Rabu, 20 Juli 2016

Puing 17 #Jingga #NovelSeries

Di pasir putih itu, Jingga duduk tanpa alas, menarik satu kaki kanannya dan menghadapkan matanya ke lautan lepas. Jauh di pelupuk mata, terpampang megahnya Gunung Agung yang menyembul di tengah hamparan laut Lombok Tengah, yang mana gunung tersebut terletak di Pulau Bali. Mendadak ingatannya kembali pada sosok Rama yang berada di seberang sana. Perih. Ia tak kuasa mengingat kegetiran kisahnya yang singkat bersama lelaki itu.
Matahari sore mulai menenggelamkan sinarnya di balik gunung. Warna jingga menyeruak membentuk siluet yang meneduhkan hati. Jingga masih terduduk menopang dagu beralaskan pasir putih. Ia mengamati perahu nelayan melintas, seorang nahkoda sibuk mendayung menepikan perahunya ke pantai. Nampaknya habis menebarkan jala di tengah laut, esok pagi baru memanen hasil tangkapannya. Pantai ini terbilang sepi pengunjung. Meski sudah ada ressort dan penginapan di sekitar pantai, namun baru kali ini Jingga menikmati syahdunya menyaksikan sang surya tenggelam tanpa ada suara manusia yang menganggunya. Hanya lenguhan burung camar, derik jangkrik dan serangga lainnya yang terdengar. Begitu tenang.
Dadanya sesak, ingatannya kelam. Ia merasa Rama seperti Gunung Agung yang melambaikan tangan, memintanya untuk mendekat. Ia pikir dengan menenangkan diri ke pulau nun jauh di bagian tengah Indonesia, pikirannya pun bisa membuang jauh kenangan tentang Rama. Salah. Jingga benar-benar keliru.
Pulau Bali hanya terhalang oleh selat Lombok. Ia bahkan bisa melihat dengan jelas Pulau Dewata tersebut melalui mata telanjang. Sial, lagi-lagi dia hanya terpaku tentang Rama. Dadanya semakin sesak. Jingga tak kuasa menahan diri untuk tidak berderai air mata. Rekaman seluruh kisahnya kembali diputar di layar lebar di atas lautan lepas.
Sang surya melepas lelahnya di balik Gunung Agung, terganti oleh purnama bulan November, awal musim penghujan. Di bawah sang bulan, terdapat satu bintang yang setia menemani kemanapun bulan itu bergeser. Lama-kelamaan, bermunculan gemintang lain yang bagai ceres berkilauan di angkasa. Jumlahnya ribuan. Jingga bahkan tak pernah berhasil menghitungnya.
Rama, kau tahu, purnama malam ini sangat tampan. Aku tak mempermasalahkan satu bintang menemaninya. Tapi kenapa semakin malam semakin banyak? Barangkali seperti itulah gambaran hati manusia. Tidak pernah cukup. Selalu ingin lebih dan lebih. Kau sedang apa di sana, Rama? Aku menginginkanmu. Tapi itu mustahil. Kita berbeda…
Jingga membatin dalam hatinya. Ia sungguh benci akan semua kenangan bersama Rama yang singkat, padat, dan bagai mimpi. Jingga mengutuk hatinya sendiri, menyesal telah bertemu pemuda itu. Ia memainkan pasir putih dengan jari-jarinya. Menuliskan nama Rama yang kemudian dicoret lagi, ditulis, dihapus lagi. Begitu berulang-ulang. Seharusnya tiga hari lagi ia menikah dengan Heri, bersandingkan di pelaminan, menjadi ratu dan raja semalam. Namun ia tak akan pernah bahagia berdampingan dengan laki-laki lain selain Rama.
“Kau lihat patung putri dan lima laki-laki di Pantai Seger tadi siang?” Azka membuyarkan lamunan Jingga dan mendapati gadis mungil itu mengusap air mata.
Jingga berusaha tersenyum garing. “Iya, aku melihatnya. Ini buatku kan?” Jingga merebut satu kelapa muda dari tangan Azka dan langsung menyedotnya. Mencoba senormal mungkin.
“Namanya Putri Mandalika. Putri yang sangat cantik jelita. Kisahnya sungguh tragis. Putri Mandalika bunuh diri dari atas bukit yang kau duduki tadi. Terjun ke laut yang di bawahnya bebatuan tajam dan karang terjal.”
“Kenapa dia bunuh diri?” Jingga berusaha menutupi kekalutan hatinya dengan menyunggingkan sedikit senyum.
“Karena dia diperebutkan banyak laki-laki. Dia tidak ingin melukai perasaan lelaki yang tidak ia cintai, maka ia lebih baik mati ketimbang harus melukai perasaan laki-laki lain yang harus dipilihnya salah satu.”
Jingga mengernyitkan dahi. “Aku bukan Putri Mandalika. Dan aku tidak diperebutkan banyak laki-laki.”
“Aku tahu. Dan aku juga tahu kalau kau tidak boleh terlalu lama menangisi kisah hidupmu yang menyedihkan. Akan ada saatnya kau mengerti, bahwa hidup ini hanyalah sebuah persimpangan.”
Azka mengacak-acak rambut Jingga, menganggap gadis itu masih kecil. Ia bahkan tahu detil kisah sahabatnya yang kini kehilangan harapan.
“Aku harus pulang. Masih ada tugas Negara yang harus kuselesaikan. Besok pagi, aku akan menjemputmu. Kita akan jalan-jalan. Usaplah air matamu, aku tidak suka dengan wanita cengeng. Mana Anggun sahabat dan adik perempuanku yang terkenal dengan ketegarannya?”
“Ada yang ingin kusampaikan padamu, Anggun. Bacalah…” Azka duduk di samping Jingga, menyodorkan selembar kertas usang dan senter kecil padanya.
Jingga mengambil kertas usang dan senter kecil dari tangan Azka, ragu membukanya. Azka bilang, dia tak sengaja menemukan foto ini di balik album foto milik Dewa. Sembunyi-sembunyi mengambilnya agar empunya tidak curiga.
Dan Jingga pun mulai membaca tulisan tangan yang agak samar tersebut. Tulisannya tidak terlalu bagus, namun rapi. Di bawahnya ada gambar kartun hasil coretan tangan, yang entah mengapa terlihat sederhana namun keren.
Teruntuk Gadis Kecilku,
Di sudut jendela kamar ini, aku melihatmu berlari menyusuri pantai dengan kaki telanjang. Menempelkan bunga di sela telingamu, berjalan dengan tawa riang. Aku masih ingat senyummu, marahmu, celotehmu, dan sembab di matamu. Aku juga masih ingat rambutmu yang panjang bergelombang, pirang tergerai terkena pantulan sinar. Kau memang gemar sekali bermain layangan di tengah lapangan. Dasar anak perempuan nakal.
Dalam bingkai kacamataku di radius ribuan pal, aku sibuk membayangkanmu, tertawa saat mengingat wajah dan rambutmu penuh dengan serpihan kapas. Kau juga sering mengadu pada pak guru, bilang kalau aku tega mengejekmu, membuatmu jengkel dan marah. Kau tahu? Kau memang pantas digoda.
Boleh jadi kau telah melupakanku, bahkan tak ingat apapun tentangku. Tapi aku tidak peduli. Bagiku, kau selalu menjadi serbuk rindu yang tak bertepi. Seperti rembulan malam ini. Aku tahu, pasti kau pun sedang memandang langit yang sama, termenung memandang cahaya purnama. Benar, kan?
Matahari memang masih terbit di sebelah timur dan tenggelam di ufuk barat. Maafkan aku, memendam perasaan yang tak kunjung terbalas. Menyimpan surat ini tanpa berniat mengirimkannya untukmu. Kau adalah temanku, musuhku, adikku, dan aku sangat merindukanmu.
Anggun, umurku kini menginjak dua puluh delapan tahun, dan aku ingin sekali bertemu denganmu, mengulang masa kecil kita, berlarian mengejar katak, menangkap capung, dan berburu belalang di bawah hujan. Aku sungguh teramat merindukanmu. Kali ini aku rela kau yang memenangkan balapan renang di sungai. Tenang, aku akan pura-pura kalah.
Kenanglah aku,
Dewa Gede Ramayoga
Jingga meneteskan air mata.
**
Saat Rama menerima perjodohan itu, Jingga tak pernah menghubunginya lagi. Dalam benaknya bertanya, kenapa gadis itu tega memberikan hatinya pada wanita lain? Kenapa dia tidak melakukan apa-apa untuk hubungan mereka? Rama berteriak dalam hati menahan perih di dahi, tangan kanan, dan pergelangan kakinya lantaran mengalami kecelakaan ringan di pinggir tol beberapa jam lalu.
Sialnya, kenapa Jingga merupakan sahabat masa kecilnya yang terpisah puluhan tahun, kemudian bertemu saat dewasa dan saling mencinta? Kenapa perbedaan memisahkan mereka? Hatinya sungguh meringis mengenang semuanya. Dulu, Jingga adalah bahan empuk sasarannya untuk dijahili. Gadis kecil itu tidak cengeng, ia malah menantang untuk berkelahi secara jantan. Meski Jingga perempuan dan tidak memiliki kejantanan. Rama tertawa hambar mengingat kedua orangtuanya menjewer kupingnya hingga merah saat berhasil membuat gadis kecil itu kesal dan menangis.
Foto yang dilihatnya dari ponsel Azka, dibandingkannya dengan foto yang terdapat di album usang. Di sana Jingga, Rama, dan Azka tertawa bermain layang-layang di tengah lapangan. Ia sungguh rindu akan sosok Jingga dan Anggun. Gadis kecil itu memang menangis, tapi ia tak pernah mau memamerkan air matanya yang berlinang pada banyak orang. Ia langsung pergi ke kamar dan menemuinya lagi esok pagi untuk mengajaknya menyelesaikan satu permainan yang bisa membuat hatinya menang.
Sifat kecil Jingga masih sama ketika dirinya sudah dewasa. “Apakah kau mencintaiku, Rama? Jika ia, menikahlah dengannya. Aku tak bisa melawan takdir Tuhan. Dunia kita berbeda, Rama. Kita tidak akan pernah bersatu,” ucap Jingga seraya meninggalkannya seorang diri di tepi jalan yang disaksikan puluhan pasang mata.
Kala Jingga meninggalkannya di Bandara Ngurah Rai tiga bulan lalu, gadis itu memang menangis sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Tapi dia mengumpat, menyembunyikan rasa kecewa dan kesedihan hatinya agar terlihat tegar dan tidak terkesan cengeng di matanya. Kesalahan terbesar Rama adalah mengapa ia menuruti permintaan gadis itu hanya karena ingin Jingga kembali ke pelukannya dan berubah pikiran? Ternyata ia tetap pada pendiriannya dan tak sedikitpun menengok ke belakang. Saat itu kaki Rama bergetar hebat, menyesal mengatakan dirinya akan menerima perjodohan dengan Kilka. Livi benar, Jingga memang keras kepala.
Rama merenung lagi. Sedikit mengurangi kecepatannya di tol Jagarawi. Ia sama sekali tidak ingat kalau Jingga pernah mengisi masa lalunya dengan tawa bersama Azka. Kenapa ia tidak terpikirkan untuk bertanya kabar Jingga pada teman lelakinya itu? Apa yang ia lakukan semenjak perpisahan tiga bulan lalu? Apakah gadis itu baik-baik saja? Kenapa pula ia tidak pernah mau menghubunginya lagi? Rama mengutuk dirinya sendiri.
**
Bel apartemen Jingga sudah sepuluh kali ditekan. Namun tak ada jawaban apapun dari dalam. Rama yang putus asa, segera mengunjungi rumah Livi yang berada di Komplek Perumahan Pondok Indah, sepuluh menit dari Apartemen Permata Hijau.
“Jingga tidak ada di sini,” kata Livi sambil memegangi daun pintu.
“Lantas dia kemana?” Rama mengusap wajah.
“Aku tidak tahu.” Livi permisi dan menutup pintu. Sebenarnya dia tahu kemana Jingga pergi. Tapi tidak ingin mempertemukan keduanya lagi. Sudah cukup Jingga tersakiti. Biarkan dia menetralkan perasaannya di tempat yang sulit terjangkau. Livi sendiri tidak tahu persis dimana keberadaan tempat itu. Karena Jingga tidak memberitahukan detil posisinya.
Kaki Rama tak beranjak sesentipun dari ambang pintu rumah Livi. Ia berharap Livi akan berubah pikiran dan memberitahukan dimana keberadaan Jingga. Satu jam menunggu, kaki Rama mulai pegal. Ia duduk lesehan di teras. Hingga matahari condong ke barat, suami Livi, Juna, yang dari luar kota bertanya sedang menunggu siapa.
“Bisakah kau membujuk Livi untuk membocorkan dimana keberadaan Jingga? Aku yakin dia tahu tentang gadisku. Aku tidak akan pulang sebelum mengetahui Jingga dimana.” Rama bersikekeh akan tetap tinggal di teras itu sampai Livi mau berbaik hati memberitahunya.
Sebagai sesama lelaki, Juna iba terhadap Rama. Ia akan membantu semampunya. Livi sangat menyayangi Jingga seperti saudara kandungnya sendiri. Basa-basi, Juna membuka percakapan dengan istrinya, “Memangnya Jingga ada di mana sekarang?”
“Jangan memancingku, Juna. Aku tidak tahu dan tidak akan memberitahu.” Livi duduk membelakangi suaminya dengan tangan bersedekap.
“Tadi aku berbincang sebentar dengan Rama. Dia menyetir mobil sendiri, menempuh jarak jauh dari Denpasar ke Jakarta hanya untuk menemui Jingga. Aku melihat casing mobil depannya penyok karena menabrak truk yang sedang parkir. Kepala dan tangannya diperban. Tadi kulihat kakinya memar. Mungkin ia baru saja mengalami kecelakaan. Wajahnya pucat sekali. Kau tidak memberikannya air minum, Livi?”
“Dia itu sudah mantan, bukan kekasih Jingga lagi. Rama lebih memilih menikah dengan wanita satu kasta pilihan kedua orangtuanya,” protes Livi sewot.
“Bukankah Jingga yang menyuruh Rama menikahinya? Emm, tadi Rama sempat bilang padaku bahwa dia sudah bercerai dengan istrinya, Liv. Beri Rama kesempatan sekali lagi. Dia masih mencintai Jingga.” Juna memasang wajah melas, berharap Livi percaya dengan ucapannya.
Livi menoleh. Tertawa getir. “Darimana kau tahu dia masih mencintai Jingga? Sejak kapan kamu bisa meramal seseorang, Juna?”
“Aku sedang tidak bergurau, Livi. Matanya tidak bisa berbohong,” Juna menarik napas. Susah sekali berargumen dengan Livi. “Baiklah, aku akan menyuruhnya pulang, karena dia tidak akan pergi dari sini kalau kau belum memberitahu dimana Jingga berada.”
Atas desakan Juna, Livi menemui Rama dan mengatakan, “Aku juga tidak tahu kemana Jingga pergi, Rama. Sudah hampir seminggu dia mengambil cuti kerja. Mungkin saja dia pulang ke Bandung, tempat ibundanya. Entahlah, aku sungguh tidak tahu kemana dia pergi. Sekarang masuklah ke rumah kami, kau terlihat lelah sekali,” kata Livi lirih.
Rama mengucapkan terimakasih pada Livi dan Juna yang telah berbaik hati memberikan sepotong informasi penting tentang Jingga. Ia harus mengakhiri perasaannya yang gusar. Rasa lelahnya seakan terkalahkan dengan rasa senang mendapatkan titik terang. Perjalanan tiga hari dua malam menggunakan mobil, dengan hambatan yang hampir memakan nyawanya, Rama bersemangat menjemput Jingga di Bandung.
Rama berkali-kali mengusap wajah, berusaha mengatur napasnya senormal mungkin. Dua jam lebih ia mengendarai mobil pribadinya menjelajahi desa kelahiran Jingga, sayang seribu sayang, peluhnya tak terbayar. Gadis itu tak ada di sana. Dengan wajah lesu, ia pamit pada ibunda Jingga dan kembali ke Jakarta. Mungkin tiduran di kamar apartemen yang lama tak dihuninya, sedikit mengurangi keresahan hati.
Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya tidak karuan. Mendengar kekasih hatinya akan menikah dengan laki-laki lain, dadanya kian sesak. Sepertinya aliran darahnya tersumbat. Ia memikirkan bagaimana perasaan Jingga saat dirinya menikah dengan Kilka. Ia sendiri merasakan perihnya ditinggal menikah oleh mantan tunangannya tiga tahun silam. Dunia bagai berhenti di tempat. Dan dia harus merasakan lagi untuk yang kedua kalinya.
Seekor kucing hitam melintas di jalanan sepi. Membuat Rama mengerem dadakan mobilnya yang melaju cukup kencang. Untung saja kucing jelek itu berhasil meloloskan diri. Ia mengelus dada dan kembali fokus melajukan kendaraan roda empatnya. Peristiwa beberapa detik lalu mengantarkan ingatannya pada saat pertama kali bertemu dengan Jingga. Ia nyaris menabrak Livi. Di bawah hujan itu, ia memayungi Jingga dan menahan tangannya agar tidak jatuh tersandung selang. Getaran aneh menjalar ke seluruh tubuh saat menyentuh tangan halus Jingga. Dan saat itulah ia bisa memandang anggun wajah Jingga.
Sudah pukul 11 malam. Kini Rama telah memasuki kawasan Jakarta Barat. Dimana jalan ini dulu ia lewati bersama dengan Jingga. Hatinya kembali gundah gulana. Dimanakah gadis bunglonnya berada? Mengapa ponselnya belum juga aktif? Apakah dia sedang tidak ingin diganggu? Seribu pertanyaan tak terjawab melayang-layang di otaknya yang membuat dadanya semakin sesak. Ia mencoba mengalihkan pikirannya ke zebra cross agar tidak kacau. Keliru, justru di zebra cross itu, dia pernah menarik kasar lengan Jingga menghindari kendaraan roda dua dan empat yang sudah marah-marah karena keduanya mengganggu lampu yang sudah berwarna hijau.
Sesampai di apartemen, Rama menjatuhkan tubuhnya ke kasur ekstra besar, mengistirahatkan mata dan hatinya yang lelah. Seluruh isi apartemennya masih utuh, kecuali beberapa lukisan yang sengaja dipindahkan ke Denpasar untuk proses pameran. Ruangan apartemen itu masih tertata rapi dan bersih. Pihak kebersihan dan keamanan apartemen, selalu merawat dan menjaganya.
Rama teringat Azka. Ia harus mencari tahu Jingga lewat sahabat masa kecilnya itu. Bukankah Azka teman laki-laki terbaik Jingga?
“Azka?”
“Hay Sob, tadi dia bersamaku,”
“Dia siapa?”
“Sahabat masa kecil kita. Perempuan yang sedang menangis di pinggir pantai menghadap Gunung Agung. Merindukan kekasihnya yang menikah dengan perempuan hasil perjodohan kedua orangtuanya,”
“Apakah dia Jingga Anggunella? Kalau iya, ajaklah dia pulang ke Jakarta. Aku menunggunya di sini,”
“Besok aku akan membujuknya,”
“Terimakasih. Semestinya aku menghubungimu lebih awal,”
“Maaf, aku sengaja tak memberitahumu. Aku ingin kau yang mencaritahunya sendiri,”
“Aku mengerti,” Rama mengakhiri pembicaraan di telepon.
Azka memandangi punggung Anggun yang melengkung mendekap lututnya di pasir putih. Sungguh kelam nasib anak gadis itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar