RESIGN BERJAMAAH
LUNETTA VERICA
Meeting seharian kemarin cukup membuatku jenuh. Aku berjalan gontai menuju kubikelku. Tidak perlu tergesa-gesa, mengingat waktu masih jauh dari pukul delapan. Dan sesuatu yang amat membahagiakan pagi ini adalah Willy Love You tidak ke kantor. Katanya sih ada urusan di negeri Jiran.
Saat memasuki ruangan tim accounting service, aku melihat Iban, Albio, dan Faris duduk bergerombol. Mereka seperti tampak serius mengetik sesuatu. Para cucunguk itu lagi pada ngapain ya?
Ah, daripada penasaran, lebih baik aku intip. Aku berusaha memelankan langkah sepatuku sepelan mungkin agar mereka tidak kaget. Aku melongok di antara kepala Iban dan Albio.
Ternyata begini isi layar laptopnya:
To: wiliam@atmosfirsejuksekali.com
Cc: gibran@atmosfirsejuksekali.com; albio@atmosfirsejuksekali.com ; lunetta@atmosfirsejuksekali.com; everist@atmosfirsejuksekali.com, Faris@atmosfirsejuksekali.com
Subject : Pengajuan Pengunduran Diri
Dear Bapak Wiliam,
Dengan ini saya memohon maaf karena tidak dapat lagi join di perusahaan yang Bapak pimpin. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk kesempatan yang Bapak berikan kepada saya selama ini. Bila saya resign, kemungkinan Albio juga ikut resign. Bila Albio resign, kemungkinan Everist juga ikut resign. Bila Everist resign, kemungkinan Lunetta juga resign. Bila Lunetta resign, sudah pasti Faris juga ikut resign.
Besar harapan saya, PT ATMOSFIR SEJUK SEKALI bisa terus maju dan berkembang. Sukses dan jaya selalu, saya doakan.
Sekian surat pengunduran ini saya buat. Kiranya Bapak bisa mempertimbangkan keputusan saya.
Best regards,
Gibran Handal Pribadi dkk
Konyol. Ini apa-apaan? Iban mau resign? Albio juga? Everist juga? Faris juga? Terus kenapa harus membawa-bawa namaku? Lantas nanti yang tersisa di dunia tukang hitung siapa dong? Bang Chandra seorang? Iban betul-betul keterlaluan!
“Eh kampret, kalian beneran mau re…?”
“Hstt!!! Jangan keras-keras, Lune.”
Belum selesai bicara, Iban menyekap mulutku. Aku berusaha memberontak, namun kenyataannya tenaga laki-laki selalu lebih unggul dibanding wanita.
“Ini cuma dagelan, tahu. Lo lihat dong alamat emailnya.” Iban melepaskan sekapannya sambil menaikan kedua alisnya bergantian, mirip seperti Spongebob Squarepants. Uh, akhirnya aku bisa bernapas lega.
Iban meminta aku membaca sekali lagi alamat surel yang ada di layar laptopnya.
“Pak William kan? Si Willy Love You? Atasan kita, sekaligus vice president di kantor ini?” Aku yakin tidak salah baca, tapi Iban masih saja protes.
“Lun, coba deh lo pakai kacamata. Kayaknya mata lo mulai minus deh, atau bisa jadi silinder rangkap plus.” Iban berdiri, mengacak-acak rambutku. Kebiasaan, dia membuatku harus rajin menyisir. Rambut panjang yang kucatok dengan penuh kesabaran, jadi berantakan lagi.
“William or Wiliam? Single ‘L’ or ‘Double ‘L’ Do you understand? Iban memberikan penekanan pada ucapannya.
Aku menggeleng, “maksudnya?” jujur, aku masih belum mengerti apa yang Iban utarakan.
“Lunetta yang cantik dan memiliki wajah mirip chery… Lo baca sekali lagi. Pengen cium deh rasanya. Ih.. emesss.” Iban menyuruhku duduk di bangkunya. Aku menuruti permintaannya, membaca dengan teliti.
“Jelas-jelas buat Pak William, Iban…” Aku geregetan. “Bio, Faris, coba bilang apa yang salah dengan mata gue?” Aku membuka lebar-labar pupil mataku dan menunjukkannya pada para cucunguk yang justru mendekatkan mulutnya ke wajahku. Aku langsung menutup muka dengan kedua tanganku.
“Ya, jelas salah lah, Lunetta… Jelas-jelas huruf ‘L’nya cuma satu. Dan, alamat emailnya nggak pakai strip. Ah, gimana sih lo.” Kali ini Albio yang gemes padaku. Telunjuknya ditempelkan pada layar monitor. Aku mencoba membaca sekali lagi. Bio benar, nama William diketik dengan satu ‘L’, yakni Wiliam.
“Emang Pak William punya alamat email lain?” tanyaku dengan wajah polos.
“Ya nggak lah. Orang kita becandaan.” Albio tergelak. Begitupun dengan Iban dan Faris.
Hah, mereka bilang bercanda? Aku menjitak mereka satu per satu. Sialan! Aku tertipu. Rupanya mereka hanya pura-pura, aku memasang wajah sebal. Kuperhatikan lagi alamat surel di layar monitor Iban dengan tatapan curiga. “Lo udah kirim emailnya, Ban?”
“Udah. Tenang aja, emailnya bakalan nyangkut di pohon kedelai. Kan alamatnya salah. Hahaha.” Albio, Iban, dan Faris beradu tos. Dasar, kurang kerjaan.
Begini deh kalau atasan ke luar kota atau tidak masuk kantor, pasti mereka bahagia. Termasuk aku yang setidaknya merasakan sedikit kedamaian, karena tidak harus mengangkat panggilan telepon atau meeting dengannya selama beberapa hari ke depan dengan sang Bossman.
Aku bangkit dari kursi Iban menuju kubikelku yang berada di paling pinggir. Mengusir para cucunguk yang betah menggerumuniku “Awas, ah, gue mau dandan. Gue pikir serius. Nggak tahunya boongan. Gak seru.”
“Manfaatkan waktu senggang, Ta. Hahaha. Btw, tumben banget lo berangkat pagi, Ta. Biasanya jam segini masih luluran.” Albio menyenggol lenganku, iseng menggoda.
“Tau Lun, biasanya lo masih nungging di kasur.” Faris angkang kaki di kursinya, bergaya ala bos.
“Gue mau merayakan kebebasan hari ini. Emang kalian doang.” Kataku bohong.
Sebenarnya, aku diminta mamah untuk mengantarkan blender ke rumah tante di daerah Slipi. Sejak semalam mamah bawel mengingatkanku untuk lekas tidur. Jangan begadang, Lunetta, tantemu bertanya terus kapan mau diantarkan. Mau dipakai katanya, begitu katanya.
“Kalau merayakan kebebasan tuh ya harusnya hari ini lo bolos aja. nGapain coba kerajinan. Kayak Everist aja datang pagi buta. Bahkan gue rasa sebelum ayam jago kukuruyuk dia udah jalan.” Iban memainkan pondasionku, mengoleskannya di tangan. Kebiasaan, sudah kukatakan berapa kali kalau itu bukan hand body lotion.
“Eh iya, btw, si pemilik ikan cupang kemana nih? Tumben dia belum datang.” Albio menatap kubikel Everist yang kosong melompong.
“Eh, iya, si Gunung kok belum datang. Tumben bener.” Iban ikut-ikutan mencari Everist .
“Kenapa kalian? Kangen ya? Nanti gue sampein salam kangennya ke Everist.” Kataku meledek.
“Ih, siapa juga yang kangen. Tumben aja kan dia biasanya datang super pagi.” Iban membela diri.
“Jujur sih kalau dia beneran gak masuk hari ini, berasa plong aja depan gue.” Sambung Albio.
“Ecieeee… Gak ada yang bisa digodain lagi ya? ”Aku senang meledek Albio. Dia salah tingkah. Wajahnya bersemu merah.
“Apaan sih. Enek yang ada gue hadap-hadapan sama dia.” Sangkal Albio.
“Dia kemana sih emangnya Lun? Ini beneran gue nanya.” Faris sepertinya benar-benar ingin tahu.
“Katanya sih dia ada urusan hari ini. Gak bilang sih urusan apa.”
“Jangan-jangan Everist mau fitting baju nikah.” Faris yang baru saja datang dari toilet ikut menimbrung obrolan.
“Nikah sama siapa? Pacar aja gak ada.” Albio terkekeh.
“Sama ikan cupang. Kali yang menjelma jadi pangeran tampan. Kayak di dongeng-dongeng gitu. Soalnya gue pernah mergokin dia ngomong sama ikan cupang.” Iban sok serius.
“Elaaah, lo juga pernah gue lihat ngomong sama meja.” Kataku sambil terbahak.
***
Pukul 10:32
Kini setiap meja sudah terisi oleh Tuannya. Tidak ada pekerjaan penting hari ini. Rasanya damai sekali bila atasanku – Pak Willy Love You sedang di luar negeri.
Albio tampak bahagia menonton film kesayangannya, apalagi kalau bukan Tuyul dan Mbak Yul. Sedangkan Iban asyik menonton film India. Kali ini dia menonton dengan seksama film Mohabbatein. Faris sedang cekikikan mendengarkan siaran radio. Sementara aku, sedang sibuk mencatok ulang rambut yang telah diacak-acak Iban barusan.
Hmm… Jarang-jarang banget loh kita semua bisa free kayak gini.
“Lun, lo nggak ada permen apa? Mulut gue asem banget nih.” Iban mengusik ketenanganku.
“Habis. Belum sempet mampir ke swalayan gue.” Jawabku seperlunya.
“Yah, kalo gitu minta hatinya aja deh. Abang rela punya bini dua.” Bang Chandra cengengesan.
“Heh, ngegombalin cewek gue. Hatinya Lunetta Cuma buat Iban seorang. Ya kan Lun?” Faris mengerdipkan matanya. Sepertinya penyakit cacingannya kumat.
“Kalian jangan berisik napa, gue lagi fokus sama si Kiran nih. Cantik banget. Lunetta kalah deh sama dia.” Iban menimpuk Faris dengan pulpen.
“Sialan lo, Kodok. Sakit bego.” Faris mengaduh sambil mengusap kepalanya.
“Tau lo Ban, kayak nenek gue aja nontonnya begituan. Nonton mah film blue.”
“Anjrit Bang Chandra omongannya. Gue setubuh banget!” Iban membuka headsetnya, meneguk air mineral di mug pemberianku kala itu waktu dia ulang tahun. Baru tahu, kalau mendengarkan nonton film India bikin dahaga.
“Lun, nanti siang makan sama gue ya..” Iban mendekatiku, berniat membantu apa yang kususun, tapi justru malah membuatnya berantakan.
“Iban, jauh-jauh deh lo. Mending lo beliin gue coklat, baru gangguin gue.” Aku mengibaskan tangannya dari jangkauan dokumen-dokumen yang tengah kurapikan.
“Ya udah, tapi nanti siang makan bareng gue ya.. Okeh okeh!”
“Nggak mau. Males.”
“HAHAHAHA. MAMPUS!” Albio mencibir Iban, tampak bahagia ketika mendengar penolakanku barusan. “Gue dong, sering makan sama Lunetta.” Ucapnya penuh bangga.
“Heee biasa aja dong, Bio. Tunggu aja, nanti Lunetta gue pelet biar berubah pikiran.” Iban menjawil lenganku. Para cucunguk ini selalu saja memperebutkanku, tapi giliran Veronica lewat, kalah deh aku. Tersaingi.
Dan faktanya, kebahagiaan yang kami alami tidak berlangsung lama. Bu Tira tiba-tiba datang ke kubikelku. Mengobrak-abrik istana yang tenteram nan damai beberapa jam terakhir. Matanya yang merah menatap kami tajam. Terutama saat mengegep ulah nakal Iban yang menonon serial india di youtube.
“Kalian semua, kecuali Chandra, ikut saya sekarang!”
“Saya juga, Bu?” tanyaku sambil menunjuk dadaku sendiri.
“Lunetta, kamu belum tuli kan? Saya bilang semuanya, KECUALI CHANDRA. Masih belum jelas?” Bu Tira memelotot, aku melemaskan otot, memasang kuda-kuda. Kalau sudah begini, aku pasrah saja. Beliau memaksa kami berdiri dan mengekornya menuju ruangan angker.
Kami yang bagai kerbau dicocok hidungnya, manut. Divisi lain memandang kami dengan oenuh rasa penasaran. Bu Imelda bertanya lewat Bahasa isyarat, dan aku membalas dengan mengangkat bahu. Sepanjang perjalanan ke ruangannya, Bu Tira diam seribu bahasa. Aneh. Biasanya kan dia nyerocos terus kalau mendapati anak buahnya salah. Kira-kira ada apa ya? Apa kami mau diberi bonus satu milyar? Dan Bu Tira akan bilang, ‘SUREPRISE…’
***
Pak William menatap kami bergantian. Wajahnya sungguh merah. Aku tidak menyangka ini menjadi masalah yang sangat amat serius. Surel mengenai permohonan pengunduran diri tadi pagi sampai kepadanya. Saat itu juga dia langsung memesan tiket pulang ke Indonesia. Tidak peduli rapat penting dengan klien sedang berlangsung, demikian penjelasan Bu Tira.
“Coba jelaskan pada saya, Gibran. Apa maksud kamu mengirimkan email resign secara berjamaah seperti itu? Kalian membuat saya jantungan.”
Iban terlihat gugup, tak berkutik. Seketika wajahnya berubah pucat. Mampus lah kau Iban. Willy Love You tidak sebodoh yang dia kira. Beliau mampu menyadap semua surel masuk dan keluar melalui ponsel canggihnya.
Dengan memangku kedua tangannya, Iban, Albio, dan Faris saling lirik. Kurasa mereka mau menangis, jika tidak ingat bahwa mereka adalah lelaki tangguh.
“Maaf, Pak, kami hanya main-main. Sungguh.” Setelah hening sekian lama, Iban angkat bicara. Bu Tira memandang Iban dengan tatapan sinis. Bibirnya yang merah membahana bagai habis makan orok, seperti ingin menelan cowok berambut gondrong itu bulat-bulat.
“Benar, Pak, Bu, kami bercanda.” Sambung Albio dengan wajah memelas. Bila ruangan Bu Tira terkenal dengan dingin yang luar biasa bagai di kutub selatan, siang ini tidak berlaku bagi tiga cucunguk nakal itu. Bulir keringat membasahi dahi mereka. Semoga mereka tidak pingsan. Begitu pun dengan aku
“Lunetta.”
Deg.
Jantungku langsung bereaksi ketika Bu Tira menyebut namaku. Albio, Iban, dan Faris ikut menoleh.
“Kamu juga mau resign seperti mereka? Atau main-main juga? Mana Everist? Dia bukannya hari ini izin tidak masuk? Apa dia sedang wawancara di kantor lain?”
Nah loh, aku kan tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. Setiba di kantor, Iban sudah mengirimkan surelnya, menandaiku dan Everist di email tersebut. Aku hanya korban si Iban sialan.
“Em.. tidak, Bu.” Jawabku gelagapan. Walaupun aku bukan pelakunya, tetap saja aku merasa takut bila mesti berhubungan dengan ibu tiri. Sungguh, aku tidak mengerti apa-apa.
“Bercandaan kalian itu benar-benar kelewatan, Albio, Iban, Faris, Lunetta.” Bu Tira mondar-mandir di depan kami. Tangannya bersedekap. “Kalian bikin Pak William panik. Coba kalian bayangkan. Gara-gara kalian, agenda meeting penting dengan klien Singapura gagal total. Karena Pak William terbang ke Jakarta dadakan. Saya tuh nggak ngerti dengan otak kalian. APA SIH YANG ADA DI OTAK KALIAN?”
Albio menunduk, begitu halnya dengan Iban, dan Faris. Jujur, rasanya aku ingin tertawa lepas sebagaimana yang sering dilakukan Everist. Tapi kurasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk menertawakan mereka. Tanganku gemetaran, rasanya tiba-tiba ingin pipis.
Di kursi panasnya, Pak William menggeleng-gelengkan kepalanya. Rambutnya yang mulai menipis, seolah mengatakan bahwa beliau menyerah dengan kenakalan anak buahnya yang selama ini ia bangga-banggakan. Iban, Albio, dan Faris masih diam. Sedangkan aku hanya melongo macam kambing bego.
Hingga pukul 12 siang, kami terus-terusan diceramahi ibu tiri. Diberikan wejangan panjang lebar, diperingati ini-itu, dan tentunya diomeli habis-habisan. Kami bagaikan anak murid yang kena hukuman karena bolos nonton bioskop. Kupingku sampai ngebul kalau begini ceritanya. Tidak tanggung-tanggung, kami juga diberikan hadiah dari ibu tiri.
SELAMAT, kita semua diberikan Surat Peringatan Satu (SP 1) oleh Bu Tira.
Ini semua gara-gara Gibran Kampretos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar