Kamis, 04 Agustus 2016

Kondangan dan Taksi Ajaib ala Flowers #TrueStories #Flowers #Cerpen

“Kalian sudah di mana? Gue hampir lumutan nunggu di sini.” Aku membenarkan posisi dudukku, memperhatikan dua laki-laki yang gerak-geriknya mencurigakan sedari tadi.

Siang ini cuaca amat terik. Menimbulkan buih-buih keringat di pelipis dan leherku. Rencananya aku dan keenam sahabatku akan kondangan ke tempat Yuni, teman satu kampus kami. Seperti yang sudah-sudah, setiap acara kondangan ke teman satu kampus, kami bertujuh patungan uang untuk membeli kado. Biarlah Vitri, Nia, dan Zaky yang mengurus. Aku hanya mendukung saja.

“Sebentar lagi, Ei. Kita lagi on the way ke sana. Naik Taksi.” Nia membalas chatku.

“Plat Taksinya nomor berapa?”

“Aduh, mana sempat gue lihat. Posisi lo dimana? Biar kita yang samperin.”

Aku menjelaskan panjang lebar sesuai posisiku saat ini. Kedua tanganku mendekap tas, takut-takut ada rampok, mengingat kolong Bunderan Slipi rentan dengan tindak kejahatan. Sebelum memutuskan untuk menunggu di tempat ini, kami sempat bersitegang di grup chatting. Susah sekali mengumpulkan tujuh kepala yang berbeda pendapatnya. Alhasil, lebih baik aku mengalah menunggu di persimpangan jalan.

Satu Taksi biru merapat ke arahku. Aku melongok melihat isinya. Siapa tau itu rombonganku. Nia dari dalam melambai-lambaikan tangan. Membuka pintu menyuruhku masuk. Aku celingak-celinguk ke belakang, mencari satu Taksi lagi.

“Kita cuma nyewa satu taksi, Ei. Ayo cepetan masuk. Nanti keburu ada polisi,” Nia menggeser duduknya agak ke tengah. Lebih tepatnya dipangku Zaky. Aku menganga lebar, “Apa? Satu Taksi?”

“Ini muat nggak? Bukannya kesepakatannya mau nyewa dua Taksi?”

“Muat-muatin ajalah, Ei. Lagipula kalau pakai dua Taksi takutnya malah berpencar.”

Aku mendengus tak berkomentar. Berimpitan dengan Nia, Zaky, Vitri, Tiur, dan Tya, semakin membuatku gerah. Sementara Puji duduk di depan menemani pak supir yang sedang bekerja, mengendarai mobil supaya baik jalannya. Sebenarnya dia mau menyilakanku duduk bersamanya, agar Nia tidak perlu dipangku Zaky segala. Tapi pak supir bilang, nanti takut kena sanksi polisi kalau di depan penumpangnya lebih dari dua orang.

Nah loh! Aku mendesis untuk ke sekian kalinya. Tubuhku terjepit tidak keruan. Mirip pepes pindang yang siap diobral di pasar.

“Aduh, dandanan gue luntur nih kena Indriani.” Zaky komplain karena mascaranya menipis. Nia tertawa saja menanggapinya. “Lu kecil-kecil berat juga, Indriani. Turun-turun dari taksi, gue langsung langsing.”

“Bagus donk, Jek, jadi gak usah diet-dietan. Hahaha” Nia memanfaatkan keadaan duduk sepuasnya di paha Zaky dan Tya. Tya pasrah menerima keadaan.

Tiur hanya membalas dengan tawa meledak-ledak. Dres anggunnya seketika tidak beraturan. AC sudah tidak ada rasanya. Vitri yang posisinya paling pinggir, jauh lebih kasihan tergencit. Ia tidak bisa berkutik lagi. Meskipun dongkol, aku juga ikut terbahak, menertawai kekonyolan sahabat-sahabatku ini.

“Lo udah lama nunggu, Ei?” Vitri membuka obrolan.

“Dari jam 10 gue udah nangkring di situ. Pegel tau nunggu kalian sejam lebih. Mana panas banget.” Seruku kesal.

“Nih, Tante Tya ngaret, Ei. Kita nungguin dia lama.” Zaky mengomel lagi.

“Maaf, ya, semuanya. Aduh, ini gue dari Depok, tempat kakak gue, Tadi mampir sebentar ke kosan ambil tas. Sorry ya Jeng-Jeng…” Tya mengelus satu per satu lengan manusia di dalam taksi ini.

“Nggak bisa gitu, Tante. Pokoknya nanti kena denda. Dandanan kita luntur nih gara-gara nungguin lo doang.” Nia memasang wajah super galak.

Tya mengusap hidungnya yang berkeringat, wajahnya pura-pura memelas.

Semua tertawa lagi. Pak supir yang mendengar keributan, hanya mengintip dari spion. Puji ikut menoleh, tertawa. Biasanya supir taksi tidak mau menerima jumlah manusia sebanyak ini ke dalam mobil argonya. Tujuh orang adalah jumlah yang banyak sekali. Tapi berhubung bapak supir orangnya baik hati dan tidak sombong, maka kami diberikan kesempatan menumpanginya secara beramai-ramai.

**

“Ei sama Tya gak ikut belanja nih, bawain kadonya! Berat tahu.” Vitri mengeluarkan plastik extra large dari dalam bagasi, mengikuti perangai Zaky. Nia membayar upah Taksi, sedangkan Tiur dan Puji menutup mata dengan tangan. Tampaknya mereka silau kena pantulan sinar matahari. Atau, takut mendadak hitam legam terbakar teriknya.

“Ini apa? Bed Cover?” Aku menerima plastik bersisi kado kotak tidak kalah besar untuk mempelai pengantin.

Sudah menjadi kebiasaan lumrah bagi kami membagi tugas. Aku tidak ikut berbelanja karena sedang ada urusan di rumah. Begitupun dengan Tya yang sedang berkunjung ke rumah kakaknya di kawasan Depok. Ini adalah isi kado yang sama untuk ke tiga kalinya, setelah kondangan ke Yana dan Siti.

Udara siang terasa semakin terik. Kaki kami sudah menginjak gedung pernikahan Yuni, mengisi buku tamu, lantas menyerahkan kado besar pada petugas pencatat tamu. Zaky yang mewakilkan menulis nama kami bertujuh.

“Suvenirnya mau gelas permen atau foto?” Pencatat tamu itu bertanya.

“Kalau dua-duanya tidak bisa ya?” Aku balik bertanya.

“Bisa. Hanya fotonya satu beramai-ramai.”

Aku berembuk sebentar dengan enam sahabatku. “Gimana?” Kami saling mengangguk dengan bahasa tubuh. Hanya aku dan enam sahabatku yang mengenali bahasa tubuh tersebut.

“Ya udah deh, Mba, kita pilih dua-duanya saja,”

“Kalau begitu, ini kupon untuk fotonya. Dan ini gelas permennya masing-masing orang kebagian satu, ya,” Mba Penerima tamu memberikan satu kupon foto untuk Nia dan tujuh gelas permen pada kami.

Gedung pernikahan semarak dengan tamu-tamu undangan. Musik melantun merdu memenuhi ruangan. Bunga berwarna-warni terpampang indah di setiap penjuru pintu. Eksotis. Mempelai wanita cantik sekali. Kamipun mendekat bersalaman, mengucapkan selamat dan cium pipi kiri-pipi kanan.

“Makasih ya udah datang. Komplit lagi, bertujuh.”

“Iya, Mbak Yun. Rasanya senang bisa berkesempatan datang ke tempat bersejarah ini. Cantik sekali dirimu.”

“Ah, Ei bisa saja. Kalian langsung makan saja di paresmenan. Nah, di sebelah kanan ya.” Yuni menunjuk meja makan panjang dengan tersenyum sumringah. Aku tidak bohong mengatakan bahwa dia hari ini terlihat jauh lebih cantik.

Setelah bersalaman, kami bertujuh langsung menyerbu makanan. Tepat sekali tiba gedung pukul 12 siang. Perutku sudah keroncongan.

“Kalian mau makan apa?” Mataku mencari-cari es krim. Tidak ada.

“Makan nasi aja biar kenyang.” Nia mencomot piring, sendok, garpu, dan isinya. Disusul Zaky, Vitri, Puji, Tya, dan Tiur. Aku mengekor paling belakang.

“Di sini gak ada es krim, Ei.” Vitri yang hafal betul gelagatku menyergah bangku kosong. Kami duduk berpencar, sibuk dengan makanan masing-masing yang kini ada di pangkuan kami. Hanya aku dan Vitri yang duduk bersisian.

Dimana pun berada, es krim adalah sasaran favoritku. Teringat setahun yang lalu saat menghadiri wedding party Lina, teman kampus kami juga. Saat makanan tandas di piring, kami bertujuh langsung menyerbu es krim yang sejak kami datang sudah menggiurkan lidah untuk menyecapnya.

“Kayaknya cuma nyampe kerongkongan ini mah.” Zaky menyeletuk asal, tangannya menjilati sendok es krim yang sudah tidak berasa.

“Gue gak puas nih, sumpah.” Nia meletakkan tempat es krim yang berukuran mini itu ke bawah bangku.

Tanpa basa-basi, aku mengompori enam sahabatku untuk nambah lagi. Dan di sana kami berjejer mengantri es krim untuk kedua kalinya. Tidak peduli semua mata memandang risih. Pelayan es krim hanya manut menuangkan krim ke tempat mini itu. Membuatku tidak sabar untuk menghabiskannya satu loyang penuh.

“Dulu kita pernah malu-maluin di acara nikahannya Lina. Gue sebenernya bingung mau taruh dimana lagi muka gue saat itu. Tapi jujur gue juga gak bisa ngelewatin es krim di depan mata. Meski hanya sesendok tok.” Vitri tergelak mengenang masa itu.

Aku juga sudah sedari tadi senyum-senyum sendiri mengingatnya. Kami laiknya anak kecil yang tidak bisa kehilangan momen es krim gratisan.

Ruangan makan semakin ramai dengan suara sendok dan garpu yang mengenai piring. Juga tawa dan bincang-bincang tamu lainnya. Aku dan Vitri sudah mengenyahkan seluruh makanan di piring ke dalam lambung. Saatnya untuk cuci mulut.

“Mau ke buah, kan? Gue ikut.” Zaky beranjak dari duduknya, menarik lenganku merengek minta diajak. “Sayangnya gak ada es krim di sini. Gue sudah mendamba-dambakan dari sebelum berangkat.”

“Gue sama Ei juga udah ngebayangin pesta es krim di sini. Tapi emang gak ada, mau gimana lagi. Nanti beli sendiri ajalah di rumah masing-masing. Hehe…” celetuk Vitri.

Saat aku, Vitri, dan Zaky mengerubungi ruang cuci mulut, Nia, Puji, Tiur, dan Tya sudah berbaris di belakang. Amboi, makanannya banyak sekali. Ada puding coklat, puding peach, kue bolu, aneka buah-buahan, dan minuman ringan lainnya. Seketika mataku mengerjap-ngerjap ingin mengambil semuanya.

Zaky dan Nia berebut garpu, tertawa mengambil makanan kesukaan mereka, yakni puding coklat. Tiur, Puji, dan Tya terlihat kerepotan menggenggam segelas sirup di tangan kiri mereka, dan piring kecil di tangan kanan berupa potongan buah melon dan semangka. Sedangkan aku dan Vitri sudah hinggap ke beberapa tempat mencicipi kue cubit.

“Eh, Nia, bantuin gue dong… Kenyang banget nih gue.” Zaky bekerja keras menghabiskan setengah potongan puding di piringnya. Nia melotot, suruh siapa ambil banyak-banyak, demikian maksudnya. Aku sendiri rasanya ingin muntah karena saking penuhnya perut oleh makanan.

“Habis ini kita foto-foto.” Vitri mengambil selembar tisu dari meja paresmenan, mengelap mulutnya yang belepotan.

Kami bertujuh menghampiri sesi pemotretan. Zaky merogoh tas selempangnya, mengeluarkan bedak dan lipstik. Warna merah di bibirnya memudar. Begitupun dengan bedaknya yang sudah luntur. Nia tidak mau kalah, meski ia cewek cuek yang tidak mementingkan makeup, namun kali ini dia berusaha sefeminin mungkin di depan kamera.

“Gue pinjem sisirnya dong, Ei…” Vitri menungguku yang sedang asyik menata rambutku helai demi helai.

Setelah memastikan sudah tampil cantik, kami bertujuh antri untuk seksi pemotretan. Dengan tingkah yang terus pecicilan tidak mau diam, akhirnya tibalah kami menjadi model terkenal. Nia menyerahkan kupon pada fotograper. Kamipun beraksi di atas panggung dengan gaya yang jauh dari pantas sebagai artis dadakan.

“Lah, koq tiga, Bang? Bukannya kami hanya mendapat satu kupon?” Aku kaget saat tukang foto memberikan tiga lembar hasil jepretan, katanya bonus. “Kalau begini caranya pasti ada yang iri, Bang.” Aku melipat dahi.

Aku dan keenam sahabatku turun panggung dengan nada kecewa. Kalau hanya tiga foto, lantas empat yang lainnya harus rela gigit jari.

“Ei, coba lo ngomong sama abangnya bisa diprinin lagi gak? Kan lo jago ngomong tuh!” Nia memberikan usul.

Ada benarnya membujuk sang fotograper, siapa tau kami bisa bawa pulang satu-satu. Dan akupun melangkah mendekati payung yang disorotkan lampu kamera. “Bang, apakah kami bisa cetak empat foto lagi? Kami kan ada tujuh orang, sedangkan tadi Abang memberikan tiga lembar jepretan. Kasihan yang gak dapet.”

Sang Fotographer berpikir sejenak. Tumpukan antrian sesi pemotretan bertambah panjang. “Kalau mau, si Neng baris lagi di belakang.” Mas fotograper kembali sibuk memberi aba-aba pada artis dadakan di panggung.

Aku melangkah antusias memberikan kabar baik pada sahabat-sahabatku, “Kita baris lagi di belakang.”

“Boleh, Ei?” Nia tertawa penuh kemenangan.

Kami berbaris lagi di belakang antrian. Bedanya tidak seperti antrian pertama. Kali ini tidak ada yang mengeluarkan cermin, bedak, lipstik, dan sisir. Kejadian ini mengingatkanku pada saat mengantri es krim kedua kalinya di acara kondangan Lina. Aku menggeleng-geleng. Sungguh memalukan. Aku dan keenam sahabatku laiknya orang ndeso yang haus akan jepretan kamera.

Semua mata memandang heran. Kami tidak peduli. Kameramen berbaik hati memberikan empat jatah foto lagi. Dengan gayanya yang khas, ia memberikan aba-aba, dan kami pun tersenyum lebar. Tujuh anak manusia ini selalu membuat rusuh di manapun berada.

Chees…

Empat jeperetan keluar dari mesin otomatis itu. Aku tersenyum lebar.

Akhirnya kami memegang hasil jepretan satu-satu, melambai-lambaikan membiarkannya kering. Setelah pamitan pada kedua mempelai dan keluarga pengantin, kami bertujuh berlenggak-lenggok keluar gedung, melewati penjaga buku tamu. Lihatlah, penjaga buku tamu itu terbengong-bengong melihat kami memegang foto di tangan kami. Bukankah jatahnya satu untuk beramai-ramai? Suka-suka kita, dong, syirik aja!

Tanpa rasa berdosa sedikitpun, kami terus tertawa hingga di luar gedung pernikahan, menertawai sikap kami yang tidak tahu malu. Kadang kebahagiaan tak dapat diukur hanya dari tingkat usia dan kedewasaan. Inilah rasa bahagia sejati sesungguhnya. Tertawa-tawa tanpa memikirkan hal apapun kecuali kekonyolan kita.

Selepas kondangan, kami duduk beralaskan rumput di bawah pohon rimbun, kemudian menyetop taksi yang sudi menampung kami bertujuh dalam satu angkutan. Ajaib, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar