Ini adalah bulan ke tiga setelah Rama menikah. Jingga belum juga mampu melenyapkan secuil pun perasaannya pada laki-laki itu. Namun untuk menyembuhkan patah hati, seseorang perlu jatuh cinta lagi dengan orang yang baru. Pernyataan itu memang benar. Tapi mendapatkan seeorang yang baru, tak semudah mencari permen di warung-warung.
Sedikit demi sedikit, Jingga mencoba membuka celah pintunya yang tertutup untuk Heri. Ia yang semula sering menolak tawaran pulang bareng ataupun makan di restaurant, kini menurut meski dengan hati yang amat terpaksa.
“Sini kuberitahu sesuatu padamu, Jingga. Kau tidak perlu meragukan kesetiaan Heri. Sejak awal kau sering bilang padaku kalau lelaki itu sudah menaruh hati padamu. Rugi sekali yang menjadi mantan istrinya sekarang. Dia mencintai Heri hanya karena harta. Cinta itu tidak sepatutnya memandang materi. Ah, aku juga kalau menjadi Heri, pasti menceraikannya,”
“Entahlah. Aku tidak suka dia sering mengirimkanku sarapan yang dibubuhi salam selamat pagi. Rasanya berlebihan. Aku tidak suka cowok lebay seperti itu,” Jingga sibuk menatap layar komputer.
“Itu namanya romantis, Jingga. Kau ini aneh sekali. Bukankah dulu Rama pernah memperlakukanmu seperti itu? Dan kau selalu berlonjak gembira?”
Jingga terdiam. “Ini beda Livi, Heri bukan Rama. Apapun yang dilakukan Rama aku menyukainya. Karena aku mencintai dia,” katanya dalam hati.
“Tapi kini kau menyukainya, bukan? Ah, kau tidak bisa membohongiku, Jingga.”
“Tidak,” jawabnya dalam hati. Jingga pura-pura tersenyum tipis. Sejujurnya, ia tidak ingin menjadikan Heri pelarian semata. Ia hanya ingin melanjutkan hidupnya. Selain faktor umur, Jingga ingin membahagiakan sang ibu dengan memberikan suami idaman untuk ayah dari anak-anaknya. Sekiranya begitulah manusia meneruskan regenerasinya untuk masa tua mereka kelak.
Heri tidak jelek, juga tidak tampan. Biasa saja. Ia pekerja keras, baik, ramah, sopan, supel, dan berwibawa. Tapi Jingga tak pernah jatuh hati padanya. Banyak wanita yang mencoba mendekatinya, tapi Heri tidak mau. Dia bersikukuh hanya menginginkan Jingga. Gadis bermata sayu itu sangatlah keras untuk ditakhlukan. Wanita seperti Jingga seakan memberikan tantangan terselubung pada setiap laki-laki untuk mendapatkannya. Jingga yang dulu sering menolak diantar pulang dan jalan bersama, kini mencoba menikmati kebersamaan mereka.
Walaupun sering ditolak, Heri tak patah semangat. Ia mencoba bersikap baik dan profesional di dunia kerja. Ia juga tak patah arang melamar gadis itu sekali lagi walau hasilnya akan memalukan dunia persilatan. Anehnya, Jingga mengangguk setuju atas lamaranya. Hatinya seketika berubah menjadi musim semi. Heri tak menyangka akan jawaban langsung Jingga malam itu di pertunjukan teater wayang orang.
“Memangnya kau siap punya atasan baru?” Jingga memecah keheningan. Tangannya berhenti menekan tombol keyboard, menoleh pada Livi yang duduk di meja sebelah kirinya.
“Eh, maksud kau?” Livi mengernyitkan dahi.
“Kalau aku jadi menikah dengan Heri, itu artinya aku harus berhenti kerja. Mana boleh suami-istri bekerja dalam satu perusahaan yang sama. Kau mengerti maksudku, kan?” Jingga tersenyum nakal.
“Eh?” Livi hampir saja salah menuliskan nominal dalam giro. “Kau bicara apa, Jingga? Aku akan menutup mukaku, bilang pada Pak Steven kalau kau dan Heri tetap akan menjadi partner sejati. Partner hidup dan mati, juga pekerjaan. Jangan sembarangan bicara. Kau kan tahu, aku hanya ingin mengabdikan dedikasiku padamu. Kalau kau resign, aku pun ikut resign.” Livi berhenti menulis, mendengus sebal.
“Memangnya kamu berani berhadapan dengan Pak Steven?” Jingga nyengir kuda, asyik melihat wajah Livi yang terlipat. “Kalau atasan dan asisten resign secara bersamaan, apa mungkin diizinkan? Kurasa tidak.” Jingga tertawa. Tawa pertama setelah tiga bulan tarakhir tertimbun dalam kesedihan berlarut-larut. Ternyata menggoda Livi mampu membuatnya terpingkal.
Livi melempar Jingga dengan remasan kertas bekas. Terus membela pendapatnya tanpa titik, tanpa koma. “Pokoknya aku tidak mau kau resign. Apapun alasannya.”
Jingga tertawa lagi. Rupanya, menggoda sahabat lebih lucu ketimbang menonton situs komedi.
**
Sebulan ke depan, Jingga dan Heri sibuk membicarakan gedung pernikahan, gaun pengantin, siapa saja yang akan diundang, memilih cathering mana, dan cinderamata seperti apa. Kedua orangtua masing-masing sudah menentukan tanggal pernikahan mereka. Jingga sebenarnya tak pernah siap menjadi istri Heri. Namun apa mau dikata, umurnya kini sudah menginjak 29. Sampai kapan ia harus hidup sendirian? Sang ibunda terus menagih janjinya untuk segera menikah. Mumpung ada yang mau, atau karena tidak laku? Batinnya menyerah pasrah.
Saat memilih gaun pengantin, sesuatu yang tak diduga terjadi. Mantan istri Heri telepon. Jingga hanya berpikir perempuan itu minta jatah bulanan untuk keperluan sekolah anaknya, atau mengucapkan selamat akan melepas status empat tahun menduda, akhirnya berkeluarga juga. Namun pikirannya melenceng.
“Jingga..” Heri menyentuh bahu Jingga yang asyik menimbang-nimbang kebaya. “Mantan istriku minta rujuk. Katanya dia sudah bercerai dengan suaminya empat bulan lalu. Dia menyesal telah menghianatiku. Apa yang harus kuperbuat?” Dahi Heri tertekuk.
Jingga menelan ludah. Agak terkejut mendengar ucapan Heri. Dia memang tidak memiliki perasaan apapun pada Heri, tapi berusaha untuk mencintainya. Namun ketika belajar mencintainya, lagi-lagi badai menghantam perjalanan cintanya. Jingga mengangkat bahu, tak tahu mesti bagaimana.
“Kau mencintaiku, Heri?” Jingga menatap dalam bola mata Heri.
“Tentu saja. Kenapa kau mempertanyakan itu lagi padaku? Bahkan kau tahu perasaanku semenjak pertama kali aku melihatmu di ruang meeting empat tahun yang lalu. Sampai saat ini tidak berubah sedikitpun.”
“Aku tahu itu,” Jingga menarik napas. “Maka kembalilah pada mantan istrimu, anakmu lebih membutuhkanmu daripada aku,”
“Hei, aku bisa membawa anakku. Dan kita hidup bertiga.”
“Tidak, anakmu tidak membutuhkanku, melainkan membutuhkan ibu kandungnya. Kalian memang ditakdirkan untuk hidup bersama,”
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu,” Heri bersedekap.
Pelayan butiq yang menyadari Jingga dan Heri sedang berselisih, bergegas menghindar untuk tidak menguping lebih jauh pembicaraan kliennya.
“Terus terang, kemarin istrimu datang menemuiku di apartemen. Dia menangis memintaku untuk mengizinkannya menjadi istri keduamu. Maaf, aku belum sempat menceritakannya padamu. Saat itu aku tak bisa berpikir apa-apa selain diam. Rasanya aku tidak tega membagi dua hati. Aku memang tak pernah siap menjadi pasanganmu, Heri. Kembalilah padanya. Aku akan baik-baik saja, percayalah..” Kalimat itu terucap untuk kedua kalinya setelah ia meminta Rama menikahi perempuan pilihan orangtuanya tiga bulan lalu.
**
Seminggu berlalu setelah perselisihan dengan Heri di butiq pengantin, Jingga merasa hidupnya luntang-lantung tidak jelas. Ia bingung bukan main bagaimana caranya menjelaskan pada sang ibu kalau pernikahannya dengan sang duda sukses beranak satu gagal total. Ninda – adik Jingga sibuk bertanya apakah gaunnya sudah sesuai ukuran bentuk tubuhnya atau belum.
Jingga melambaikan tangan, berusaha menampik semua bayang-bayang rencananya yang suram. Ia membuka web cam di laptop, dan mulai berbicara panjang lebar dengan kakak angkatnya, curhat.
Lagu Red milik Taylor Swift berdering dari ponsel Jingga yang tergeletak di dekat bantal. Jingga melirik nama di layar ponselnya. Telepon dari Heri.
“Jingga, aku akan menuruti permintaanmu. Aku harap kamu tidak menyesalinya. Kamu masih punya waktu empat hari lagi untuk berpikir ulang.”
Jingga menggeleng. Menyuruh laki-laki berambut kilimis itu menikah ulang dengan mantan istrinya. Ia sudah benar-benar yakin akan keputusannya. Sebagaimana yang disarankan kakak angkatnya. Kehilangan Heri bukanlah sesuatu yang menakutkan dibandingkan kehilangan Rama. Namun tetap saja, hatinya yang masih rapuh kian rapuh saja. Kepingan hatinya berhamburan kemana-mana. Belum lama ia berjuang merawat sesak dadanya karena kehilangan Rama, dan mungkin belum sembuh hingga detik ini. Kini, ia harus siap menahan malu pada semua tamu undangan atas pernikahannya yang batal.
Atas saran kakak angkatnya pula, Jingga berani menemui ibundanya di kampung halaman, berkata bahwa ia tidak jadi menikah dengan Heri. Sang ibunda yang sudah terlanjur berkoar-koar pada tetangga kiri-kanan, depan-belakang, bahwa anak sulungnya akan menikah, melipat muka. “Mau di kemanakan wajah ibu, Nak? Memangnya pernikahan itu permainan?”
Jingga terdiam.
Ninda dan Bibi Jingga yang saat itu ada di ruang tamu juga terdiam.
**
Jingga tak ingin terus-terusan menangisi hari-harinya yang pilu. Ia harus profesional menjalani rutinitas seperti biasanya di kantor, apartemen, dan menjaga persahabatannya dengan teman lama, serta memperbaiki hubungannya yang merenggang dengan sang ibunda.
Pagi ini Jingga sudah masak kembali. Ia lebih produktif dari hari-hari sebelumnya. Hatinya memang masih kalut, tapi ia tak mau menangisi nasibnya yang malang lagi. Air matanya sudah kering karena dikuras habis-habisan. Livi dan Juna sering mengajaknya berjalan bersama mengusir gundah yang tak berkesudahan.
Menyibukkan diri. Itulah yang acapkali dilakukan Jingga untuk menutupi kesedihan hatinya. Biarpun tak banyak membantu kemurungannya, namun setidaknya bisa melupakan secuil saja rasa sedihnya. Jingga mencoba fokus pada setiap pekerjaan yang memabukkan kepala. Ia harus bersikap sewajar mungkin bila berpas-pasan dengan Heri di kantor, kantin, dimanapun itu. Sesuatu yang amat menyesakan dada tiap kali harus menerima kenyataan bahwa orang yang dulu menginginkannya, kini bersikap dingin dan menganggapnya seperti angin lalu. Ingin rasanya Jingga mengundurkan diri dari pekerjaannya pada hari itu juga. Namun Livi mengingatkan untuk selalu bersikap profesional.
**
Sedikit lagi Rama berhasil mengukir wajah Jingga di kertas putih berukuran besar. Akhirnya ia bisa menyelesaikan lukisan yang tak pernah usai itu. Perasaannya pada gadis itu belum berubah sedikitpun. Dipandanginya lukisan itu lamat-lamat, betapa sedunya wajah Jingga ketika dilihatnya terakhir kali di Bandara Ngurah Rai. Hatinya mendadak sakit mengingat kejadian itu. Jingga tak mencintainya. Dia bahkan menyuruhnya untuk menikahi gadis lain yang tidak ia cintai.
Namun saat asyik menatap lukisan wajah Jingga, ada tangan yang dengan kasar merobeknya. Kilka. Istrinya yang sangat membenci Jingga.
“Aku istrimu, Rama. Kenapa kau tidak pernah mau menghargaiku? Kau belum sekalipun menyentuhku. Kau lebih memikirkan perempuan itu dibandingkan aku yang setiap hari melayanimu membuatkan sarapan, makan siang, makan malam, mencuci bajumu, membereskan semua peralatanmu. Kau jahat sekali!” Hinanya pada Rama.
“Lantas kenapa kau merobek lukisan yang susah payah kubuat? Apa urusannya denganmu?” Rama beringas bangkit dari tempat duduknya. Ia memaki Kilka dengan hati yang terluka. Tahu apa Kilka tentang perasaannya selama ini?
“Tega sekali kau memarahi istrimu sendiri, Rama? Aku merobeknya karena benci pada gadis itu. Gadis yang sudah menghipnotismu untuk memperlakukan aku seperti patung.”
“Cukup, Kilka! Kau memang istriku, tapi aku tak pernah mencintaimu. Seharusnya kau berterimakasih padanya karena dia sudah memaksaku untuk menikahimu. Padahal dia tahu aku sama sekali tidak mencintaimu,” Rama memungut potongan kertas yang berceceran di lantai.
“Aku ingin kita cerai,” Kilka membuka lemari, mengemasi pakaiannya. “Aku tak kuat lagi hidup bersama orang angkuh sepertimu,”
“Pergi saja! Dengan senang hati. Karena aku tak akan mampu menjadi suamimu yang baik seperti yang kau inginkan. Kau tidak akan pernah hidup bahagia denganku. Satu hal yang perlu kau tahu, Kilka, aku menikahimu karena permintaan gadis itu, gadis yang kau benci, gadis yang wajahnya ada dalam lukisanku yang kau robek-robek ini. Mengerti kau?” Rama mencari solasi bening, menyatukan kembali potongan robekan kertas dengan hati yang pedih.
“Kau juga boleh melaporkanku kepada ayah dan ibuku, pada kedua orangtuamu, pada tetangga, teman, saudara, semuanya. Tapi kau tak berhak mengait-ngaitkan gadis yang ada dalam lukisanku. Lukisan gadis ini sudah pernah kubuat sebelum aku bertemu dengannya. Kalau kau mau pergi, silakan. Aku tidak akan menahan. Besok pagi aku akan mengurus surat perceraian kita.” Wajah Rama merah. Ia benar-benar marah.
Kilka menangis, menenteng tas dan pergi meninggalkan Rama yang memerah karena marah. Saat mentari pagi bersinar, Rama mendatangani kantor urusan agama. Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, bila segenap rasa dan jiwa mengapung pada senyum manis wajah gadis yang selama ini ada di hatinya, menguasai semua pikirannya. Perpisahan dengan Kilka membuat hatinya senang karena dia tak akan menyiksa perempuan itu dengan sikap dinginnya lagi.
Mendengar kabar perceraian anaknya, ayah Rama jatuh sakit dan harus masuk ICU selama berhari-hari. Ibu Rama memohon agar Rama membatalkan perceraiannya. “Kau ini memalukan keluarga saja, Rama.”
Tapi Rama bersikeras menolak rujuk. Ia tak peduli lagi dengan semua ini. Lebih baik masuk ke perut bumi daripada harus menjalani kehidupan secara terpaksa dengan perempuan yang sama sekali tidak dicintainya. Bukankah cinta datang karena terbiasa? Ungkapan itu tidak berlaku bagi Rama. Selama tiga bulan mengarungi bahtera rumah tangga, sikapnya dingin pada Kilka. Bahkan pada saat Kilka memancing birahinya agar Rama menggaulinya. Rama tetap dingin. Ia sering menghabiskan waktu dengan lukisan atau singgah ke rumah neneknya yang sudah sepuh. Tiap kali bertemu Kilka, Rama merasa perempuan itu tamu tak diharapkan, melongos begitu saja tanpa sedikitpun saling bicara.
Awalnya Kilka bersabar menghadapi sikap dingin Rama, mencoba menyesuaikan diri dan berusaha membuatnya jatuh cinta, sayangnya Rama sama sekali tidak mencintainya.
**
“Kau masih ingat Anggun kan? Dia akan menikah minggu depan dengan atasannya,”
“Anggun?” Rama nampak berpikir keras.
“Iya, sahabat semasa kecil kita, Jingga Anggunella. Dulu kalian berdua sering bertengkar. Dan aku selalu sibuk melerai,” ungkap Azka di sudut lorong rumah sakit saat menjenguk ayah Rama yang terbaring karena penyakit jantung koronernya kambuh.
“Jingga Anggunella?” Dahi Rama terlipat.
“Sudahlah, mungkin kau sudah lupa. Dia sekarang tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Tapi, galak dan jutek seperti dulu. Dan mungkin sudah tak ingat lagi padamu.” Azka tertawa.
“Jingga?”
“Nah, Jingga itu panggilannya sekarang. Apa kau mau mengantarku ke pesta pernikahannya nanti? Empat hari lagi. Ah ya, pastinya dia amat menyesal terlambat bertemu denganmu. Dia kan masih dendam padamu. Seandainya Tuhan mempertemukanku dengan dia, akan kubalas dendam ku, lihat saja, katanya. Sebentar, belum lama ia mengirimkan fotonya via chat. Ini dia, cantik bukan? Katanya biar aku tidak salah orang saat menyalaminya di pesta pernikahannya nanti,” Azka menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.
Rama kaget bukan kepalang melihat sesosok gadis berambut ikal nan panjang yang mengenakan blazer biru muda, sedang duduk bersama Livi. Tidak pelak lagi, sahabat masa kecil yang dibicarakan Azka merupakan gadis bunglonnya yang amat ia sayangi. Jingga Anggunella.
“Kau mengenalnya?” Azka membuyarkan lamunan Rama.
“Sialan kau, Azka. Kenapa kau bilang Anggun- gadis kecilku buruk rupa? Kenapa pula kau tak pernah bilang kalau sejauh ini kalian masih berhubungan baik? Kau memang keterlaluan.”
Otak Rama memutar rekaman 19 tahun silam, saat dirinya pamit pada Anggun.
“Aku akan pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Pokoknya pergi jauuuuuuhhhhh sekaliiii…”
“Memangnya sejauh apa?”
“Aku tidak tahu. Kau tanya saja pada ayah dan ibuku. Dasar banyak tanya.”
“Kalau kau mau pegi, pergi saja. Kenapa harus bilang padaku?”
“Karena kau pasti akan merindukanku.”
Jingga terdiam. “Aku tidak sudi merindukan teman jahat sepertimu.”
“Heh, Anggun, kau ini memang menyebalkan. Aku pun tak sudi merindukan teman egois sepertimu. Di sana aku akan mendapatkan teman perempuan yang jauh lebih baik, dan yang jelas tidak sepertimu.” Rama berseru-seru sebal, kemudian berlalu meninggalkan Jingga yang berdiri di samping Azka.
Jingga melotot meladeni caci maki Dewa, menyaksikan punggung musuhnya yang menjauh. Sementara Azka menepuk bahu Jingga menyuruhnya bersabar.
Saat itu Jingga naik ke kelas lima sekolah dasar (SD), sedangkan Rama dan Azka baru merayakan kelulusannya dan sebentar lagi masuk sekolah menengah pertama (SMP). Sesungguhnya gadis berkuncir dua itu tidak ingin Rama pergi. Tapi apa daya. Ia hanya anak kecil bau kencur yang tak dapat berbuat banyak hal selain menangis. Azka yang merupakan teman sekelas Rama, menepuk bahu Jingga agar tidak bersedih. Namun di kamar, Jingga benar-benar menangis. Tak rela musuh besarnya pergi meninggalkannya. Siapa yang akan diajaknya berkelahi lagi? Ditinggal lulus sekolah saja, hati Jingga sedih minta ampun, apalagi ditinggal pergi ke tempat yang jauh dalam kurun waktu yang tak tentu?
Saat Rama memasuki usia remaja, ia sering bertukar kabar dengan Azka melalui surat. Bercerita tentang kehidupan barunya di Pulau Dewata, kecintaannya pada melukis, dan bosan melihat bule. Rama juga sering bertanya bagaimana perkembangan Jingga. Ia bilang pada Azka kalau di tempat barunya kini, tidak ada wanita menyebalkan macam Anggun yang bisa digodanya, diajak berkelahi, dan membuatnya menangis tersedu-sedu. Azka tertawa membaca surat Rama. Ia pun segera membalas surat Rama yang baru akan tiba di tempat tujuan selama berminggu-minggu. Maklum, zaman dulu kemajuan teknologi belum secanggih sekarang. Dalam surat Azka, ia hanya bercerita sekadarnya tentang Anggun, pun tak pernah sekalipun menyampaikan ucapan rindu dan salam Rama untuk Anggun.
“Aku mengerti perasaanmu, Sob. Temuilah dia untuk yang terakhir kalinya sebelum ia menikah. Dan aku mohon jangan membikin ulah,” Azka menepuk pundak Rama.
Rama tak menjawab. Ia menepis tangan Azka dan langsung bergegas pergi meninggalkannya seorang diri di lorong rumah sakit. Ia bahkan tak pamitan terlebih dulu pada ibunya. Ia juga tak peduli dengan penyakit ayahnya. Sejauh ini ayahnya hanya ingin dihormati tanpa mau menghargai perasaannya. Seorang anak bebas menentukan pilihannya sendiri. Rama sudah dewasa, ia bukan anak kecil yang bisa diatur-atur lagi.
Kalau memang menurutmu takdir ini begitu kejam, harusnya dia tidak perlu dipertemukan dengan Jingga. Tuhan tidak perlu ikut campur dan membubuhkan perasaannya pada gadis bunglon itu. Hatinya benar-benar perih. Tapi ingat ya, kita hanya dalang, tak boleh menawar peran.
Mendengar kabar mengejutkan tentang Jingga yang akan menikah empat hari lagi, Rama berlari menuju lift, berlari lagi menuju parkiran mobil. Dan bergegas menuju Pelabuhan Gili Manuk menggunakan kendaraan roda empatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar