Rabu, 20 Juli 2016

Puing 16 #Jingga #NovelSeries

Gerombolan awan yang bagai kapas putih mengapung di birunya langit, membuat si pemilik mata sayu itu enggan berkedip. Deru mesin memekakan telinga, satu dua penumpang menyumpal kupingnya menggunakan handsfree yang telah disediakan oleh pihak maskapai agar tidak terlalu bising. Sebagian membaca koran ataupun majalah, dan sebagian lagi menonton film kegemaran mereka di layar tablet yang tertempel di punggung jok.
Sejak duduk di kursi empuk kelas eksekutif itu, Jingga betah berlama-lama menopang dagu memandang ke luar jendela. Ia selalu takjub menyaksikan sayap pesawat meliuk anggun membelah angkasa. Hamparan putih sejauh mata memandang, sesekali terlihat pegunungan yang menyembul gagah di antara awan-awan itu, ada pula perkotaan yang berjejer bagai kotak dan persegi panjang, serta birunya laut yang luas, kemudian tertutup awan lagi.
Disaat sedang asyik menikmati panorama dari ketinggian, tubuh Jingga terasa tidak nyaman. Sayap pesawat yang berada tepat di sampingnya miring. Tubuhnya pun ikut miring. Tak lama sayap pesawat lurus kembali lalu miring lagi. Namun kali ini condong ke bawah cukup lama. Tubuh Jingga seolah bagai dipermainkan. Seperti hati dan cintanya yang terus bermain-main, tak tahu kapan akan berhenti.
Para penumpang panik. Begitu pun dengan Jingga yang berpegangan kuat pada pegangan kursi. Di bawah jendela terlihat jelas luasnya hamparan laut yang bagai kolam renang tanpa tepi. Nyali gadis yang mengenakan syal tipis polos berwarna putih itu menciut. Meski ini bukan pertama kalinya ia menaiki transportasi udara, ia panik bukan main. Dalam waktu sepuluh menit, guncangan pesawat semakin tak berarturan. Ia mendadak teringat tentang kecelakaan besar yang disiarkan televisi beberapa minggu lalu di laut Kalimantan. Jingga bersiap mengenakan pelampung yang tersimpan di bawah kursi dekat kakinya. Rasanya ia sudah pasrah apapapun yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
Selama setengah jam, pesawat masih oleng, meliuk-liuk ke kiri, kanan, bawah, dan atas. Jingga sempat mengelus dada kala pesawat kembali naik ke atas, tapi tak lama memutar haluan dan miring lagi ke bawah. Ia merasa seperti berada dalam wahana dunia fantasi yang menguji jantungnya berulang-ulang. Tangisan bayi yang memecah kepanikan, membuat suasana bertambah tegang. Jelas ini bukan permainan biasa yang dinaikinya bersama Livi dan sahabat semasa kuliahnya di Dufan dulu.
Jingga mengelus dada lega saat mengetahui roda pesawat mulai menyentuh aspal. Dentuman keras yang mengagetkannya cukup menenangkan jantungnya yang berjuang habis-habisan menahan agar tidak copot di tempat. Setelah semua roda berhasil menapak di daratan, laju pesawat bukannya pelan, tapi justru sangat cepat. Jingga cemas jika remnya blong dan menabrak bandara di hadapannya. Tapi beruntung saja sang pilot piawai mengatasinya. Atau barangkali Tuhan masih berbaik hati menyelamatkan nasib malang si gadis sendu yang duduk di kursi deretan jendela persis samping sayap pesawat. Pihak maskapai penerbangan meminta maaf melalui pengeras suara karena telah terjadi kesalahan teknis dalam proses landing barusan. Jingga menghela napas lega bisa memijakkan kakinya menuruni anak tangga. Kepanikannya sudah berakhir.
Jingga berjalan menarik kopernya menuju lobby. Otaknya penuh dengan bayang-bayang sang pekerjaan, Pak Steven, ibunda, Ninda, Dika, Heri, Livi, Juna, Pak Eki, ayah yang entah sekarang di mana, dan yang paling utama ialah Rama, laki-laki yang masih menjuarai pikirannya selama ini. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan memandang sudut bandara yang terlihat rapi dan sunyi. Mungin di sinilah tempat yang tepat untuk menjadi rehabilitasinya sementara waktu dari segala rutinitas yang membosankan, dan duka hatinya yang tak pernah toleran. Ia tidak ingin terus-terusan berkabung, apalagi terbelenggu pada masalahnya yang pelik itu.
Sebulan terakhir sejak membatalkan menikah dengan Heri, Jingga memaparkan duka hati pada sahabat dekatnya yang kini bertugas di Pulau Lombok melalui perantara media sosial. Jingga keluar lobby dan merasakan semilir angin di bulan Agustus menyambut kedatangannya di Bandara Praya. Kabar meteologi mengatakan bulan ini angin barat sedang kencang-kencangnya. Para nelayan dan turis yang hendak melaut maupun menyeberangi pulau harus menurut jika ingin nyawanya selamat. Sahabatnya bilang, belum lama ada perahu pecah dan hancur tersapu ombak di laut menuju Gili Trawangan. Dan barangkali perasaannya pun seperti kapal yang pecah dan hancur terhantam ombak menjadi serpihan tak berbentuk.
Namun Jingga tak menyoalkan angin dari barat yang diceritakan oleh sahabatnya - Azka. Ia kemari ingin menentramkan hatinya sekaligus mengunjungi teman masa kecilnya yang sudah 13 tahun hanya berbicara lewat surat, email, chatting, dan media sosial lainnya. Bila berkomununikasi dengan laki-laki itu, ia sering dikomentari karena tak pernah merubah foto akun chattingnya setahun penuh. Meskipun begitu, Jingga tetap saja tak mau mengganti foto profilnya. Untuk apa? Tidak ada yang naksir juga, katanya sembari tertawa.
Selama pindah ke Pulau Nusa Tenggara Barat, Azka bercita-cita menjadi aparatur Negara yang bersih dan berguna bagi nusa dan bangsa. Jingga sempat menggeleng-gelengkan kepala salut karena sahabat yang sudah bagai kakaknya itu berhasil menggapai mimpinya. Saat Azka bilang punya waktu senggang, Jingga teramat antusias menemuinya, berbincang sambil menyaksikan matahari tenggelam, mendahului sang surya memancarkan sinar hangatnya sambil mengusir pilu hatinya.
Setelah mengenang sosok Azka, Jingga melihat namanya tertulis di kertas HVS dengan huruf kapital ekstra besar. Tak pelak lagi, pria bertopi dan bertubuh tegap tinggi yang berdiri di tengah kerumunan dan sedang melambaikan tangan, adalah makhluk bernama Azka. Jingga tersenyum ke arah lelaki itu, dan mengambil kertas bertuliskan namanya.
“Ah ya, aku tahu ini kau. Syukurlah kau datang. Aku sudah kesemutan berdiri dua jam,” Pria itu melepas topinya dan memasangkannya ke kepala Jingga. “Delay kah pesawatnya?” Ia mengambil alih menarik koper Jingga tanpa diminta.
Jingga hanya menggeleng. Ia tidak berselera bercerita. Kejadian di pesawat barusan membuat detak jantungnya kembali tak beraturan. Ia masih jetlag mengingat peristiwa sepuluh menit lalu. Dalam benaknya berpikir, mengapa laki-laki ini tidak menanyakan kabarnya? Kenapa mesti bertanya tentang keterlambatannya? Jingga mengumpat kesal.
“Katanya tentara, masa baru berdiri dua jam saja sudah kesemutan.” Jingga mencibir Azka. Mengikuti langkah sahabatnya menuju parkiran mobil.
“Tentara juga manusia, kan? Wajar kalau aku kesemutan dan nyaris pingsan. Eh, tapi ngomong-ngomong, aku masih setampan dulu kan? Ngaku saja deh. Kau jangan menghina-menghibur,” tawa Azka renyah mendayu-dayu. Membuat Jingga ikut tertawa. Pria ini selalu membuatnya sakit perut karena leluconnya yang sok lucu.
“Iya, aku harus mengakui kalau kau tidak pernah tampan sejak zaman dahulu kala, bahkan sebelum abad masehi,” ledek Jingga asal. Tubuh Azka yang teramat tinggi, membuat Jingga terkadang menengadah memperhatikan ekspresi wajah Azka yang sekarang terlihat gelap gulita karena kebanyakan dijemur macam ikan asin. Jingga berusaha menahan tawa.
Azka menyipitkan mata, berhenti sejenak, “Dan kau masih Anggun sejak zaman purbakala.”
“Tentu saja aku masih Anggun. Aku belum sempat mengganti namaku menjadi ‘Jelita’. Ya, maklumlah, aku terlalu sibuk. Akan merepotkan sekali membuat tumpeng dan mengundang seluruh lapisan kerabat, bukan?” Jingga mengangkat bahu, menonjok lengan Azka yang berotot. Tertawa. Tawa lepas yang pernah keluar dari mulutnya setelah ditinggal menikah oleh Rama.
Azka pura-pura kesakitan, mengucek matanya seakan anak kecil yang menangis minta dibelikan gulali seloyang. Meski baru pertama bertemu setelah belasan tahun terpisah jarak dan waktu, keakraban mereka masih sama seperti 13 tahun silam. Dimana saat itu Jingga masih duduk di bangku kelas satu SMA, dan Azka kelas 3 SMA. Dulu ketika masih sama-sama sekolah di Bandung, banyak tetangga maupun teman sekolah yang mengira mereka menjalin hubungan istimewa lantaran sering mendapati berduaan kemanapun laiknya sepasang kekasih.
Bagi Jingga, Azka adalah sahabat laki-laki terbaik seantera raya yang ia punya. Laki-laki itu pernah melindungi dirinya dari preman saat hendak menuju balai desa untuk mewakili siswa-siswi lain dalam pentas seni. Berkat Azka pula, nilai pelajaran gambar poster dan seni lukisnya selamat di raport. Jingga benci sekali pelajaran menggambar dan melukis. Seperti yang ia bahas dengan Rama di restaurant cepat saji di Gedung Sarinah beberapa bulan yang lalu. Seandainya saja ia bisa memutar waktu untuk mengenang obrolan singkat itu. Sayangnya Jingga hanya bisa mengenang dan mengenang kejadian yang sudah lewat meski sama sekali tak menginginkan bayangan lama terus berputar di otaknya.
Sepanjang berjalan menuju parkiran, Azka yang terpaut usia dua tahun dengan Jingga, banyak berceloteh kenangan masa nakal mereka sewaktu kecil. Namun gadis itu menekukkan wajahnya mengingat usia Azka sama persis dengan usia Rama. Bagaimanakah kabar Rama saat ini? Sedang apakah dia? Apakah dia pernah merindukannya sekali saja? Apakah Rama bahagia dengan Kilka? Apakah Rama sudah melupakannya? Hati Jingga bertanya-tanya. Ucapan yang terlontar dari mulut Azka hanya dijawabnya dengan ratapan kosong dan senyuman hambar.
Karena berteman sedari kecil, Azka mengenal seluruh perangai Jingga, baik kelemahannya maupun kelebihannya. Ia dapat membaca raut wajah Jingga yang berubah. Namun ia tetap berceloteh agar Jingga berhenti melamun. Waktu sekolah dasar, mereka selalu bermain bersama di kebun dan ladang milik petani untuk menangkap capung dan belalang, berkejaran di pekarangan milik warga desa sebelah, bermain kasti, kelereng, berenang di sungai, dan tak lupa berkejaran di bawah hujan. Semuanya menyenangkan. Masa kanak-kanak itu tak sedikitpun menghilang dari benaknya.
“Kalau tidak salah, kita sudah terpisah seratus abad ya, Nggun.” Azka memamerkan deretan gigi putihnya seraya menepuk lengan Jingga. Jingga terperanjat kaget dan tersadar telah mencuekkan Azka gara-gara sibuk oleh pikirannya sendiri.
“Eh, seratus abad? Kupikir sudah ribuan abad, dan kita sudah melewati satu lingkar nasi. Canggih sekali. Ckckck…” ucap Jingga mencoba tertawa. Tawa yang amat tawar.
Azka membuka bagasi mobil, memasukkan koper Jingga ke dalam sana. Sembari mengeluarkan mobilnya menuju jalan raya, Azka terus mengulas masa kecil mereka. Karena itulah harta terindah yang mereka punya. “Dan kau selalu ingin dibilang juara satu meski kalah telak oleh aku dan Dewa di Sungai Ciliwung, bukan?”
Jingga menekukkan wajahnya tidak suka. Ya memang, pada saat belum puber, mereka sering bermain di sungai untuk balapan renang hingga jembatan. Kadang Azka yang juara, kadangpula Dewa. Dan Jingga tak pernah sekalipun menang karena dua temannya laki-laki yang beringas. Mendengar nama Dewa, ia terbayang ke puluhan tahun silam. Anak kecil bertubuh bongsor itu gemar sekali membuatnya berkelahi semasa sekolah dasar dulu. Jingga dan Dewa sering disidang guru, dan Dewa lah yang selalu disalahkan. “Dasar perempuan!” Maki Dewa kesal karena perempuan selalu saja dibela.
“Sampai detik ini, aku masih benci pada Dewa. Syukurlah dia ditelan bumi. Kalau tidak, aku pasti akan membalaskan dendam kesumat padanya,” Jingga tertawa. Kali ini tawanya sedikit lepas dari sebelumnya.
“Aku juga bersyukur dia meninggalkan kita di usia yang masih sangat kecil. Dengan begitu, aku tidak akan repot memisahkan pertengkaran kalian yang mirip sekali dengan film kartun asal Amerika itu. Gawat kan jika pertengkaran kalian sampai usia dewasa dan masing-masing punya pasangan? Mungkin lebih spektakuler dari cerita perang dunia ke-2.” Azka menepuk jidat, terkekeh.
“Apakah kau tahu kabarnya?” tanya Jingga serius.
“Sebelum dia menikah. Tapi aku tak sempat datang ke pesta pernikahannya lantaran ada tugas dadakan dari dinas kota. Ah, si biang kacau itu rupanya menyaingi keahlian lukisku. Sayang, aku kurang tenar dan hanya bisa melukis di kertas gambar, membantu tugas sekolahmu dulu,” Azka mengedipkan matanya pada Jingga. Yang langsung dicibir Jingga sambil tertawa.
“Oh ya? Andai saja dia tetap tinggal di kota kembang, pasti aku akan mendapatkan nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan gambar hasil lukisanmu. Tapi kenapa kau tidak membahas Dewa di chatting? Aku kan bisa menuntaskan perkelahianku di media sosial,” Jingga meleletkan lidahnya, meledek Azka yang terlihat sebal.
“Nah, itu dia. Aku sengaja tidak memberitahumu karena pasti akan runyam urusannya. Biarlah, nanti kalianpun akan bertemu.”
Jingga melipat alis, tidak mengerti. “Bagaimana kau bisa bertemu Dewa?”
Bagaimana bertemu Dewa? Kali ini dahi Azka yang terlipat. Sejak orangtua Dewa memindahkan sekolahnya ke pulau seberang pada lulusan sekolah dasar, setahun sekali mereka selalu saling mengirim kabar. Kalau dipikir-pikir aneh juga dua sahabat laki-laki aktif berkirim surat. Namun itulah yang terjadi. Di surat itu, Dewa bilang rindu menjahili Anggun, rindu bertengkar dan berkelahi dengannya. Tapi Azka tidak pernah menyampaikannya pada Jingga. Azka tahu, senakal-nakalnya perangai anak laki-laki pada teman perempuannya, pastilah ia hanya iseng semata. Dan kemudian ada perasaan rindu karena tak bisa lagi bertatap muka.
“Waktu itu kebetulan aku sedang dinas di Bali selama seminggu, menyelesaikan misi detektif teroris yang berkeliaran di sana. Aku sempat menginap di rumahnya, juga di rumah sakit selama seminggu. Ayahnya sakit keras. Tapi yang membuatku senang, mereka bilang aku masih seganteng dulu.”
“Kau ini memang selalu memaksakan diri untuk dibilang tampan. Iya, tampan di dunia orang utan. Dewa sudah menikah? Ah, aku terlambat.” Wajah Jingga seperti menyesal.
Azka mengangkat bahu, tidak paham. “Maksudmu terlambat?”
“Aku terlambat menemui Dewa. Laki-laki itu pasti sudah kucincang habis-habisan di depan istrinya karena urusanku dengan dia belum selesai. Dia selalu membuatku kesal. Tapi aku tak mungkin menemuinya. Nanti istrinya cemburu buta padaku. Mengira aku mantan kekasihnya, padahal jelas-jelas bukan, kan?”
“Ya, dan kalau sampai pertemuan itu terjadi, akan ada perang dunia ke-100. Aku pasti akan sangat repot mendamaikan kalian. Mungkin pertengakaran kalian lebih fenomenal dari urusan teroris.” Azka memukul-mukul setir, tertawa.
“Sudahlah, aku hanya bergurau,” potong Jingga mengalihkan pembicaraan. “Aku juga tidak serius mengatakan ini.” Jingga tersenyum tipis. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan sosok sahabat kecilnya yang kini sudah dewasa. Membayangkan wajah Dewa membuatnya tak sadar tertawa kecil, pria menyebalkan itu pastilah berambut gondrong, berkulit kumal, dan jelek macam tidak mandi sebulan. Tapi keingintahuannya serasa terbatas, lantaran Dewa sudah berkeluarga. Pantang baginya untuk berhubungan dengan laki-laki yang sudah menikah, walaupun sebatas sahabat.
Tempo hari, Jingga sering mendapat perlakuan senonoh dari para istri sahabat prianya yang menyangka dirinya adalah kekasih simpanan suami mereka. Ia bergidik mengingat kejadian menggelikan itu. Dan jangan sampai terulang lagi.
***
Hijau pepohonan yang dibalut birunya langit, dengan sedikit titik-titik awan putih, terpampang indah dari bingkai mobil. Deru mesin yang lembut dan halus, sesekali ia bisa mendengar kicauan burung. Bunyinya yang jernih seakan-akan menyebar ke segala penjuru, membuat perasaan damai. Kanan dan kiri jalan terdapat monyet-monyet yang melompat lincah, ada yang duduk melamun, ada juga yang berbincang dengan teman-temannya sesama orang utan. Jingga tersenyum memperhatikan pemandangan safari natural ini, kadang iseng meledek Azka sebagai tetua orang utan itu. Azka malah memanggil sahabatnya yang berjejer sepanjang jalan Pusuk Pas yang sepi lalu-lintas. Tertawa.
Tebing tinggi nan hijau serta tepian pantai yang eksotis, membuat Jingga melongokan wajahnya keluar jendela mobil, sesekali memejamkan mata untuk mengirup udara segar, lalu tersenyum lagi. Tidak salah Azka membawanya ke mari. Ia benar-benar sedikit tenang menikmati jalanan berkelok serba hijau ini.
Tapi tiba-tiba hatinya melipir pada sosok Dewa. Kenapa kisah sahabat nakal masa kecilnya yang sedang dikisahkan Azka nyaris sama dengan jalan cerita mantan kekasihnya, Rama? Dewa pelukis? Tinggal di Bali? Sudah menikah? Ayahnya sakit? Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi hatinya melarang. Azka tak perlu tahu semua ini. Semuanya sudah berakhir. Semuanya harus dilupakan. Tak ada yang perlu dibahas lagi. Pemandangan yang indah laksana poster alami, tak mampu mengalihkan pikiran Jingga tentang pemuda yang sudah membuat hatinya menangis siang malam selama berbulan-bulan hingga air matanya kering.
“Ada apa, Nggun? Kenapa mendadak diam?” Azka menyikut tangan kanan Jingga.
Jingga terperangah kaget, “Eh, tidak apa-apa, Ka.”
“Lantas kau mau bermalam di mana?”
“Antarkan aku ke Pantai Senggigi. Kau bilang pantai itu cukup menggugah rasa untuk menikmati matahari tenggelam, bukan? Aku ingin minum kelapa muda, maukah kau menemani?” Jingga mencoba ceria.
Azka tahu betul tabiat Jingga saat wanita malang itu menyembunyikan kesedihan di matanya yang berkaca-kaca. Ia bisa menebak, pastilah sahabat kecilnya yang kini menjadi dewasa, menyembunyikan sesuatu tentang penderitaan hatinya. Namun sekali lagi, Azka tahu kalau Jingga tidak suka ditanya perihal masalah pribadinya. Lambat laun, ia pasti akan tahu sendiri kenapa teman kecilnya ini menyepi ke pulau yang sunyi dari hiruk-pikuk kota metropolitan. Walaupun sebenarnya ia sudah tahu.
“Tapi sebelum kuantar ke Senggigi, kau harus bertemu dengan kedua orangtuaku di Mataram. Mereka sangat merindukanmu. Semenjak kau meneleponku tiga hari lalu, ibu sibuk sekali menyiapkan makanan khas kota kami; ayam taliwang, pelecing kangkung, sate bulayak, serta masih banyak lagi yang lainnya. Tak lupa kopi hitam yang sering kau minta kirimkan ke Jakarta. Ah, pasti kau menyukainya, Anggun. Dan kau harus menghabiskan semuanya.”
Jingga tertawa mendengar Azka bercerita tentang ibunya. “Beres! Kau jangan khawatir, aku pasti akan menghabiskannya.”
“Aku baru tahu kalau perempuan satu ini pemakan segala. Piring dan gelasnya pun siap dihabiskan, Nona? Hebat!” Azka mengangguk-anggukan kepalanya, mengernyitkan dahi.
Jingga mencubit lengan Azka dan melotot sebal, “Aku bukan kuda lumping, Azka…………….”
Tak disangka, Azka berhasil membuang sedikit demi sedikit kesedihan di mata Jingga. Ia tidak tega membiarkan gadis kecilnya yang kini tumbuh dewasa, larut dalam kesedihan tak berujung. Berada dengan Jingga, ia seperti mempunyai adik perempuan yang lama hilang. Azka merupakan anak sulung dari tiga bersaudara yang keseluruhannya laki-laki. Azka rindu berperan sebagai kakak Jingga.
“Kau hendak membawaku kemana, Azka?” Jingga memperbaiki duduknya.
“Sudahlah, kau menurut saja. Aku yakin, kau pasti tidak mau pulang dari sini. Jujurlah, pulau ini elok sekali bukan?”
Jingga mengangguk. “Ya, harus kuakui, aku menyukai tanah kelahiran ibumu. Dan kau harus bertanggung jawab kalau aku benar-benar tidak ingin pulang dari sini.”
“Aku khawatir kau tidak mau pulang.” Azka nyengir, memperbaiki posisi duduknya.
“Maksudmu?” Jingga melipat alis.
“Percayalah ungkapan ini: Jangan ke Lombok, nanti tidak mau pulang.”
Azka tertawa. Jingga pun tertawa. Kali ini tawanya sedikit lepas. Ternyata Azka tidak langsung membawa Jingga ke Mataram, melainkan memutar setirnya menuju pantai Seger, sekitar tiga kilometer dari pantai Kuta. Pria berambut plontos dan tinggi itu menuntun Jingga menaiki bukit.
Angin dari barat berhembus kencang, membuat rambut dan syal Jingga berkibar. Gadis itu memandang ke sekitar dan melihat putihnya gulungan ombak melukis tepian laut dan menghantam karang. Dari atas bukit, ia bisa mengamati semua sudut bibir Pantai Kuta yang melengkung aduhai. Warna putih, hijau, dan biru, menyatu dalam kacamatanya yang telanjang. Sejauh mata memandang, terlihat hamparan laut biru dan bukit-bukit yang sungguh menawan.
Luasnya lautan terhampar di semua sisi. Panorama karang besar yang menyembul di tengah laut, serta beningnya air, membuat Jingga terpukau. Ia memutar badan, memperhatikan keindahan surga dunia yang mengitari pijakan kakinya saat ini. Udara di pantai ini tidak panas laiknya pantai kebanyakan. Jingga mendadak ingin menetap di pulau itu. Rambut panjangnya yang tergerai, acak-acakan dan kusut tertiup angin. Pekerjaan barunya kini yakni mengatur helai demi helai rambutnya agar diam. Azka tertawa melihat tingkah Jingga yang serba salah.
“Tak perlu melawan angin, Anggun! Hidup ini memang banyak aturan. Kau tidak harus menghukum dirimu dengan semua rasa sedih dan benci. Terimalah... Kau harus ikhlas menjalani roda kehidupanmu yang terus berjalan. Sebelum roda itu benar-benar berhenti, setidaknya kau pernah melewati terjal landainya kehidupan,” teriak Azka mencoba merambatkan suaranya yang terhalang oleh desau angin.
Jingga menoleh. Ia paham kalau Azka membaca isi hatinya yang rapuh. Ia duduk di batu besar menghadap lautan lepas, bersenandung dalam lara. Gulungan ombak dengan sadisnya menabrak karang. Menimbulkan bunyi bergemuruh. Satu-dua burung melintas di atas gulungan ombak, menari menggunakan kepakan sayap yang membuat Jingga iri.
“Azkaaaa… kemarilah, aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” Jingga mengeraskan pita suaranya agar sahabat masa kecilnya yang berdiri sepuluh meter darinya mendengar.
Azka mendekat. Berdiri di samping Jingga yang masih sibuk menata rambutnya.
“Aku sudah memutuskan, kalau aku tidak akan menikah sampai akhir hayat. Aku akan menjadi gadis single selamanya hingga tanah memakan daging dan tulang belulangku. Ada banyak manusia yang beruntung di muka bumi ini, tapi itu bukan aku. Mereka menemukan cinta sejati tanpa meminta dan mengemis, punya keluarga yang harmonis. Sedangkan aku? Kau tahu, aku hanyalah anak didikan ibu. Ayahku entah berada di mana. Kalau kau bukan sahabat dekatku, bisa saja aku menyamakanmu dengan ayahku, dengan pria-pria yang melukai hatiku.”
Azka tidak berkomentar. Ia membiarkan Jingga berucap aneh macam orang tidak waras. Hatinya pasti benar-benar kacau-balau. Masalah yang dialami gadis itu sangat kompleks. Untuk mengurainya satu per satu, ia perlu sedikit bersabar. Jingga adalah gadis istimewa, gadis spesial yang sedang patah hati bertubi-tubi. Dengan mengeluarkan semua unek-uneknya, ia berharap sahabatnya itu bisa lebih tenang dan berpikir rasional.
Jingga bangkit dari batu besar, meraih beberapa kerikil di dekat kakinya, kemudian melemparkannya ke laut. “Kenapa hidupku menyedihkan? Apakah aku ditakdirkan untuk merana? Kenapa aku tak pantas merayakan kebahagiaan yang sempurna seperti manusia lainnya? Apa aku tidak sempurna? Tidak layak bahagia?” Gadis malang itu tersungkur memeluk lutut. Air matanya yang kering, kini kembali basah. Perlahan tetesannya jatuh ke tanah.
Kadangkala dalam hidup ini, masalah demi masalah datang silih berganti. Namun Jingga mengalaminya secara simultan. Ayahnya hingga kini tidak tahu ada di mana, hubungannya dengan ibunda merenggang karena ia mengagalkan rencanana pernikahannya bersama Heri, asisten direksi sekaligus atasan kerjanya. Bagaimana pula ia menjalani hari-harinya dalam keadaan rumit seperti itu. Semua karyawan sudah menerima undangan, saudara-saudaranya, sahabat dekat maupun jauh, teman sekolah dan kuliah, handai-taulan sudah sibuk menyiapkan baju paling pantas menghadiri pesta, bilang selamat akhirnya menikah juga. Mau dikemanakan mukanya? Jingga benar-benar malu dan miris dengan kisah hidupnya yang bagai sandiwara.
Ia ingin pindah kerja, namun Livi melarangnya, bilang dia harus profesional. Setiap kali lewat anak buahnya, bisik-bisik prihatin dan pandangan mata iba, membuat hatinya makin terluka. Di hatinya selalu terbesit nama Rama sang kekasih hati. Dan laki-laki itu telah menikah dengan wanita lain. Jingga tidak kuasa menahan pilu hatinya. Ia ingin mati saja.
**
Ini adalah malam ketiga Rama melewati jalanan Pantura. Sudah tak terhitung berapa kali ia mampir ke pombensin guna mengisi ulang bahan bakar mobilnya yang habis guna meneruskan perjalanannya menuju ibukota. Sehari keberangkatannya meninggalkan kota Denpasar, ia terjebak di hutan yang sepi di Banyuwangi. Ban mobil belakangnya pecah. Ia juga sempat menabrak truk yang terparkir di sisi kiri jalan lantaran terlalu banyak melamun dan tidak konsentrasi menyetir. Alhasil ia dilarikan diri ke puskesmas terdekat oleh saksi mata agar dahinya yang berdarah terbentur setir, casing mobil depannya sudah tak berbentuk, sama dengan hatinya yang benar-benar remuk dan berkecamuk.
Bagaimanapun juga, ia harus menemui Jingga sebelum pernikahan itu berlangsung. Meski dadanya sesak dan panas, ia harus berani memandang sayu mata Jingga dan sendu wajah gadis itu. Ia tak punya banyak waktu untuk memikirkan perempuan bunglonnya. Namun otaknya seakan kaset rusak yang terus memutar semua kisah tentang Jingga, yang membuatnya tak bisa memikirkan hal lain selain dia.
Sebenarnya, pemuda berhidung mancung dan berkumis tipis itu bisa saja menaiki pesawat menuju ibu kota. Tapi saat mendengar kabar buruk tentang pernikahan Jingga yang tinggal seminggu lagi, ia tak bisa berpikir jernih. Rama langsung menyambar kunci mobil Fortunernya dan mengegas dengan kecepatan maksimal menuju pelabuhan Gilimanuk untuk menyeberangi Pelabuhan Ketapang. Ia bahkan lupa membawa baju ganti untuk salin. Dalam hatinya berdoa, semoga ia tidak terlambat melihat wajah anggun itu untuk terakhir kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar