Lagu milik Ed Sheeran telah lama berakhir. Digantikan dengan lagu lain yang tidak kalah romantis. Matahari di ufuk barat perlahan menenggelamkan cahayanya. Bola api terbesar di dunia itu memancarkan sinar kemerahan berbentuk bulat. Indah, namun meyilaukan. Rama memasang anti silau di mobilnya agar matanya tidak sakit terkena larik sinar ultraviolet.
Jingga masih menyandarkan kepalanya di bahu Rama. Sesekali melirik wajah pemuda itu dan mencium aroma wangi tubuhnya. Mereka banyak berbincang tentang kehidupan masing-masing. Rama bercerita tentang asal mula kenapa dirinya menjadi perantau di kota metropolitan. Tidak mau terlihat serius, ia kadang membuat lelucon yang membuat Jingga terbahak.
“Kau tahu kenapa dia meninggalkanku?”
Jingga menggeleng.
“Karena aku bukan manusia,”
Jingga mengernyitkan dahi, bingung.
“Aku hanya alien buruk rupa yang membuat dia takut, sehingga dia pergi,”
“Alien buruk rupa sepertimu pantasnya dimasukkan ke dalam botol,”
“Kau benar. Dan kau tahu dia siapa?
Jingga menggeleng lagi.
“Dia itu ulat bulu.”
Jingga menatap penuh tanya, “Maksudmu dia ulat bulu?”
“Begitulah. Lucu, imut, cantik, tapi membuatku gatal-gatal,”
“Dan itu artinya, mantanmu adalah ulat bulu?” Jingga terbahak.
Rama mengacak rambut Jingga gemas. Gadis itu tidak hanya anggun wajahnya, tapi juga kepribadiannya. Lihat saja gaya bicaranya yang mudah nyambung. Terbukti, Jingga seorang yang supel dan ramah, jauh dari pemikirannya ketika pertama kali bertemu di bawah hujan. Jingga mampu mencairkan suasana yang menegang. Berada di dekatnya, selalu menyenangkan.
“Semestinya kau bersyukur, berkat ulat bulu itulah, kau bisa melihat kupu-kupu yang menawan,”
“Dan kupu-kupu itu kamu,” ujar Rama.
“Aku bukan kupu-kupu, melainkan… Makhluk biasa yang dikirim Tuhan untuk menggantikan dia.” Tukas Jingga sambil tersenyum. Rama balas tersenyum.
**
Tepat pukul 18:00 WIB, Rama dan Jingga tiba di apartemen. Jingga menyilakan Rama menonton televisi, sementara ia beranjak mandi.
“Mandinya yang bersih ya, Cewek Jutekku…” Rama mengecup bibir Jingga. Belum mandi saja Jingga terasa manis dan wangi, apalagi sudah mandi. Rama sungguh tak bisa menahan hasratnya untuk sepenuhnya memiliki gadis itu dengan ikatan sakral nan sah.
Jingga tersenyum dan membalas kecupan di bibir Rama. Darahnya mendadak mendidih tiap kali laki-laki itu menyentuh bagian sensitifnya.
Sembari menunggu Jingga mandi, Rama menonton berita sore hari seputar Jakarta dan nusantara. Matanya tiba-tiba menoleh saat Jingga keluar dari kamar mandi yang hanya berbalut handuk biru. Seketika bagian tubuhnya yang lain menegang menyaksikan kaki mulus dan leher Jingga yang putih bersih. Suruh siapa ruangannya tak disekat. Rama tak bisa memalingkan wajahnya ke tempat lain. Ia menelanjangi seluruh tubuh Jingga melalui kedua matanya.
Jingga yang mengerti tatapan nakal Rama, segera kembali ke kamar mandi dan memakai helai demi helai pakaian yang telah ia ambil dari lemari baju. “Jangan memandangku seperti itu. Aku bukan mangsamu, Rama. Palingkan wajahmu ke tempat lain!” ujarnya ketus.
Usai memakai baju, Jingga menuju dapur dan menuntaskan masakannya. Bau harum dari bumbu yang ditumis, membuat perut Rama lapar. Ia menghampiri Jingga yang sedang menumis bayam dan ayam goreng menggunakan bumbu racikannya sendiri yang diulek menggunakan cobek. Ia kaget saat Rama memeluknya dari belakang. Membuatnya geli dan bergelinjang.
“Rama, kau tidak tahu aku sedang apa?” Jingga menepis tangan Rama yang melingkar di pinggangnya. Rasa geli dan embusan napas Rama yang mengenai leher Jingga, memancing berahinya, sehingga ia gagal konsentrasi.
“Aku tidak menyangka kalau wanita sesibuk dirimu bisa masak,” Rama menciumi leher Jingga.
Jingga tidak bisa berkutik. Ia berceloteh galak menyuruh Rama kembali ke sofa. Jika tidak, ia akan menyiramnya dengan minyak panas.
Rama tertawa dan menuruti perintah gadis bunglon itu. Setidaknya ia bisa memastikan kalau Jingga tidak memasukkan bumbu macam-macam ke dalam masakannya yang membuat ia meleleh dibuatnya.
“Bagaimana? Enak tidak?” Jingga memperhatikan mimic muka Rama yang tak berselera.
“Rasanya belum perfect,”
Jingga terdiam. Ia mencicipi masakannya sendiri. Tidak terlalu buruk, katanya dalam hati. Maka ia pun menuju ke dapur untuk menceplok telor.
“Mau kemana, Gadis jutekku? Temani aku makan! Tidak baik meninggalkan kekasihnya makan sendirian. Ayo kesini, temani aku.” Rama menganggukan kepalanya.
Jingga kembali ke tempat duduknya.
“Makanlah, biar perutmu terisi. Aku hanya bergurau. Masakanmu sungguh lezat,” Rama mengelus rambut Jingga yang masih basah.
“Benarkah? Jangan berbohong. Aku tidak suka,” Jingga pesimis mengakui pujian Rama.
“Benar. Lihat, aku makan dengan lahap bukan? Aku sungguh tak menyangka kalau calon istriku tidak hanya pintar dalam urusan ekonomi, tapi juga pandai memasak.” Rama mencentong lagi nasi dan lauk yang disediakan Jingga ke piringnya.
Jingga tersenyum memperhatikan Rama yang seperti tidak makan dua hari. Ia tidak tahu apakah harus mempercayai ucapan Rama atau tidak. Jingga bukanlah orang yang mudah percaya. Ia membuka kulkas dan mengambilkan irisan melon ke meja sebagai pencuci mulut.
Jingga langsung membersihkan dapur usai keduanya selesai menandaskan makanan. Ia tidak suka melihat barang kotor. Sementara Rama kembali menonton berita. Tubuhnya disandarkan di sofa empuk yang berukuran ekstra besar. Sofa itu merupakan sofa favorit Jingga bila malas ke luar rumah di hari libur.
Usai mencuci piring, Jingga duduk di sofa besar itu bersama Rama. Keduanya sibuk mengomentari acara televisi yang itu-itu saja. Selama itu pula, Jingga merebahkan tubuhnya di dada bidang Rama. Selalu nyaman berada di pelukan Rama. Maka sesi bercumbu pun tak kuasa dihindari.
Rama tak kuasa mencium aroma wangi tubuh Jingga. Ia membelai wajah gadis itu dan kehilangan kendali. Ciuman panas itu kembali terjadi. Rama mengulum bibir manis Jingga dengan penuh gairah. Wajah Jingga yang bersemu merah, membalas perlakuan Rama sebagai kebutuhan biologisnya. Meski pada akhirnya mereka harus mengontrol diri sebelum ikatan sakral berlangsung.
Romantisme dan kebiasaan makan malam antara Jingga dan Rama berlanjut hingga malam ke 73, meski kadang Jingga malas masak dan akhirnya pergi ke rumah makan. Sebelum kehadiran Dika membuat retak hubungan mereka. Ya, Dika merupakan mantan kekasih Jingga diurutan tujuh. Kisah Dika sudah tamat dalam perjalanan asmara Jingga sejak tiga tahun lalu. Namun entah ada angin apa tiba-tiba ia berkunjung ke apartemennya.
“Boleh aku masuk?” Laki-laki berkacamata minus dan berkulit putih itu menyunggingkan senyum pada Jingga di malam Sabtu.
Jingga yang kaget, hendak menutup pintu, mengusirnya. Tapi ia urung melakukannya. Biar bagaimanapun, kehadiran Dika sama seperti tamu-tamu yang lain, punya sesuatu yang ingin disampaikan. Dan ia pun mempersilakan masuk.
“Bagaimana kabarmu, Jingga? Aku selalu memikirkanmu. Maaf, aku baru menemuimu sekarang. Kau tahu, kan, waktu liburku tidak menentu. Jam kerjaku juga tidak menentu. Aku kangen kamu.” Laki-laki itu duduk di sofa panjang menghadap Jingga.
Apa? Kangen? Sayangnya aku tidak. “Aku baik-baik saja.” Jawab Jingga datar. “Ada perlu apa ke mari? Mau sebar undangan ya?”
“Undangan apa? Ulang tahun? Aku ke sini karena kangen kamu, Jingga. Maka aku sempatkan mampir barang sebentar.” Dika mengeluarkan kantong plastik berisi makanan kesukaan Jingga.
Jingga tidak menjawab. Tangannya bersembunyi dibalik saku jeans. Ia sama sekali tidak menawarkan laki-laki itu minum atau basa-basi lainnya. Rasa sakit hati karena diterlantarkan tiga tahun silam masih menyayat hatinya, membuatnya tidak sudi untuk memberikan senyum manis sedikitpun.
“Jingga, kau masih membenciku? Aku sungguh minta maaf atas kejadian masa itu. Aku ingin memperbaiki hubungan kita, memulainya lagi dari awal. Mau kan?” Dika menggeser posisi duduknya ke samping Jingga.
Jingga masih diam. Tangannya gatal ingin sekali menampar lelaki yang pernah melukainya tiga tahun silam. Tapi ia tak ingin mengotori tangannya. Goresan luka yang masih membekas tak semudah menghapus tulisan di kertas. Bilapun terhapus, nodanya pasti tak sirna sempurna.
Saat mantan tunangannya bertamu, pintu apartemen Jingga dibiarkannya terbuka lebar. Rama yang kebetulan membuka pintu, melongok heran. Kenapa tumben sekali gadisnya membiarkan pintunya tak terkunci, desisnya dalam hati. Penasaran, Rama mengintip apa yang sedang terjadi di dalam. Betapa terkejutnya dia ketika menyaksikan Jingga sedang duduk berdua dengan laki-laki lain. Hatinya benar-benar terpukul dan terasa panas. Ia benci sekali dengan pemandangan barusan. Kenapa Jingga menerima tamu laki-laki selain dirinya? Rama membanting kencang pintunya. Malam itu, ia sungguh membenci Jingga.
“Tidak bisa. Kita tidak akan pernah kembali. Aku telah memaafkanmu, sudah jauh berlari meninggalkanmu untuk menetralkan perasaanku. Lantas kenapa kamu kembali? Dengar, aku akan menikah, tapi tidak denganmu.” Jingga berkata datar. Ia ingin sekali mengatakan, cintamu sungguh terlambat, Dika. Aku sudah karatan bersabar menunggumu tiga tahun lalu, namun kau mengabaikanku. Kau terlalu banyak berharap aku sabar menghadapi sikapmu, menunggumu hingga usiaku menua. Salah. Aku tidak ingin kembali, jatuh ke lubang yang sama berkali-kali.
“Dengan siapa? Tapi kenapa tidak ada cincin di jari manismu?”
“Memangnya harus ya diberi tanda kalau cincin itu melambangkan seseorang sudah dimiliki? Tidak harus, kan?” Jingga bangkit dari duduknya. Ia pura-pura mengantuk karena lelah seharian bekerja.
“Apa aku tidak punya kesempatan lagi?” Tanya Dika dengan muka memelas.
Jingga menggeleng. Percuma, Dika, aku sudah tak percaya lagi padamu. Kalau saja dulu kau tidak mengantungkan cintaku, mungkin kita masih bersama. Laki-laki pecundang sepertimu, pantasnya dibuang ke lumpur lapindo. Atau kalau perlu, diblender halus lalu dijadikan makanan ikan, kutuknya kesal.
Sebagai wanita, Jingga merassa perlu tegas pada kaum laki-laki. Bukan berarti banyak menuntut dan sok berkuasa. Asal kalian tahu, wanita itu butuh kejelasan. Maaf, kesempatan kedua itu telah habis. Hati Jingga sudah terlanjur perih. Tak usahlah mengejar layangan yang tercebur ke selokan itu. Tidak perlu. Seandainya ada keajaiban tanda titik dapat berubah menjadi koma, mungkin ia akan meneruskan. Kenyataannya titik itu permanen. The - End.
“Aku mohon padamu, mengertilah… Tak ada yang perlu dibahas lagi, semuanya sudah tamat. Dulu, aku selalu berharap tanda titik itu akan berubah menjadi koma. Seperti sebuah keajaiban yang amat mustahil. Tapi ternyata tanda titik itu permanen. Aku tidak kuasa merubahnya. Maaf ya, aku tidak ingin kembali bersamamu. Maaf bila aku pernah tegas memaksamu menikahiku.” Jingga mengantar Dika hingga ambang pintu apartemen.
Perasaan Jingga benar-benar hambar. Terus terang, pria itu pernah membuatnya mabuk kepayang. Delapan belas bulan lamanya Jingga menanti kepastian, Dika tak jua bersedia melamarnya. Selalu saja menunda-nunda dengan alasan ini - itu. Kesal Jingga mengingatnya.
Sebagai wanita, Jingga butuh kepastian. Ia tidak suka digantung terlalu lama. Maka gadis itu memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan hubungannya. Rasa kecewa itu terlalu besar. Ia tak ingin kembali. Jingga langsung menutup pintu apartemennya rapat-rapat, mematikan lampu dan langsung memejamkan matanya yang terasa lengket. Seperti halnya ia mengunci hatinya agar Dika tidak dapat masuk kembali ke kehidupannya yang sudah dibuat porak-poranda olehnya. Cukup sekian dan terimakasih, begitu kata hatinya berkata.
Lama sudah aku mencoba memadamkan rasa yang membara, meringkus rindu, serta melupakan semua janji dan harapan yang membunuhku pelan-pelan. Aku sudah jauh berlari, lantas kenapa dia kembali? Jingga bersandar pada daun pintu yang telah dikunci rapat, berkata-kata sendiri Semoga hatinya pun tertutup selamanya untuk kisah lama yang menyakitkan itu. Ia tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Tidak mau.
**
Pagi ini alarm Jingga tidak berbunyi. Entah karena dirinya lupa mengatur ulang atau memang baterainya habis. Rama juga tidak menelepon membangunkannya. Alamat hari ini ia akan kesiangan tiba di kantor, pikirnya cemas. Ia langsung menyambar handukdan bergegas mandi.
“Rama, kau belum bangun?” Jingga menekan bel apartemen Rama berkali-kali sambil melontarkan kalimat. Tidak ada jawaban. Ia mencoba menelepon nomor ponsel kekasihnya itu, namun sepuluh panggilannya tidak direspon. Sms dan chatingnya pun tidak balas. Ada apa? Tanyanya dalam hati.
Jingga melirik jam tangan. Bahaya, 18 menit lagi pukul delapan. Ia tidak mungkin menelepon Pak Eki yang kebetulan hari ini sedang izin pulang kampung. Maka, mau tidak mau ia kembali ke apartemen untuk mengambil kunci Honda Jazz dan mengemudikannya sendiri.
Ketika sedang berjalan di lorong menuju lift, di lift, di bassemant, otaknya dipenuhi dengan pikiran tentang kedatangan mantan kekasihnya, Dika, yang membuat Jingga mengalami mimpi buruk. Ia beberapa kali terbangun dan mengingat luka lama bersama laki-laki itu. Tidurnya tidak nyenyak. Jingga menarik napas dalam-dalam, melirik spion kanan mobilnya untuk ambil kanan. Perutnya tiba-tiba kerucukan karena tidak sempat sarapan.
Baru saja keluar pintu parkiran apartemen, kendaraan yang berada di depannya diam di tempat, tidak bergerak. Celaka, gadis itu terjebak dalam kemacetan parah. Ia merogoh ponselnya dan menelepon Livi untuk mengurus petty cash cabang yang sudah disusunnya kemarin sore. Jingga juga memberitahukan General Manager dan big bos kalau dirinya kesiangan dan telat tiba di kantor.
Jarak Permata Hijau dan Sudirman sebenarnya tidak jauh-jauh amat, tapi semakin siang, volume kendaraan semakin membludak. Tak ayal jika jalanan lumpuh total. Jingga mencoba menghubungi Rama, tapi tidak ada nada panggilan. Mungkin ponselnya lowbat dan dia masih meringkuk di tempat tidur, pikirnya. Selama dua jam lebih Jingga memaki dirinya yang sama sekali tidak dapat berkutik di jalanan ibukota. Ia baru tiba di kantor pukul sepuluh lewat delapan.
“Ibu manager lupa bangun ya?” Livi meledek Jingga yang tergesa-gesa menyalakan komputer.
“Diam, Livi. Aku sedang tidak selera untuk bercanda.” Jingga merapikan berkas dokumen yang menggunung di mejanya. Kemudian bertanya apakah perintahnya sudah selesai atau belum.
“Aduh, dari romannya sedang kesal. Uangnya sudah kusiapkan, Ibu Manager… Tinggal minta tanda tanganmu saja,” Livi menyodorkan beberapa lembar cek dan giro berupa anggaran pengeluaran 17 cabang seluruh Indonesia.
Jingga mencocokkan data yang dibuat Livi dengan apa yang ia anggarkan, tangannya langsung menandatangani dan memerintahkan Livi untuk mengtransferkannya ke masing-masing leader kantor cabang.
Selain sebagai asisten, Livi merangkap jabatan kepala finance yang memegang kendali uang. Tapi ia tidak mau langsung bertindak sebelum ada acc dari Jingga selaku manager keuangan di perusahaan itu.
Sepuluh menit kemudian, big bos meminta Jingga untuk mengikuti meeting dadakan perihal biaya operasional cabang yang membengkak. Di sana terdapat beberapa manager dan GM dari berbagai divisi, salah satunya Heri selaku atasannya langsung yang menduduki jabatan sebagai tangan kanan Pak Steven. Namun saat itu pikiran Jingga tidak berada di sana. Perutnya yang kosong membuat ia tidak konsen. Selain itu, tidak adanya kabar tentang Rama, menjadikannya stres tambahan. Kenapa Rama tidak balik menghubunginya? Apakah dia belum bangun? Ini kan sudah siang? Hatinya bertanya-tanya sendiri.
“Kamu tidak apa-apa, Jingga?” Di seberang meja, Heri membuyarkan pikirannya yang mampir pada Rama. Untung saja meeting belum dimulai.
“Eh, Pak Heri, saya teringat sesuatu di apartemen. Tadi ragu apakah sudah mengunci pintunya atau belum. Tapi saya sudah minta tolong pada security yang saya percaya agar menguncinya,” tutur Jingga mencari alasan.
Heri mengangguk. Meeting pun siap dilaksanakan. Pak Steven dan petinggi lainnya sudah menduduki kursi masing-masing. Jingga menarik napas lega karena Heri tidak akan bertanya panjang lebar mengenai kepura-puraannya yang teledor lupa mengunci pintu apartemen. Malas bila harus berbuntut panjang. Ia menyalakan laptop, mencolokkan kabel proyektor dan mulai presentasi. Pak Steven banyak bertanya soal presentasi laporan laba/rugi, Jingga malas menjawab. Kadang Jingga mencoba mempersingkat jawaban dan alasan kenapa budgeting bulan ini bisa bertambah signifikan. Terus terang, keberadaan Heri sangat membantunya menjelaskan secara rinci biaya yang membengkak tersebut.
Usai meeting selesai, makan siang, hingga jam pulang kantor berdentang, kenyataannya ponsel Jingga tetap membisu. Tak ada kabar sedikitpun tentang Rama. Seharusnya malam ini ia lembur bersama Livi mengerjakan deadline laporan konsolidasi. Tapi otaknya sedang buntu, tidak dapat berpikir jernih. Maka ia pun pulang tepat waktu dan langsung menuju kamar nomor 75, kamar Rama. Beberapa kali menekan tombol bel, namun belum ada jawaban juga.
Jingga berjalan lesu menuju kamar apartemennya nomor 77. Ia langsung menutup pintu, meletakkan tas ke meja kerja, dan merebahkan tubuhnya di sofa ekstra besar. Satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara yaitu Livi. Ia pun segera menelepon sahabatnya itu.
“Entah kenapa Rama susah sekali dihubungi.”
“Kalian bertengkar?”
“Tidak.” Jingga menatap langit-langit ruang tamu. Ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Perasaan takut yang selama ini mengancamnya.
“Kau coba ingat-ingat telah melakukan kesalahan apa? Aku sedang bersama Juna, tidak bisa bercakap di telepon terlalu lama,”
“Baiklah, akan kuingat-ingat,” Jingga mematikan teleponnya.
Terakhir kali dirinya bertemu dengan Rama pada saat makan malam. Hubungan mereka baik-baik saja. Malah saling bersenda gurau dan membicarakan tentang masa depan. Tapi kenapa Rama tak ada kabar? Ah, ya, Jingga baru sadar kalau semalam ia kedatangan tamu tak diundang, lelaki yang pernah menyakitinya tiga tahun silam. Mungkin itulah sebabnya Rama bersikap aneh. Kekasihnya itu pasti tahu kalau dirinya dan laki-laki lain duduk berdampingan di sofa apartemea. Jingga menarik napas. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Rama sama sekali tidak dapat dihubungi.
**
Di kamar bercat biru itu Rama sedang menonton film drama. Seharian ini dia sudah menonton lima judul film yang berbeda. Ponselnya sengaja dimatikan. Ia tidak ingin diganggu oleh siapapun lantaran hatinya sedang gundah gulana. Rama mendengar bel berbunyi memenuhi ruangannya. Serta panggilan Jingga menyebut namanya. Namun kakinya terasa berat melangkah membuka pintu.
Rasanya malas sekali bertemu Jingga. Semalam ia bermesraan bersama laki-laki lain. Hatinya sungguh tidak terima. Ia ingin sekali membunuh laki-laki yang telah berani mendekati pujaan hatinya itu. Hari ini, esok, dan lusa, dia tidak ingin bertemu Jingga. Tiga hari ke depan, Rama sedang tidak ada kunjungan klien maupun pameran. Perlengkapan dapur dan isi kulkas pun masih penuh. Maka ia tidak akan keluar kamar, tidak ingin menyaksikan pintu apartemen yang terhalang satu kamar itu terbuka. Ia tidak sudi melihat adegan mesra itu lagi. Hatinya benar-benar pedih tak terperi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar