf, saya tidak tahu kalau ternyata di sini sedang berlangsung acara tunangan. Kalau begitu saya permisi.” Jingga membalikkan badan dan menarik koper merah tua menjauhi teras. Perasaannya seperti ditusuk jarum, perih. Mengapa jadi begini ceritanya? Bisiknya dalam hati. Rasa-rasanya ini bukan adegan sinetron murahan yang selalu ditayangkan oleh pihak televisi swasta lantaran tidak punya acara yang lebih bermutu. Dan Jingga merasa salah satu korban acara FTV tersebut.
“Jingga… Tunggu!!!” teriak Rama berusaha menghentikan langkah Jingga.
Jingga tidak menoleh. Dadanya teramat sesak. Ia tak sengaja mendengar keributan antara dua keluarga yang berselisih. Bapak Rama terjatuh ke lantai saat menahan calon besannya pergi. Sedangkan ibu Rama memanggil nama anaknya meminta tolong selamatkan ayahnya yang tiba-tiba sesak napas. Rama tak menghiraukan. Ia berlari mengejar gadis bunglonnya yang terlanjur jauh. Ia juga tak peduli besan sekastanya beranjak pulang. Baginya tamu yang sama sekali tidak diinginkan itu tidak penting.
Jingga juga tidak peduli. Ia mempercepat langkahnya menjauhi rumah Rama. Ia mendengar ibu Rama terus berteriak memanggil nama Rama berulang-ulang bahwa penyakit jantung koroner bapaknya kumat. Jingga sungguh tidak peduli.
Dengan perasaan terluka dan menahan air mata agar tidak tumpah, Jingga terus berjalan menarik kopernya. Rama menarik tangan Jingga dan menghadang kepergian gadis itu sambil mengatur napasnya yang sesak. “Aku hanya akan menikah denganmu, Jingga. Aku tidak akan bisa hidup tanpamu. Kita bisa kawin lari,” Rama memegang kedua tangan Jingga dan bertekuk di lutut gadis berambut panjang itu.
“Kita berbeda, Rama. Sangat berbeda. Cinta kita tidak akan mungkin bersatu.” Dengan dada sesak, Jingga mencoba tegar.
“Kalau aku bisa menawar pada Tuhan, aku tidak mau terlahir dalam kasta seperti ini. Aku tidak pernah menganggap kita berbeda, Jingga. Apapun perbedaannya, kita hadapi bersama-sama. Kumohon jangan pergi…” Rama bersimpuh mencium lutut Jingga dengan perasaan gusar.
Jingga merasa dadanya semakin sesak. Air matanya tak kuasa menetes ke punggung Rama. “Kalau kau mencintaiku, menikahlah dengan perempuan itu. Dia lebih membutuhkanmu, bukan aku. Kita memang ditakdirkan untuk menjadi teman.” Gadis itu mengusap air matanya yang tumpah. “Ayahmu pingsan, Rama. Cepat bawa beliau ke rumah sakit. Apa kau tidak mendengar ibumu berteriak panik? Penyakit jantungnya kambuh. Selamatkanlah beliau. Kumohon… Percayalah, aku akan baik-baik saja.” Jingga mendorong kencang tubuh Rama hingga jatuh terguling ke aspal.
Jingga berjalan tersuruk-suruk menarik kopernya, lantas menyetop taksi dan mengarahkan pak supir menuju bandara. Ia harus membujuk hatinya untuk terus melangkah meski terasa berat bagai menarik beban ratusan kuintal. Mungkin semua ini harus diakhiri sampai di sini. Usai sudah perjalanan cinta yang singkat itu. Tidak mungkin memaksakan keadaan dan melawan takdir Tuhan. Perempuan itu menengadahkan wajahnya ke langit-langit bandara, menahan air matanya yang terus menetes agar tidak terlalu membanjiri pipinya.
**
Rama duduk di aspal, tidak melawan apa yang dilakukan Jingga terhadapnya. Ia memanggil nama gadis bunglonnya dan menyuruh untuk tetap tinggal. Kalau perlu, ia akan pergi bersama gadis itu selamanya, meninggalkan keluarganya di Denpasar. Ia tak peduli orang-orang memperhatikan tingkahnya yang bagai orang gila. Semestinya hari ini Rama mempertemukan Jingga dengan kedua orangtuanya, meminta doa restu untuk menikahi gadisnya itu. Namun harapan itu pupus. Dirinya tak menyangka kedua orangtuanya tega menjodohkannya dengan keluarga satu kasta. Ia memberhentikan taksi biru dan menyuruh supirnya melaju dengan kecepatan tinggi.
Dia tak mau kehilangan Jingga, gadis yang selama ini ada dalam dunia imajinasinya yang tak pernah selesai dilukis, gadis yang berhasil meluluhkan hatinya yang gersang akibat rasa trauma di masa lalu. Dia tidak rela jika harus kehilangan Jingga. Jingga lebih penting dari ayahnya, Jingga lebih berarti dari segalanya. Ia sudah cukup muak dengan sikap dan sifat ayahnya yang selalu mengatur kehidupan pribadinya selama ini, yang kerap menentang semua kebebasannya dalam melakukan hal ini-itu.
Rama sudah dewasa. Ia berhak menentukan kehidupannya sendiri. Geram jika harus mengingat sikap ayahnya yang keras bagai batu. Ia sangat benci pada ayahnya sejak masih kecil. Tapi sekali lagi ia tidak punya kesempatan meminta pada Tuhan untuk memilih lahir dari keluarga lain, terutama yang tak selalu mengutamakan kasta. Saat ini, hanya ada Jingga yang menguasai pikirannya, tidak ada selainnya.
Rama segera berlari seturunnya ia dari Taksi lima belas menit lebih telat dari Jingga. Kerumunan penumpang mondar-mandir masuk ke dalam dan luar bandara. Suara dari pusat informasi terdengar lantang menyebutkan keberangkatan ke Jakarta. Di lobby pesawat itu, mata Rama celingukan mencari sosok gadis berambut panjang nan ikal dengan tinggi 162 cm, memakai syal di lehernya, dan menarik koper berwarna merah tua. Berharap Jingga tidak mendapatkan kursi kosong.
Namun dugaan Rama salah. Rupanya Jingga sedang hoki. Ada satu penumpang yang membatalkan penerbangan lantaran harus menginap semalam lagi di Kota Denpasar. Jingga terlihat sedang melakukan proses boarding pass. Rama berlari mendekat, berdiri di samping gadis itu dan meraih tangan halus Jingga.
“Aku akan segera menyusulmu ke Jakarta. Kita akan bahagia berdua. Tak akan ada yang mengusik.”
Jingga mengangkat kepala. Matanya sembab dan merah. Ia menahan air matanya agar tidak meluber di hadapan Rama. “Apa kau mencintaiku, Rama?”
“Tentu saja aku mencintaimu. Kenapa kamu mempertanyakannya lagi?”
“Kalau kau benar-benar mencintaiku, menikahlah dengan dia,”
“Kau ini aneh sekali, Jingga. Mana mungkin aku menikah dengan orang yang tidak kucintai. Aku hanya mencintaimu. Perlu kupertegas lagi?” Nada suara Rama meninggi.
Pusat informasi mengatakan bahwa pesawat yang akan ditumpangi Jingga sudah datang. Mohon waktunya untuk melakukan check in. Gadis itu memasang wajah datar. Ia harus kuat menahan sesak dadanya yang bergejolak. Ia sungguh tidak menyangka Tuhan menyelamatkan hatinya yang rapuh dengan mendapatkan satu nomor kursi yang tersisa. Ia memandangi mata Rama yang berkaca-kaca, “Aku harus pergi. Tetaplah di sini untuk dia. Kalian sudah ditakdirkan untuk bersama. Tolong selamatkan ayahmu. Kau akan menyesal setelah dia pergi.”
“Aku akan lebih menyesal membiarkanmu pergi.”
“Aku mohon… Biarkan aku pergi,”
“Oh, jadi itu yang kamu mau, Jingga? Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu untuk menikahi Kilka, gadis sekasta pilihan kedua orangtuaku. Kamu memang tak sedikitpun mencintaiku, kan? Harusnya aku tahu sejak awal. Kau hanya wanita frustasi dan pendendam masa lalu. Kalau tahu begini, untuk apa aku mengejarmu? Baiknya aku pulang dan menemui perempuan itu.” Rama ikut beranjak. Ia hanya menggeretak agar Jingga berubah pikiran.
Jingga tak kuasa meneteskan air matanya. Ucapan Rama mengiris-iris hatinya. Perih bagai menahan tusukan seribu sembilu. Ia justru tersenyum manis dan berkata, “Pulanglah… aku akan baik-baik saja.” Jingga membalikkan tubuhnya, tersuruk-suruk menarik koper memasuki bandara. Gadis itu tidak menoleh ke belakang, ia terus berjalan lurus sambil menahan air matanya yang sudah terlanjur basah.
Dada Jingga serasa ingin meledak. Ia berharap Rama akan menahan langkah kakinya. Tapi, hingga memasuki pengecekan, Rama tak pernah menarik lengannya lagi untuk tetap tinggal. Tapi keputusan Jingga sudah bulat. Ia akan merelakan kekasihnya menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya. Mungkin pelan-pelan Rama bisa mencintai dia. Dan mungkin pelan-pelan Jingga bisa menetralkan perasaannya. Inilah akhir kisah yang teramat singkat yang pernah dialami Jingga dari tujuh deretan mantan sebelumnya. Biarlah pesawat membawanya pergi ke dunia yang sesungguhnya. Dunia patah hati.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar