Kehujanan Bareng Albio
EVERIST FIRSTA
Tiba-tiba ponsel yang sedang kupegang bergetar. Ternyata ada chat masuk dari grup ‘Akun Ting2 100%’
Luca : Barusan kita disidang sama ibu tiri dan Willy Love You. Lo juga kena, Ev.
Albio V. : Ini ide gilanya si Iban nih. Gue kena juga deh.
Faris De Ril : Iban Kodok emang, mau2nya gue ikutan bikin surat cinta buat Willy Love You
Iban Ganteng : Tenang, Beps, baru SP 1, habis ini Willy love You, love us again.
Luca : Pret…
Iban Ganteg : Buktinya dia rela ninggalin meeting-nya karena takut kehilangan kita.
Faris De Ril : Bego, lu Ban. Pencemaran nama buruk lo mah. Kampret emang.
Chandra Cool : Ngehe semua lu pada. Mang enak dapet doorprize hahahah.
Everist Firsta : Lah, gimana ceritanya? Kepo bet gue.
Luca : Nanti gue ceritain deh pas lo masuk. Males ngetik gue.
Iban : Nggak usah diceritain. Gak penting juga. Lu lagi di mana sih Gunung? Gak ada
angin gak ada hujan, gak ada kabar.
Everist Firsta : Napa lu Ban? Kangen ya sama gue? Sayangnya, gue gak kangen sama lu. Wee.
Albio : Rugi pokoknya lo gak masuk hari ini, Rist.
Iban : Kalo deket, lu gue unyeng2, Nung.
Everist Fisrta : Udah dulu ya, gue masih rempong nih.
Faris : Sok sibuk
Iban : Paling lagi benerin kancing baju. Makanya gak masuk kerja.
Chandra Cool : Bukan kancing baju, tapi benerin genteng bocor kayaknya.
Dan, semuanya terbahak di dalam chat grup ‘Akun Ting2 100%’ tersebut. Aku pun ikut cengar-cengir sendirian sambil menahan malu karena dilihat pengunjung lain di kanan dan kiriku.
Sebenarnya, hari ini aku ada keperluan mengurus surat izin mengemudi yang hampir saja habis masanya. Dari pada aku telat mengurus dan buat baru lagi, lebih baik aku izin cuti saja. Lagi pula sisa cutiku masih banyak, dan kebetulan juga Willy Love You sedang ke luar negeri. Sudah setengah hari aku berada di kantor samsat Jakarta Barat. Rasanya ingin cepat-cepat pulang, rebahan di kasur - bobo siang. Jarang-jarang kan? Hehehe.
***
ALBIO VARGASBARA
“Bio, lo mau kemana?” Everist tampak panik ketika aku meninggalkan kubikelku.
“Pulang lah. Mau kemana lagi.” Aku berhenti sejenak, lantas melanjutkan langkahku yang terhenti oleh cewek bawel dan penakut itu.
“Jangan dulu, dong. Tungguin gue. Belum selesai nih kerjaannya.”
Terus, lo mau apa, Everist? Emangnya gue peduli?
Everist menarik ranselku kuat-kuat ketika aku di ambang pintu dengan kaki dan tangannya. “Please, Bio… Temenin gue bangsa lima belas menit lagi deh ya.. Help dong… Lo nggak kasihan sama gue?” Everist memaksa.
“NGGAK.” Jawabku galak. “Lo kan udah ada yang nemenin, tuh si Leon.” Aku menunjuk ikan cupang piaraan Everist dengan daguku.
“Dia nggak bisa jagain gue kalo gue ketakutan. Kalo elo, kan bisa.”
“Dasar cewek penakut. Makanya lain kali lo temenan sama dedemit biar gak takutan lagi.”
“Iss… Gitu banget.” Everist cemberut, berhenti memegangi ranselku dan membalik badan menuju kubikelnya. Aku tahu, dia akan beringsut menarikku lagi dalam sepuluh langkah.
“Makasih, Bio. Biar pun lo galak, tapi gue suka. Upss.” Everist menutup mulut dengan sepuluh jarinya.”Maksudnya gue suka gaya lo nemenin gue. Laper gak? Gue ada indomie.”
Everist menyodorkan sebungkus indomie instan padaku. Lumayan deh buat mengganjal perutku yang kerocongan. Aku menerima sebungkus mie instan dari tangan Everist. Menaruh tas ranselku di meja
“Tapi, lo jangan lama2 di pantri. Lo makannya di meja lo aja biar gue ada temennya.”
Aneh deh, memangnya apa yang perlu ditakutkan di sini? Tidak ada apa-apa. Palingan Cuma kuntilanak, tuyul, dan butoijo. Pengakuan itu datang dari bibir Lunetta, dan kalau dia yang bilang, aku percaya. Hal itu kubuktikan waktu Mba Imelda kesurupan di toilet, ketika kami sama-sama lembur hingga pukul 12 malam. Tapi, hantu, setan, jin, dan dedemit juga takut kali sama Everist, gak bakal mau gangguin dia.
“Ok, gue temenin. Tapi, jangan lama-lama ya. Bentar lagi mau hujan. Barusan Parman whatsapp gue, petirnya gede-gede. Dan, gue lagi nggak bawa mobil. Males kalo harus pakai jas hujan.” Aku berjalan gontai menuju pantri. Kuperhatikan wajah Everist menatap punggungku diam-diam. Dasar cewek merepotkan.
Lima belas menit kemudian. Mie sudah habis kulahap. Aku sampai lupa menawari Everist yang sedang serius mengetik biaya operasional di komputernya. Aku tahu betul watak Willy Love You, kalau sudah minta maunya cepat. Dan Everist sedang berjuang mengerjakan deadlinenya secepat kilat berhubung hari sudah larut malam. Hal yang sama terjadi padakau beberapa menit sebelum Everist memaksa minta ditemani lembur. Tadi siang, Willy minta laporan PPN PT Murah Senyum. Aku pun mau tak mau merekonsiliasinya dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.
“Cepetan! Udah lebih dari 15 menit nih.” Aku melirik jam tanganku ketika Everist selesai mematikan komputernya.
Aku bergegas dengan langkah cepat. Everist tertinggal jauh di belakang.
“Pelan-pelan dong, Bio. Lo kira kaki gue sepatu roda.” Everist mendumel, mulutnya manyun. Sudah beruntung kutemani, dia malah tidak tahu cara berterimakasih dengan baik. Setiba di lobby, Parman menyapaku, mengucapkan hati-hati di jalan. Dia adalah security yang bertugas jaga kandang malam ini. Orangnya baik nan ramah.
Dan, sekarang dia mengintiliku hingga ke parkiran. Sejak di dalam lift, dia merengek minta pulang bareng.
“Lo naik bajaj aja sih. Kalo nggak Grab Car, kalo nggak Uber, Go Car, atau apa lah kendaraan berbasis online yang lo suka.” Aku mulai mencoba memberi alternatif, karena suara petir terdengar menggelegar. “Lagian gue cuma punya satu mantel.”
“Gue yakin paling cuma gerimis. Mendung tak berarti hujan kan?” Everist tersenyum penuh drama. Ngomong sama Everist, sama dengan ngobrol sama piaraannya – si cupang Leon. Menyebalkan. Dia bersikukuh mau bonceng denganku. Meski pun aku hanya punya satu jas hujan dan helm.
Baiklah, kau boleh ikut, Everist. Tapi, nanti kalau polisi mencegatku lantaran membawa satu helm, kau akan kuturunkan di jalan. Malas juga kalau mesti berdebat dengan cewek kepala batu. Dia tidak akan pernah mau mengalah.
“Tuh kan, hujan. Lo mending turun deh, terus setopin Taksi. Gue nggak punya mantel dua.”
Baru beberapa menit keluar dari parkiran, gerimis merincik-rincik.
“Ogah, ah, macet. Udah kepalang juga ngejogrok di atas jok motor lo. Mendingan gue nebeng sama lu. Lagian kalo cuma gerimis gini sih, gue kebal. Tenang, nanti gue bayar.”
Hah bayar? Memangnya aku tukang ojek. Oke, kalau dia bersikeras. Aku menutup kaca helmku, menancap gas kembali, menembus gerimis di gelapnya malam jalanan ibukota. Malas berdebat lama-lama dengan cewek keras kepala macam Everist. Yang ada hujannya semakin deras.
Benar saja, 20 meter kemudian, gerimis menderas. Aku kalang-kabut mencari tempat berteduh. Tapi, tidak kutemui tempat yang pas untuk kusinggahi. Tak tahan rasanya mendengar teriakan Everist di dekat kupingku.
“Bio, neduh dulu sih. Lo nggak menghargai gue banget sebagai penumpang lo. Mata gue perih nih kena air hujan. Kacamata gue berembun. Kepala gue sakit ditimpukin air hujan. Lo juga bawa laptop kan? Ntar kalo data-datanya pada hilang, gimana?”
Syukurin. Suruh siapa mau bonceng denganku. Kalau masalah laptopku sih aman terkendali. Tas parasutku anti air, jadi aku tidak was-was sama sekali. Justru aku yang mencemaskan laptop Everist. Kalau sampai rusak, bisa-bisa aku diadukan ke ibu tiri. Laptopnya rusak. Ini semua gara-gara Albio yang tidak mau menurut, Bu… Duh, bisa panjang urusannya.
“Lo pikir gue nggak basah?” kataku kesal.
“Ya makanya neduh dulu. Dimana kek.” Everist tetap merasa benar. Dan aku ingin rasanya menceburkannya ke comberan.
***
EVERIST FIRSTA
Duh, seandainya motorku tidak mogok, aku tidak perlu menebeng Albio pulang. Aku bisa saja pesan taksi daring, tapi entah kenapa aku ingin pulang bareng dia. Lumayan kan searah, ngirit ongkos.
Tadi menjelang jam pulang, Willy Love You meneleponku dan meminta laporan laba rugi PT Kenangan Hati. Memangnya di negara tetangga kerjanya hingga malam ya? Apa tidak ada hari esok saja untuk mengerjakannya. Kalau begini ceritanya, aku mesti menginput seluruh biaya dulu ke sistem Accurate. Banyak pula datanya. Datanya saja baru aku terima komplit pukul 15:00, dan harus selesai sebelum pukul 20:00. Huh, gemes deh…
Tapi, untung saja Albio juga lembur hari ini, jadi aku tidak merasa seperti peserta uka-uka yang sedang uji nyali. Serem kan kalau aku tiba-tiba melihat sosok baju putih rambut panjang terbang melayang-layang di ruangan. Bulu kudukku langsung bergidik ngeri membayanginnya.
Albio berhenti persis di bawah pohon akasia. Tidak terlalu rindang, tapi berhasil melindungi kami berdua dari derasnya air hujan yang membuat rambutku lepek dan bajuku kuyup. Sejak tadi mulutku berbusa menyuruhnya berhenti. Dia sama sekali tidak menghiraukan seruanku.
“Lo pake atasannya.” Albio menyerahkan jas hujan untukku.
“Nah, terus elo nanti kebasahan dong?” aku menolak memakainya.
“Yang penting laptop lo aman. Tas gue tahan air.” Katanya sembari memakai celana jas hujannya.
“Nggak ah, lo aja yang pake. Gue pake jaket lo aja. Sini buka!” Aku berusaha membuka resleting jaketnya yang basah. Lumayan, setidaknya tas ranselku terlindungi kain sebelum benar-benar basah. Tapi, Albio balik badan dan menyerahkan lagi atasan jas hujannya kepadaku.
“Lo pake ini. Cepetan! Keburu laptop lo basah.” Albio bersikeras memerintahku memakai jas hujannya, dan aku kekeuh bilang tidak mau.
“Lo aja. Gue biar pake jaket lo aja. Parasut juga kan? Ya udah, laptop gue aman.” Kataku dengan gigi yang bersentuhan karena dingin.
Albio pasrah menurut. Ia melepas jaketnya kemudian menyerahkannya padaku. Lalu, dia mengenakan atasan jas hujan hingga kepala, sedangkan aku memakai jaketnya untuk melindungi ranselku yang basah.
“Lo naik Taksi aja sih.” Kata Albio dengan nada memaksa. Aku masih menjawab sama, tidak mau. Sudah kepalang basah juga. Mana mau Taksi menerima penumpang yang basah kuyup sepertiku.
“Kenapa sih nggak mau? Nggak punya duit? Ni gue kasih.” Albio hendak membuka dompet dari saku celananya.
“Eh, gue punya kok. Udah terlanjur basah, gue ikut sama lo sampe lampu merah depan aja.” Kataku menjelaskan.
“Kalo gitu lo pake mantel gue. Buka jaket gue! Cepetan!”
Kali ini aku setengah takut meladeni ucapan Albio. Ternyata kalau Albio lagi marah, wajahnya jadi menyeramkan. Aku manut saja membuka kembali jaketnya dan memakai atasan jas hujan milik Albio.
“Bandel.” Selidiknya kesal. Aku tertawa. Lucu juga ya bertengkar dengan Albio. Ngeselin tapi seru. Ketika urusan jas hujan selesai, aku memeluk Albio dengan perasaan senang, meskipun Albio melarangnya dan berdalih bukan muhrim. Rasanya bahagia sekali membuat orang kesal. Dan hujan ini, membuatku semakin menggigil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar