Ada banyak serentetan kisah pilu yang berputar-putar di kepalaku. Lucu. Kadang aku suka tertawa sendiri mengingatnya. Laki-laki itu bernama Bombom. Panggilan sayang yang kulayangkan padanya. Karena bertubuh tambun dan tinggi besar, aku kadang memanggilnya si kasur empuk. Perkenalan yang tidak sengaja di sebuah bengkel motor, membuahkan benih-benih cinta antara aku dengan dia.
Dia tidak tampan, tapi aku menyukainya. Katanya orang gemuk seperti dia tidak akan kuat berjalan kaki sejauh satu kilometer. Jangankan 1 km, kuajak mengejar bus tujuh meter saja dia sudah melambaikan tangan. Tapi aku menyukainya.
Bombom tipikal cowok romantis. Bagaimana tidak, dia tak pernah absen membawakanku kejutan. Awal tahun 2012, dia memberikan boneka Modo–simbol Seagames yang kebetulan saat itu diadakan di Indonesia. Aku memang ingin sekali boneka itu sejak dulu, namun sayang tidak diperjual-belikan di tempat umum. Hingga akhirnya aku mendapatkannya dari Bombom.
“Kamu selalu tahu apa yang kumau,” kataku.
“Karena aku sayang kamu, Jesie. Semua pikiranmu terbaca olehku,” ujarnya gombal. Oh iya, Bombom juga pernah memberikanku sekuntum bunga mawar. Aduh, romantis, bukan?
Sebulan berikutnya, ia mengenalkanku pada kedua orangtuanya di daerah Bekasi. Saat itu ibunya sedang terkapar di rumah sakit karena penyakit diabetes. Kesan pertama yang kudapat saat bertemu dengan orangtuanya, aku merasa gemetar. Ayahnya yang seorang HRD di perusahaan TBK, wajahnya cukup sangar. Namun Bombom bilang, aku pasti bisa meluluhkannya.
Apakah kedua orangtuaku setuju seorang plankton berjalan dengan Tinky Winky? Jangan ditanya. Mereka selalu tersenyum bila Bombom bertandang ke rumahku, menenteng dua kotak martabak dan buah durian montong berukuran jumbo. Barangkali itulah siasatnya untuk menakhlukan hati keluargaku.
Tiga bulan pertama, hubungan kami sangat baik. Di tengah kesibukanku sebagai wanita kantoran, aku selalu menyempatkan diri bercakap-cakap dengannya melalui telepon. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itulah yang terjadi. Saat pulang kerja pun, aku dan Bombom masih bertukar cerita di kawat selular tanpa kabel. Bercerita ngaler-ngidul dan berakhir saat mata butuh dipejamkan. Serta memulai kembali perbincangan saat mata terbuka di pagi buta.
Selalu ada cerita seru yang kami lontarkan satu sama lain. Rasanya aku teramat sangat bahagia memiliki kekasih seperti dia. Selain perhatian, Bombom mudah sekali membuatku tertawa.
Semua masih baik-baik saja, sampai masalah pertama di bulan keempat pun muncul. Di mana kami bertukar ponsel sebagai wujud kepercayaan. Awalnya dia menolak, karena untuk apa saling percaya kalau harus membuat peraturan yang rumit. Hal itu malah membuatku curiga. Agar dia mau memberikan ponselnya, aku mengancamnya putus. Kata putus pertama yang kuajukan padanya.
"Papah, bagaimana keadaan Mamah? Bunda khawatir. Bolehkah Bunda menjenguk?" - From Indah.
Deg.
Jantungku remuk seketika membaca pesan yang tersangkut di trash ponsel Bombom.
"Sayang, nanti sore kamu mampir ke rumahku, kan? Kamu sudah janji lho, jangan pura-pura lupa lagi. Aku kangen banget sama kamu."
Perempuan bernama Dian merengek ingin bertemu.
Aku menarik napas. Siapa lagi wanita ini? Pikirku jengkel. Untuk membahas masalah ini, aku harus bertemu Bombom sesegera mungkin. Titik.
Minggu pukul sepuluh pagi, Bombom menjemputku di rumah. Aku sudah bersiap sejam yang lalu menunggu kedatangannya. Hari ini adalah awal pertengkaranku dengan Bombom. Aku tak banyak bicara dan menjaga jarak dudukku dengan dia yang sengaja kuganjal dengan tas selempang di tengahnya.
“Kamu kenapa sih? Aneh banget. Pegangan ke pinggangku, nanti jatuh,” ucapnya dengan nada bingung.
Aku diam saja, malas menjawab. Nama Indah dan Dian terus menggelayut dan berputar-putar di otakku laksana angin puting beliung. Aku benci nama perempuan-perempuan itu. Sesak hati, aku memberanikan diri memulai pembicaraan. “Tolong jelaskan padaku siapa Indah dan Dian?”
Bombom menoleh dan memelankan laju motornya. “Siapa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Sudahlah, jangan mengeles macam bajaj. Aku tahu apa yang kau sembunyikan dariku.”
Bombom menepikan motornya di depan mini market. “Kamu tidak membawa jamuan untuk keluargaku, Jesie?” Bombom malah mengalihkan pembicaraan.
Aku terdiam, malas menjawab. Hatiku sedang dilanda kebakaran, kenapa pula dia mencoba memberikan angin. Aku butuh air untuk memadamkannya, bodoh sekali kau ini. Makiku kesal dalam hati.
“Bombom, kalau kau tidak mau menjelaskan, biar aku pulang. Aku tidak jadi menemui orangtuamu. Sini, kembalikan ponselku! Aku juga bisa berselingkuh dengan laki-laki lain. Memangnya kamu saja. Dan kita PUTUS!”
Bombom memicingkan matanya padaku. Ini adalah pernyataan pembubaran barisan kedua yang kugugat untuknya. Seandainya di sana ada benda pecah beling, mungkin sudah kulempar benda itu ke jalanan. Deras hujan yang mengguyur ibu kota, menyibak rasa sakitku akan cinta yang terkhianati. Bukankah Bombom hanya mencintaiku? Hanya menyayangiku seorang? Bohong! Di belakangku, dia menggandakan cintanya pada dua perempuan sekaligus. Dasar buaya darat.
Dua hari dua malam aku tak menggubris pesan singkat dan telepon dari Bombom. Dia mengatakan bahwa ibunya masuk kembali ke rumah sakit karena penyakit diabetesnya kambuh. Aku tidak membalas pesannya. Malas. Hatiku sedang terselimuti kabut cemburu. Aku amat membencinya. Di dalam angkutan umum, aku menyeka air mataku, tidak peduli penumpang lain memperhatikan. Di perjalanan sepulang bekerja, Bombom lagi-lagi meneleponku. Ini panggilannya yang ke-23. Aku tidak jua menjawab. Tubuhku yang lelah, kusandarkan pada punggung jok metro mini yang keras dan karatan.
Tetapi mataku terlonjak saat menatap layar ponsel bertuliskan nama ayah Bombom. Mau tidak mau, aku terpaksa mengangkat. Dengan berlinang air mata dan dada yang amat sesak, aku mencoba menyamarkan tangisanku. “Halo, Om.”
“Halo, Jesie. Aldo bilang kau tidak mau mengangkat teleponnya. Kalian bertengkar? Ah, masa muda seperti kalian masih rentan cemburu buta. Aldo sudah bercerita panjang lebar tentang masalah kalian. Kami sedang berada di RS Citra. Mamah Aldo kumat lagi penyakitnya. Sebentar, ini Izmi ingin bicara denganmu.”
Aku menyeringai. Susah payah mengumpulkan kalimat.
“Kak Jesie, Kak Indah itu mantannya Mas Aldo, sudah putus setahun lalu. Jangan bertengkar lagi ya, kasihan Mas Aldo. Dia demam memikirkan Kak Jesie. Mamah juga sedang diinfus lagi. Izmi hanya minta Kak Jesie percaya pada Mas Aldo. Itu saja,” pinta Izmi memelas. Sebenarnya aku tidak peduli.
Hubunganku dengan Izmi bisa dibilang seperti sahabat. Dia kerap curhat tentang kisah remajanya padaku. Dan aku selalu senang menanggapinya. Kedekatan itu pun semakin akrab tatkala kami mancing bersama ke Bogor, merayakan kepulangan Ibu Bombom dari rumah sakit beberapa bulan yang lalu. Namun sekarang situasinya berbeda. Aku sudah tak percaya Bombom lagi. Bilapun dia berucap ini itu, berjanji untuk mengajakku pergi ke luar kota, aku menganggapnya tipuan halus agar aku memercayainya.
Tiga puluh jam lebih diam-diaman, aku mengalah berbaikan. Walau sebenarnya aku masih kesal pada penghianatan Bombom. Hubungan kami normal seperti sediakala. Namun Bombom kembali berulah setelah aku luluh dengan semua rayuannya.
“Ayangku, Jesie, aku tidak bisa ke rumahmu siang ini. Motorku mendadak ngambek. Bila dipaksakan, bisa fatal. Aku butuh uang untuk memperbaikinya,” jelasnya di ujung telepon.
“Berapa?” tanyaku langsung tembak.
Bombom menyebutkan nominal. Aku langsung mentransferkannya via e-banking. Tak apalah merogoh sedikit uang demi bisa bertemu sang pujaan hati. Mungkin untuk memusnahkan rindu mesti harus berkorban, baik hati maupun materi. Namun setelah dikasih hati ayam, dia malah minta jantung pisang. Perangai buruk Bombom semakin menjadi-jadi. Perihal alasannya resign dari pekerjaannya, dia terus memoroti uang hasil tabunganku selama bertahun-tahun. Dan aku selalu saja tak tega membiarkannya nelangsa.
Hingga pada suatu titik, cincin hasil jerih payahku selama ini disitanya lantaran dia terlalu lama menjadi pengangguran. Kata Bombom, “Uangku adalah uangmu, dan uangmu adalah uangku.” Kata-kata itu keluar dari mulutnya akibat rasa trauma kandasnya hubungan dia dengan Indah dulu. Maka ia tak mau hal serupa terjadi lagi ketika menjalin hubungan serius denganku. Lantas apa hubungannya denganku?
Entah terhipnotis atau apa, aku pun memberikan cincin itu pada Bombom. Tiga bulan kemudian, hubungan kami seperti benang kusut. Perlahan aku mulai sadar kalau uang tabunganku habis tak bersisa gara-gara Bombom. Cincinku yang dulu disitanya tidak kembali. Aku semakin curiga kalau benda bulat berwarna emas yang kubeli dari hasil keringatku, diberikannya pada wanita lain. Entah itu Indah ataupun Dian. Brengsek. Umpatku kesal dalam hati. Semua janji manis yang ia ucapkan, tak satu pun ditepati. Seperti saat dia berjanji mengajakku ke bulan. Bukan ke bulan, melainkan berkeliling dunia menggunakan sepeda ontel.
Hingga aku pun harus melontarkan kata putus untuk ke sekian kalinya saat Bombom berpura-pura tidak dapat menemaniku di malam pergantian tahun 2013 dengan alasan pembagian warisan keluarga. Bohong. Aku tahu Bombom mengarang cerita palsu.
Beberapa detik setelah pergantian tahun, hujan deras mengguyur atap dan beranda rumah. Rumput dan pohon jarak bergoyang tertiup angin. Pagi pertama di tahun 2013, kulalui dengan suasana duka yang menyelimuti kekalutan hatiku. Aku menatap debit air yang semakin deras.
Bombom, kenapa kau belum mengabariku? Desisku dalam hati. Sampai malam kembali tiba, aku gelisah menanti kabar dari Bombom tercinta. Ia tak juga menghubungiku. Aku gengsi menghubunginya lebih dulu, dan lebih memilih meringkuk di kamar, berharap ia mau berbicara denganku besok pagi.
Sedetik, dua detik, berganti menit, jam, dan hari, ia tak pernah merespon telepon dan SMS dariku. Rasanya jemariku tak tahan untuk mengetikkan nomor ponselnya, mencoba menguhubunginya untuk ke sekian kalinya. Dering pertama, tak ada jawaban. Dering kedua membisu, tidak ada jawaban juga. Dering ketiga, suara laki-laki yang kukenal menjawab malas. “Halo.”
“Bombom... aku minta maaf. Tempo hari aku kesal padamu.”
“Jesie, ini sudah berapa kali kamu mengucapkan kata ‘putus’? Baiklah, kita SELESAI!” telepon terputus.
Aku menggigit bibir. Kaget bagai tersambar petir. Tanpa sadar, air mataku jatuh berderai mencari anak sungai.
“Bombom, kenapa kau setega itu? Aku tidak serius mengatakannya.” Aku berbicara dengan tembok. Niat menenangkan hati mendengarkan radio, yang ada hatiku semakin berkabut. Lagu ‘Kesedihanku’ milik Sammy Simorangkir, mengiringi air mataku yang terus berjatuhan laksana hujan. Menurutku, lagu itu merupakan lagu paling spektakuler yang pernah ada dalam kisah kandasnya sebuah cerita cinta.
Meskipun aku sering patah hati oleh cinta-cinta yang lain, harus kuakui, aku sangat terpukul kehilangan Bombom. Eh, tapi kenapa lirik lagunya ada kata ‘indah’? Padahal yang kini tersisa hanyalah kenangan terindah dan kesedihanku tentang dia.
Aku sering melamun bila berangkat dan pulang kerja. Di mobil, di toilet, di kamar, di mal, saat menyebrang jalan, menghentikan bus, dan sampai nyasar ke tempat antah barantah lantaran tidak fokus pada nomor jurusanKopaja yang kutumpangi.
Kok banyak pesawat terbang ya? Kok banyak lapangan bola sih? tanyaku dalam hati. Pantas saja, rupanya aku melewati jalan belakang bandara.
“Pak, saya tersesat lupa jalan pulang. Tolong antarkan saya ke Terminal Kali Deres ya,” aku menepuk seorang tukang ojek yang sedang mangkal. Entahlah, saat itu aku tidak sadar kalau ternyata lapangan bola yang super luas dan di atasnya terdapat banyak beterbangan pesawat merupakan sebuah bandara. Aku sungguh merasa asing berada di tempat itu. Kopaja yang terakhir kunaiki rupanya berhenti di persinggahan pamungkas di daerah Rawa Bokor.
“Memangnya si Neng mau pulang ke mana? Lumayan jauh loh ke Terminal Kali Deres”
“Ke rumah lah, masa ke gua,” jawabku sekenanya dan langsung naik di jok belakang motor.
“Pundaknya berat tidak, Neng?”
“Beberapa hari terakhir, saya memang sedang kurang enak badan, Pak,”
“Si Neng ketempelan, makanya pundaknya berat. Biar saya antar ke orang pintar ya, Neng,” kata si bapak tukang ojek.
Apa? Aku ketempelan? Ketempelan makhluk halus? Siluman? Bulu kudukku tiba-tiba merinding. Ternyata problema putus cinta bisa mengakibatkan manusia bergaul dengan bangsa jin. Canggih sekali.
Biar kujelaskan padamu, bahwa pada saat hatiku runtuh ke jurang terdalam, pada saat air mataku bercucuran bak hujan yang terus mengguyur jalanan, hati ini semakin pedih tatkala aku menghampiri Bombom ke rumahnya dalam keadaan sakit. Dengan napas yang kurasa tinggal satu tabung lagi, dan dada sesak yang tak bisa kujelaskan, aku melihat ia turun dari mobil dan memasuki garasi bersama ayahnya entah dari mana. Anehnya, ketika aku bertanya apakah ada Bombom di dalam, keluarganya mendadak dingin dan bilang tidak ada.
“Baru saja keluar,” kata ibunya dengan nada ketus. Kebohongan apa lagi ini? Jauh-jauh aku datang untuk menyelesaikan perkara, tapi yang kudapat hanya kesakitan hati yang semakin parah. Di bawah mendungnya langit, aku mencari tukang ojek dan menunggu bus jurusan Jakarta. Mungkin hanya tukang ojek yang setia mengantarkanku ke mana pun aku butuh.
Ketika telah mendapatkan bus, aku memilih duduk di barisan samping jendela. Hujan pun mulai turun. Menggenangkan seluruh kenangan tentang Bombom. Tentang manis pahitnya perjalanan kami selama dua belas bulan. Dan di sepanjang perjalanan pulang, aku mengenang banyak hal yang tak akan pernah terulang. Ingin menjerit, namun pita suara hanya sampai di tenggorokan.
Di luar hujan semakin menderas. Membawaku pergi dari semua luka menyedihkan ini. Hingga akhirnya air mataku tak kuasa lagi meluber di jalanan ibukota yang selama seminggu terakhir membuat dadaku membuncah sesak. Kala itu Jakarta mengalami banjir besar-besaran yang melumpuhkan seluruh akses jalan dan aktivitas. Barangkali langit turut menangisi kepedihan hatiku. Barangkali langit berusaha menumpahkan seluruh isinya untuk mengucapkan belasungkawa.
Enam bulan kemudian, aku berhasil mengeringkan air mataku, membalut hatiku dengan perban, mengeringkan lukanya hingga normal. Susah payah aku melakukan semuanya. Dan dia datang menyapaku. Seolah merasa tidak ada apa-apa antara kami berdua. Hey, kau kira aku masih mencintaimu? Setelah apa yang kau perbuat selama ini padaku? Enak saja memintaku kembali dan berceloteh tentang cinta. Memangnya aku punya banyak hati untuk menerima semua rasa sakitku selama ini? Mungkin aku terlalu bodoh untuk mencintai. Tetapi aku tidak rela jika harus tertipu lagi. Aku tidak cantik, tidak juga pintar. Tapi aku tidak bodoh untuk terus dipermainkan.
Tepat 35 bulan atau hampir tiga tahun pasca putusnya hubunganku dengan Bombom, aku merogoh isi dompetku yang pernah terselipkan fotonya di sana. Di selembaran foto berukuran dompet itu, ia yang mengenakan kaus polos berwarna hijau, celana kolor di bawah lutut, sandal jepit, sedang tersenyum menyusuri pohon bambu. Aku merobeknya hingga menjadi sepuluh bagian, lalu kuremas dan kuhamburkan ke halaman. Aku berhak merayakan hari kebebasanku tanpa diiming-imingi masa lalu yang suram dan penuh penyesalan.
Cinta memang butuh pengorbanan, tapi tak selamanya membuatmu miskin secara materi. Cinta memang perlu memaafkan, namun tak selayaknya kau berikan hati dan ragamu secara cuma-cuma pada orang yang salah sasaran. Kini semuanya sudah terungkap, bahwa kekasihku yang paling kucintai dulu, tidak lain dan tidak bukan adalah psikopat. Sungguh, aku tak bermaksud menjelek-jelekannya. Memang seperti itulah kenyataannya. Aku percaya, masih banyak ikan yang lebih berkualitas di laut (itupun kalau lautnya tidak surut). Nah, apakah laki-laki seperti itu pantas dicintai? Kurasa kalian bisa menjawabnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar