LUNETTA VERICA
“Jadi, hari ini lo ada meeting ke PT Merah Merona?” Iban mencoba memoleskan blushon ke pipiku. Semoga hasilnya tidak seperti Jeng Kelin.
Sebelum menjawab pertanyaan Iban barusan, aku mengambil cermin dan melihat hasil karya Gibran Handal Pribadi.
Dan hasilnya….
Jeng… jeng… jeng… OMG!!! MENGERIKAN!!!!
Ini beneran mirip Jeng Kelin sungguhan. Iban sengaja betul merusak dandananku.
“Lun, lo mau meeting sama Willy Love You kan?” Iban bertanya lagi. Aku melotot sebal.
“Ban, lo besok gue kursusin MUA aja ya…” Aku mengelus dadaku, mencoba menahan emosi.
“Emang MUA apaan sih?” Tanyanya lagi.
Sabar, Lunetta, sabarrrrr…. Lo kayak gak tahu Iban aja, dalam hatiku ingin menjerit. Albio dan Everist terkekeh melihat ekspresi kesalku. Iban sungguh Kampretos…
“MUA itu yang tadi gue bilang, makeup artis, you know?” Everist bantu menjawab pertanyaan Iban yang tidak penting.
“Gak perlu kursus-kursus rias lah, kan udah bagus makeupnya, ya kan Lun?” Iban membela diri.
“Bagus apanya? Muka gue jadi mirip Jeng Kelin gini.” Aku mengambil tisu di sudut meja, kemudian mengelap lembut pipiku yang ketebalan blushon. Lalu, kutimpali bedak lagi tipis-tipis agar warnanya menjadi natural.
“Lun, lo ga jawab pertanyaan gue.” Iban hendak mengambil pensil alis di tas makeupku.
Aku buru-buru merebut dan memasukannya ke dalam laci.
"STOP, IBAN. SUDAH CUKUP!" Aku memeragakan gaya Ani pada Bung Roma.
“Lun,”
“Apaan sih?” jawabku kesal.
Iban ini bawelnya melebihi cewek yang lagi PMS.
“Tadi gue nanya belum dijawab.”
“IYA. Tuh, udah gue jawab.”
“Dih, udah apaan?”
“Au ah.” Lama-lama aku ingin menyublim saja rasanya. Bertemu Iban tiap hari bikin aku stres.
“Berarti seharian dong lo gak balik kantor lagi? Yah, nanti kalau gue kangen gimana dong?” Iban berdiri dengan mimik sedih.
Bodo amat, aku tidak peduli. Bahkan aku sama sekali tidak iba melihat wajahnya yang sok melas itu.
“Itu sih DL (DERITA LOE)” Faris mewakiliku.
Seketika Albio dan Everist terbahak lagi. Everist tertawa renyah sekali dan paling kencang.
“Data udah siap, Lun. Barusan Willy chat gue udah mau nyampe. Yuk!!” Everist memakai tas backpacker-nya.
Aku bercermin sekali lagi, memantaskan dandananku yang hari ini diacak-acak Iban.
“Ok, itu artinya gue harus segera pergi. Bye, Iban kampret, bye, Albio, bye Ris…”
“Bye, Lune, yah sepi dunia ini tanpamu. Huft.” Iban mendesah malas. Aku justru bahagia. Duniaku pasti aman sentausa tanpanya.
***
LUNETTA VERICA
Aku dan Everist baru saja tiba di lobi, Willy Love You sudah melambaikan tangannya dan menyuruh kami bergegas masuk ke dalam mobilnya.
“Lunetta, kamu di depan saja bareng saya.” Aku yang sudah terlanjur membuka pintu belakang, mengurungkan niat duduk bareng Everist.
Eits, tapi kenapa Willy malah turun? Perasaanku tidak enak nih.
“Saya gak hafal jalannya. Kamu saja yan nyetir ya.” Willy masuk ke jok sebelah drive.
Oh Tuhan, ujian apa lagi ini? Pagi-pagi sudah ada dua manusia menyebalkan. Everist senyum-senyum melirikku di spion tengah.
“Kamu sudah bawa dokumen perlengkapannya, Everist?” Willy Love You menolehkan kepalanya ke belakang, ke arah duduk Everist.
“Sudah, Pak.”
“Neraca 2018-2020, perubahan ekuitas, profit loss, dll?” Willy Love you bertanya lagi.
“Sudah, Pak. Saya bawa soft filenya juga di flashdisk.”
“Ok. Tapi kamu sudah backup di flashdisk lain?”
“Sudah juga.” Everist menjawab singkat.
“Ok. Kalau begitu kita jalan sekarang. Lunetta, kamu bawa mobilnya jangan terlalu pelan dan jangan terlalu ngebut. Di depan ada galian lobang, macet banget pasti. Nanti kamu ikutin arahan saya.”
“Baik, Pak.”
Hello, Pak Willy, lo pikir gue supir lo, ngatur-ngatur. Lagian kalau tahu jalan ngapain nyuruh gue nyetir sih? Aku mendumel dalam hati. Kulirik spion tengah, Everist terlihat menahan tawanya.
“Ambil kanan! Motor yang di depan terlalu pelan. Nanti langsung masuk tol Semanggi saja.”
Nah kan, nah kan, baru saja melaju 100 meter, dia sudah merintah sana merintah sini. Mana jalanan lagi super padat. Dan butuh waktu satu jam untuk sampai ke tempat tujuan. Sungguh melelahkan.
EVERIST FIRSTA
Duh, lucu banget lihat pemandangan di hadapanku. Lunetta jadi supir dadakan bosnya, si Willy Love You. Dari tadi aku menahan tawa, pokoknya jangan sampai aku keceplosan ketawa di depan Willy Love You.
Lagipula, kenapa sih dia tidak mengajak supir untuk perjalanan meeting hari ini. Kan kasihan Lunetta, harus menyetir di atas perintahnya. Pagi ini jalanan ibu kota benar-benar tidak bergerak. Aku hampir saja tertidur di jok belakang.
Kalau saja Albio tidak mengirimiku pesan, mungkin aku sudah terlelap.
“Everist, gue titip Lunetta ya… Please…”
What? Albio minta aku menjaga Lunetta? Apa mereka terikat status? Tapi, kenapa aku tidak tahu?
Aku sengaja tidak membalas pesan singkat Albio. Nanti deh aku tanya langsung saja sama Lunetta.
BEBERAPA MENIT KEMUDIAN...
“Lun, kok lo ninggalin gue sih? Gue gak bisa keluar nih. Willy udah ngunci mobilnya. Astaga, engap banget gue.” Aku menelepon Lunetta sambil menggedor-gedor kaca mobil.
Lunetta dan Willy Love You yang sudah berada di seberang jalan langsung balik kanan. Menghampiriku yang terjebak di dalam mobil pribadi berwarna hitam ini.
"Kamu kenapa gak ikut turun?" Tanya Willy polos.
"Lah, Bapak kunci pintunya gimana saya mau turun." jawabku kesal.
"Makanya, lain kali jangan suka tidur di mobil. Jadi kekunci kan..." Willy meledekku.
Sialan, rupanya Willy lupa kalau ada aku di jok belakang. Enak saja dia main pergi dengan Lunetta dan meningalkanku seorang diri. Aku kan gak tidur, tapi merekanya yang melupakanku. Huaaaaa,,,,, pengen nangis deh aku.
Lunetta langsung menggandeng tanganku dan meminta maaf. Katanya, dia lupa saking keasyikan ngobrol dengan Willy yang kini memakai jas warna biru dongker dan sepatu pantofel mirip film Jin dan Jun.
**bersambung**
Seru juga nih ... Jd penasaran
BalasHapus