Senin, 27 Oktober 2014

Sakit Hati vs Sakit Gigi #INTERMEZO



Saat kita sedang patah hati, hancur lebur berkeping-keping, berserakan di mana-mana, kadang terbesit dalam otak untuk memilih sakit yang lain. Pada kasus yang berbeda ketika kita mengalami ngilunya sakit gigi yang membuat resah bukan kepalang, susah tidur, susah makan, mendengar hal sedikit saja langsung sensitif, tanpa sadar akan terucap, "lebih baik sakit hati daripada sakit gigi."

Menurut gue, gue lebih memilih sakit gigi daripada sakit hati. Kenapa? Sakit gigi bisa ditangani dokter. Kalau sakit hati, langsung ke psikiater, atau parahnya ya rumah sakit jiwa. Memulihkan rasa sakit hati bisa bertahun-tahun lamanya bahkan seumur hidup. Meski hati telah berdamai dan memaafkan, sewaktu-waktu sakit itu masih bisa muncul. Perasaan tetaplah perasaan. Tidak ada obat instan untuk menyembuhkannya kecuali dengan seiring berjalannya waktu. Lambat laun sakitnya mereda. Tapi tidak hilang secara keseluruhan.

Pada seseorang yang menderita sakit gigi luar biasa, mereka seenaknya bilang, "Sakit hati masih bisa dibalas. Kalau sakit gigi, bagaimana membalasnya?"
Hey, untuk apa membalas dendam. Toh perasaan sakit itu tidak akan hilang. Yang ada malah membuat dosa. Biarkan Tuhan saja yang membalasnya.
Nah, menurut kalian, lebih pilih mana? Sakit gigi atau sakit hati?
"Sakitnya tuh di sini!" *nyanyi"

Minggu, 26 Oktober 2014

Perjalanan #Motivasi


Aku bersyukur terlahir dari keluarga yang sederhana. Karena dari situlah aku banyak belajar menakhlukan kerasnya hidup. Dan aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang membebaskanku memilih jalan hidupku, berpetualang mengejar mimpi. Serta selalu mengizinkanku melakukan perjalanan jauh demi membuka jendela keberagaman suku, adat istiadat, budaya, serta menikmati hasil karya tangan Tuhan yang maha luar biasa, alam yang sungguh indah. Berteman dengan orang-orang baru, menggali sadalam-dalamnya ilmu untuk bekal bahan inspirasi dan motivasi. Membuka cakrawala seluas-luasnya.

Rasanya amat prihatin pada teman-teman perempuan yang dilarang keras melakukan perjalanan oleh kedua orang tuanya karena alasan kita adalah wanita. Kalau kita hanya mengurung diri di rumah, kapan jiwa mandiri akan terbentuk? Kapan kita menggali hakekat kehidupan di luar sana? Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Perempuan pun bisa berkarya dan menentukan pilihan. Selagi masih dalam ruang lingkup yang positif. Bertemanlah sebanyak-banyaknya. Jangan mengurung diri dan menutup pintu terlalu rapat. Pelajari setiap watak dan jangan terbawa arus pergaulan. Teruslah berpatokan pada kepribadianmu sendiri. Jangan ikut-ikutan. Kecuali jika itu sesuatu yang layak untuk diikuti.

Perjalanan ini menyenangkan, Kawan! Kita bisa terjun langsung membuktikan bahwa hidup ini berliku, terjal, licin, dan tajam. Maksudnya disetiap langkah ini, kadang kita akan merasa bingung ketika tersesat (galau), sedih saat tak tahu lagi apa yang harus dilakukan (terpuruk), bahagia karena berhasil sampai puncak/ tempat tujuan (solusi). Semuanya menguji adrenalin (kesabaran dan perjuangan). Kadang berkerikil, berbatu, penuh jurang, curam, terjal, dan mulus. Kadang ke hulu, kadang juga ke hilir. Kau akan menemui titik-titik itu. Inilah hidup. Mau tidak mau harus dijalani, dilewati, dan dinikmati.

Kata ayah, meski wanita, kita tidak boleh cengeng, lemah, apalagi manja. Menangis boleh, mengeluh pun boleh. Asal jangan terlalu sering. Cukup diri sendiri saja dan sahabat terdekat yang tahu. Lantas ketika kamu terjatuh, jangan terlalu lama mengaduh sakit. Bangkitlah! Berubahlah menjadi manusia yang lebih baik, bermutu, dan berkualitas. Jadikan kesedihanmu, kegagalanmu, keputus-asaanmu, dan kegundah-gulanaanmu sebagai batu lompatan menuju sukses! Go Girls, Go Passion, Go Dream!

Jumat, 03 Oktober 2014

Aku Lelah #Puisi

Malam-malam ini menyesakan dada. Bayangan wajahmu masih terlintas anggun dalam hati dan pikiranku. Sepenuhnya berkuasa dan enggan menjauh. Tidak dengan diriku. Yang selalu mencoba menjauh dari semua tentangmu. Yang selalu mencoba pergi dari perasaan itu. Aku lelah...

Kesedihan ini teramat larut dan dalam. Air mataku tak terhitung puluhan liter terbuang percuma. Aku tetap saja berhenti di tempat yang sama, mengenangmu. Meratapi nasib kisahku yang pilu. Aku teramat lelah...

Beribu kali kukatakan, aku pasti bisa melupakanmu. Membuang jauh kenangan bersamamu. Menghapus nama dan bayanganmu dari hati dan otakku. Aku geram dengan perasaan duka yang menyelimuti keseharianku. Aku juga ingin bahagia meski tanpamu. Seandainya ada obat instan untuk mengobati luka hatiku, tentu saja aku sudah membelinya di toko terdekat. Sayangnya, hanya waktu yang mampu memulihkan keadaanku. Entah sampai kapan aku tak tahu. Mungkin seratus tahun lagi. Itu pun jika aku masih hidup.

Aku hanya pasir di pesisir laut. Terhempas ombak dan terinjak. Nikmati saja. Hidup kadang tak seindah yang diinginkan. Jika aku bisa membuat cerita dengan ending yang indah, mungkin itu hanya ada dalam mimpi.
Berharap pelangi mampu menggantikan sejuta senyumku yang hilang. Semoga!