Kamis, 18 November 2021

PARALEL - BAB 7 #NOVELSERIES

CEMBURU

 

ALBIO VARGASBARRA

Pagi ini aku terpaksa membawa mobil sendiri dari rumah. Berhubung Pak Kipli, supir kantor cuti dadakan. Ada keperluan keluarga katanya. Daripada aku harus ke kantor dulu untuk mengambil mobil operasional, lebih baik aku modal sendiri saja. Dobel waktu dan tenaga. Kalau bensin, sudah pasti diklaim kantor.

Semalam aku sudah janjian akan menjemput Everist di depan rumahnya. Itu artinya, seharian ini aku akan bertugas menjadi supirnya Everist. Menjemputnya ke rumah dan mengantarkannya pulang.

Sebenarnya jarak rumahku ke rumahnya terbilang lumayan dekat, hanya berkisar enam kilometer saja. Tapi, tetap saja rasanya malas sekali dipasangkan dengan wanita aneh macam dia. Kenapa tidak sama Lunetta giu loh? Yang mukanya enak dipandang, dan gemesin? Bu Tira ada angin apa sih memasangkan aku dengan cewek absurd nan langka macam Everist?

“Pagi bener! Gak bisa tidur ya?”

Everist mengintip jendela kaca saat mobilku berhenti di titik maps sharelocation yang ia bagikan untukku. Tanpa basa-basi, dia langsung membuka pintu depan dan memakai sabuk pengaman.

“Eh, kok lo di depan sih? Belakang sana!" Kataku bercanda.

“Yakin lu mau gue panggil abang supir?” Everist malah meleletkan lidah.

                Siap-siap deh kalau begini ceritanya. Seharian bakalan pusing kepalaku menghadapi perilaku Everist yang susah ditebak.

                “Lo udah pernah ke sana?” tanyaku membahas beberapa tempat yang dipilihkan Everist untuk lokasi outing kantor.

                “Belum lah. Gue kan baru lihat review di Instagram, dan pengen tahu aslinya. Kan kita emang ditugasin buat survey.”

Tuh kan, baru sedetik saja bertemu dengan Everist, hatiku sudah kesal. Mana ada dua tempat yang akan kami survey hari ini; Lembang dan Ciwidey. Semoga saja seharian bisa selesai dengan lancar tanpa a-i-u-e-o.

“Lo udah sarapan? Gue bawa bekel nih.” Everist membuka kotak Tupperware berisi roti tawar isi. Ah, itu mah mamah juga sering buatkan. Tapi, boleh deh daripada aku harus mencari rest area terdekat. Nanti malah bisa mengulur waktu.

Sebenarnya aku gengsi, tapi apa daya perutku perih. Jadi, aku comot saja satu potong roti tawar dari kotak makan Everist.

“Laper ya? Malu-malu.” Everist mengunyah rotinya dengan sangat nikmat sambil meledekku. Sialan, jangan bikin mukaku merah dong.

“Eh, Bio, gue boleh request lagu gak?”

“Puter aja sendiri.”

Everist menghubungkan ponselnya ke car MP3 player. Dan dia mulai mencari-cari lagu yang akan diputar.

“Gue suka banget lagu ini.”

Pada saat mendengarkan intronya, aku tidak mengenali lagu yang diputar Everist. Tapi saat mendengarkan sebait liriknya, bukankah ini lagu lawas?

“Jangan ganggu gue, gue mau mengenang.” Everist memperhatikan jalan di depan sambil mulutnya terus mengunyah.

“Emang mengenang siapa? Mantan pacar gak jadi?” Aku iseng meledek Everist yang hanya menatapku datar.

 

 

 

EVERIST FIRSTA

Lagu zaman dulu milik Nano Band ini, memang mengingatkanku pada seseorang yang tak dapat kumiliki karena suatu hal. Tapi, dengan mendengarkan lagunya saja, jiwaku seolah terbang ke masa itu. Dan apakah orang yang berada di sampingku saat ini tahu kalau aku benar-benar sedang bermimpi bertualang bersama dia? Ya walau alasan klasiknya adalah demi tugas negara.

Iss, Albio tahu saja kalau aku punya mantan pacar khayalan.

“Ambilin koin dong buat pak ogah.” Albio membuka kaca mobil dan menyuruhku mengambil uang koin di jok mobilnya saat hendak memutar balik mobil menuju pintu tol.

“Gak ah, gue gak mau.” Aku bergidik sambil menjauh.

“Ya elah, tibang ambilin doang susah amat.”

Albio susah payah mengambil koin menggunakan tangan kirinya di laci dashboard. Dan saat Albio memberilkan koin itu kepada pak ogah, bunyinya nyaring, sangat khas. 

Seluruh badanku terasa gemetar. Aku rasanya ingin meludah. Sungguh, aku alergi dengan rupa uang koin, bunyi, dan baunya.

“Lo kenapa sih? Kayak yang jijik banget lihat uang recehan? Oh, gue tahu, lo sukanya sama yang warna merah kan?”

“Gue emang geli lihat uang koin, apalagi suruh pegang.” Jawabku.

Albio menatapku heran. Kedua alisnya terpaut.

“Sejak kapan?” Tanya Albio serius.

“Sejak gue kecil.”

“Terus kalau lo pegang kembalian uang koin, lo pegang pake apa dong?”

“Gue gak pernah berani pegang. Gue siapin dompet khusus uang koin. Kasir suruh masukin sendiri ke dompet gue.”

“Oh, iya. Lupa gue. Sorry.” Katanya menyesal.

Ah, Albio menggangguku saja nih. Aku kan lagi fokus mendengarkan lagu milik Nano. Gara-gara uang koin, aku jadi tidak dapat mendengarkan secara seksama lagu nan penuh kenangan. Aku putar ulang saja deh. 

Bisa-bisanya dia lupa kelemahanku ini. Tapi, tak apalah, aku bisa maklum kalau ingatan laki-laki itu 30% lebih tumpul dibandingkan wanita. Mungkin faktor gen laki-laki yang dasarnya cuek dan tidak peka.

Bawalah aku ke dalam mimpimu

Aku tak kan kecewakan kamu

Walau pun itu semua hanyalah sebatas mimpi

Jadikan aku kekasih hatimu

Aku menginginkan kamu

Sungguh-sungguh merasa kujatuh cinta

Pada dirimu…

 

Duh, tiba-tiba hatiku meleleh mendengarkan lirik lagu Nano Band  ini. Dan tak lama kemudian, Albio kembali mengusik ketenanganku.

“Biasa aja kali dengerinnya. Gak usah baper gitu.”

“Apa sih,”

“Gue bagi lagi dong rotinya. Masih laper gue.” Albio memperhatikan isi kotak Tupperwareku yang tersisa satu potong kecil roti tawar.

“Nih, abisin aja. Biar lo kuat menghadapi kenyataan hidup.” Aku menyodorkannya pada Albio yang terlihat heran menatapku.

Tiba-tiba Albio mengerem mobilnya secara mendadak, dan aku tersedak.

“Apa sih Bio? Ada kucing nyebrang?” tanyaku sembari mengomel lantaran jantungku hampir copot dibuatnya.

Albio bukanya menjawab pertanyaanku, malah celingukan. Ada apa ya? Kok aku jadi penasaran.

“Bio, lo kenapa sih?”

“Lunetta ultah kan ya hari ini? Gue sampe lupa belum ngucapin.”

Astaga, aku pikir ada kucing menyeberang jalan, makanya dia ngerem mendadak. Ternyata dia teringat tanggal ulang tahun Lunetta. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia memang benar-benar menyukai Lunetta.

“Cie, cie, keinget TTM-an. Mending lo minggir dulu sebelum masuk tol. Terus kita telepon Lunetta sekarang.

Kenapa ya, semakin ke sini Albio semakin menunjukan sikap perhatian dan pedulinya pada Lunetta. Padahal, sebelumnya ia tampak cuek dan masa bodoh dengan semua perempuan. Apa benar dia menyukai Lunetta?

 

 

 

 

 

 

 

(Di tempat berbeda)

LUNETTA VERICA

Saat sedang melamun, Iban tiba-tiba menimpukku dengan kertas.

“Baca!” katanya.

Aku pun membuka kepalan kertas coretan tangan Iban yang jelek itu.

“Cabut yuk, laper banget gue.”

“Belum jam maksi.” Jawabku malas.

“Gak apa-apa, gak ada Willy Love You ini. Ayolah temenin gue!” Iban menghampiri kubikelku dan menarik paksa aku dari kursi.

“Tapi, ada Ibu Tiri.”

“Santuy aja ama dia mah. Paling dapat surat cinta lagi.” Faris kini malah ikut-ikutan menarikku.

“Ogah, gue. Cukup sekali aja dikasiih surat cintanya.”

Dan aku bagai kura-kura rapuh tak berdaya. Aku pasrah. Ditarik kanan ditarik kiri. Arrrgghhh… rasanya pengen menyublim saja dari dua cucunguk tak berperi-kemanusiaan ini.

Sepanjang perjalanan ke kantin, Iban dan Faris menggamit lenganku.

Aku bagaikan Ratu Elizabeth yang sedang dikawal oleh dua algojo sembrono. Berharap dipapah di red carpet menuju singgasana, tapi kenyataannya di jalanan aspal tanpa sehelai karpet merah. 

Setibanya di kantin, Bu Imelda, Zena, dan Bang Chandra memberikan kejutan. Mereka sudah ada di sana lebih dulu.

“Surepriseeeeeee….” Katanya serempak.

“Oh, jadi gara-gara ini gue suruh ke kantin sekarang. Boleh juga.” Aku manggut-manggut dengan akal bulus Iban dan Faris.

“Lo pikir gue ke sini mau apa? Mau minta ditraktir, ngehe.” Seru iban.

“Kampret lu!” Aku menjitak Iban dan duduk di sampingnya.

Tak lama, ada panggilan video dari Everist.

“Hy, Lun, Happy Birthday ya, moga makin sukses dan selalu bahagia. Btw, ada salam dari Albio, nih.” Everist menunjukan wajah Albio yang sedang tersenyum malu.

“Met ultah ya, Ta, semoga semua keinginan lo terwujud dan makin bahagia lahir batin.”

“Amiiinnnn” Semuanya menjawab kompak. Sampai-sampai bapak yang sedang menggoreng bebek pun menoleh.

“Makasih ya, Ev, Bio, udah inget sama ultah gue. Terharuuuu… Jangan lupa bolu Kartika ya..” Aku meremas kencang tangan Iban, lebih tepatnya mencubit. Iban mengaduh sambil melotot.

“Eh, lo udah sampe mana? Cari yang ada kolam renangnya ya? Gue mau berendam di sana. Hati-hati sama Everist, gue pernah digigit dia, sakit banget. Untung gak rabies.” Iban merebut ponselku dan mulai mengaku-aku bahwa itu gadget miliknya.

“Lo pikir gue tikus sejenis drakula yang main gigit? Baru mau masuk tol. Mau video call sama yang ultah dulu.” Jawab Everist sambil cekikikan.

“Udah dulu ya, gue takut diciduk satpol PP nih karena berhenti terlalu lama bikin macet. Jangan lupa traktirannya ya, besok gue tagih.” Albio terkekeuh.

“Emang siapa juga yang mau nraktir lo, Bio. Huh!” kataku seraya merebut kembali gadgetku dari tangan Iban yang kini sibuk memainkan poni baruku.

“Ayo dong, tiup lilinnya. Gue udah gak sabar mau makan kue ultah.” Faris menyeretku tepat di kue ulang tahun.

WISH dulu dong.” Bu Imelda membelaku. Zena dan Faris kini berebut pisau plastik.

“Jangan wish si Iban, Lun, RUGIII!” Bang Chandra menimpuk Iban dengan sumpit.

Padahal baru saja aku ingin menyematkan doa berisi nama Iban di wish ulang tahunku ini. Seakan Bang Chandra bisa menebak isi hatiku.

Ya Tuhan, aku ingin Iban peka sedikit saja tentang perasaanku. Kalau selama ini aku selalu terhibur oleh candaannya. Meski dia sering membuatku kesal, tapi dia selalu ada di saat aku butuh. Aku sangat membutuhkan sosok sepertinya.

Belum juga selesai berdoa, Faris dan Zena sudah mengotori wajahku dengan lumuran kue dan kompak mengatakan ‘AAAAAMIIINNN…”

“Panjang banget sih lo doanya. Kita keburu laper.” Ungkap Iban yang langsung mencomot kue ulang tahun yang disiapkan Bu Imelda.

 Gak sopan banget. Dasar Iban kampret!!!

 

 

EVERIST FIRSTA

Kenapa setelah menelepon Lunetta barusan, hatiku pilu? Apa aku cemburu? Bukankah aku curiga kalau Albio memang menyukai Lunetta? Rasanya aneh saja, kenapa aku tiba-tiba sendu begini. Pura-pura ceria di depan orang yang mungkin tak mengerti perasaanku, sungguh bukan perkara mudah. Aku harus pandai menyembunyikan perasaan itu.

Albio mulai tancap gas lagi. Kita sudah antri masuk tol. Tidak ada percakapan apa pun. Tidak ada lantunan lagu, juga obrolan. Hening. Hanya bunyi gaduh mesin kendaraan roda empat yang memenuhi gendang telingaku. 

Ya, Tuhan, haruskah aku cemburu dengan sahabatku sendiri? Rasanya ini sulit kumengerti.

“Lo kenapa?” Albio menginjak kaki kananku dengan sepatunya. Untung saja aku pakai sneakers, kalau tidak bisa lecet kena sepatu semi booth milik Albio.

“Gak kenapa-napa. Emang kenapa?” Duh, semestinya aku tidak mengatakan hal ini pada Albio. Nanti dia curiga.

“Aneh aja lo jadi diem sejak telepon Lunetta barusan. Gak mau denger lagu lagi?”

“Nggak ah, gue ngantuk mau tidur.” Aku menaruh kotak tiupperware ke dalam ranselku.

“Curang lo.”

“Curang kenapa?”

“Ya, kalau lo tidur, gue ngobrol sama siapa? Sama setir? Tar kalau gue ikutan ngantuk kan bahaya.” Albio menempelkan kartu elektrik saat transaksi tol masuk.

Oh iya, aku lupa kalau hari ini aku bertugas menjadi pasangan Albio. Bahaya kan kalau dia ngantuk di tengah-tengah perjalanan. Aku kan tidak bisa mengendarai mobil. Jadi, aku tidak dapat menggantikan menyetir kalau Albio lelah dan mengantuk parah.

“Iya, iya, gak jadi tidur. Tapi lo nyanyi dulu.”

“Gak mau. “

“Tapi gue mau dengerin lo nyanyi. Please… sekali aja. Kalau gak mau, gue tidur nih.”

“Ya udah tidur aja sana. Daripada gue suruh nyanyi. Tar kalau gue ngantuk beneran terus nabrak, lo jangan salahin gue ya.”

“Isss… Gitu banget.”

 

 

ALBIO VARGASBARA

Everist memanyunkan bibirnya lima centi meter. Suruh siapa berani mengancamku, akan kuancam balik. Rasakan kau Everist, skak mat deh. 

Lagipula, tumben dia mendadak jadi pendiam. Biasanya seperti radio dobol yang tak henti bicara. Kalau dia diam begini, aku bisa saja mengantuk. Lebih baik aku mendengarkan musik kesukaanku saja. 

Cewek itu memang aneh. Kadang dia ceria, beberapa detik kemudian menjadi sangat pendiam. Ditanya kenapa, jawabnya gak apa-apa. Apa mungkin dia sedang PMS ya? Bodo amat lah, aku harus fokus menyetir.  Setengah jam lagi juga pasti sudah berubah mood-nya. 

Dasar cewek. Gelagatnya memang selalu membingungkan. Makanya aku malas pacaran.

 

Rabu, 03 November 2021

PARALEL - BAB 6 #NOVELSERIES

 PANITIA HUT OFFICE



ALBIO VARGASBARA

 Usai menyantap makan siang, Bu Tira meneleponku. Dia memintaku dan Eversit ke ruangannya sekarang. Duh, ada perkara apa lagi ya? Mau kasih SP-2? Perasaanku mendadak jadi tidak enak nih. Atau, jangan-jangan dia mau memberikan ucapan selamat ulang tahun untukku? Ah, rasanya tidak mungkin. 

Atau, justru dia mau kasih kejutan, “Albio, karena kamu ulang tahun hari ini, saya beri kamu tiket liburan ke Bali selama seminggu.” Ah, kurasa itu juga tidak mungkin terjadi.

 

Daripada asal menebak dan mengira-ngira, lebih baik aku ke ruangannya saja.

“Rist, lo suruh ke ruangan Bu Tira. SEKARANG! Gak pakai nanti!” Aku pura-pura santai di bangkuku. Tidak ingin Everist panik lantaran aku dan dia saja yang dipanggil.

“Gue doang? Anterin yuk!”

Hah? Everist minta aku mengantarnya? Kan aku lagi ngerjain dia. Aku ingin dia sampai duluan ke ruangan Bu Tira, lalu Bu Tira bertanya, ‘Albionya mana?” Dan kemudian Everist bingung.

“Ayo, Bio, anterin gue. Kan dia sayang banget sama lo.”

“Ogah, orang lo yang dipanggil.”

“Ah, lo mah gitu. Gak boong kan?” Everist menghardikku.

“Ngapain gue bohong.”

Aku melihat Iban dan Lunetta bertatapan dan saling tanya.

“Beneran, Bio?” Tanya Lunetta.

“Ya kali, gue bohong.”

“Udah sana, Nung, keburu mak tiri ngamuk loh kelamaan.” Iban mengompori.

“SEMANGAT EVERIST! SEMANGAT EVERIST! MAU DAPAT DOORPRIZE!” Bang Chandra dan Faris ikut memberikan yel-yel semangat.

Antara ragu dan yakin, Everist akhirnya bangkit dari kursinya setelah Lunetta berhasil meyakinkannya kalau aku benar-benar berkata serius.

 

 

 

 

EVERIST FIRSTA

Bulu romaku kok merinding ya saat Albio memintaku untuk ke ruangan Bu Tira. Apa ini jebakan Batman? Aduh, aku belum siap nih menghadapi kenyataan tak mengenakan nanti? 

Tiba di depan pintu, aku mencoba menarik napas, lalu menghebuskannya pelan-pelan. Kulakukan ini beberapa kali agar detak jantungku berdetak normal.

Namun, sebelum aku ketuk pintu ruangan Bu Tira, makhluk mengerikan itu membuka pintu dengan sendirinya. Di belakangku, Bu Imelda dan Zena saling pandang, dan bertanya-tanya dengan bahasa tubuh mereka. Aku menggeleng, sambil memberanikan diri mengucapkan tiga patah kata.

Aku                        : Ibu panggil saya?

Mak Lampir        : ANDA SIAPA???

DEG.

Aku benar-benar deg-degan. Bagaimana ini? Apa Bu Tira mau kasih tahu aku kalau aku juga kebagian surat peringatan tempo hari waktu Iban menyeret namaku dalam kasus resign berjamaan? Hmm, aku sungguh kacau balau memikirkan hal yang tidak-tidak.

“Masuk!” Bu Tira menyuruhku masuk, tapi dia malah keluar. Sepertinya hendak ke ruangan Finance. Beberapa detik selanjutnya, mak lampir menghampiriku di ruangan panas ini.

“Duduk!” Bu Tira menyilakanku duduk di kursi panasnya. “Albio mana?”

Albio? Tadi bukannya Albio hanya memintaku datang sendirian ke ruangan Bu Tira? Duh, pasti ada yang tidak beres.

Sebelum aku menjawab tidak tahu, Albio muncul dari daun pintu.

“Duduk!” Bu Tira mengeluarkan selembar kertas dan bolpoint warna merah.

Tidak berselang lama, Veronica ikut bergabung dengan kami. Sebenarnya ada apa ya?

“Mana yang lain? Kalau disuruh ngadep tuh pada ngaret. Gak tahu apa ya saya sibuk? Kuteks kamu ganti zebra?” Bu Tira mendumel sembari mengomentari warna cat kuku Veronica yang bertemakan zebra cross. Aku sungguh tak kuasa menahan tawa.

“Kenapa kamu tertawa, Everist? Lucu ya? Saya juga pengen ketawa… Hahaha.” Sumpah, baru kali ini aku melihat Bu Tira agak-agak stres.

Kukira Veronica akan marah karena diledeki kukunya mirip penyeberangan jalan. Tapi, dia juga ikutan tertawa. “Unik kan, Bu? Besok temanya Halloween loh, Bu.”

“Saya gak nanya tuh.”

“Hahaha,” Albio kali ini tak kuasa menahan ledakan tawanya yang renyah. Kumis dan jenggot tipisnya ikut bergoyang senada bibirnya bergerak. Manis sekali dapat melihat seluruh deretan gigi putihnya.

   Saat beberapa manusia sudah lengkap menurut Ibu Tiri, Veronica mulai presentasi. Gayanya mirip sekretaris sungguhan. Biasanya kan aku melihat dia tuh kayak abege labil yang super manja.

    “Ok, karena sudah komplit, saya mewakili Pak William, ingin menyampaikan beberapa hal dalam meeting siang ini. Udah ngopi belum nih, abang-abang?”

Huhhhh…. Mulai deh dia kecentilan.

“Belum, Neng, bisa seduhin gak?” Wildan dari divisi marketing langsung menjawab semangat.

“Kopi susu ya, Neng, nikmat pasti.” Raka dari divisi IT ikut berkomentar.

“Belum dua kali nih Vero…. Mau buatin lagi gak biar mata Aa berkilau.” Sopian dari divisi design ikut meramaikan komentar nyeleneh.

“Lu pikir mata lu senter bisa nyala.” Ceplos Bu Tira asal jeplak. Aku dan para peserta rapat tertawa lagi. Tumben nih, Bu Tira bisa bercanda. Biasanya dia kaku macam kutu.

“Jadi, bulan depan kan kita mau ulang tahun nih. Kantor kita ya… Nah, Pak William kemarin telepon Vero, diminta untuk membentuk panitia tim. Yang ada sekarang nih di ruangan Bu Tira, itu hasil seleksi Bu Tira dan Pak William ya, bukan dari Vero.” Veronica membuka tutup spidol dan menuliskan nama panitia di papan tulis.

“Albio dan Everist bertugas untuk budgeting, survey lokasi, dan dekorasi ruangan ya... Albio juga bertugas sebagai documenter juga.”

“Banyak amat tugas gue, Ver.” Protes Albio.

“Hehehe. Karena yang jago photographer kan Cuma Abang Albio. Biar kenangannya manis kayak Bang Bio. Hehehe.”

Duh, jago benar nih Veronica merayu Albio. Pantas saja Willy Love You betah lama-lama punya sekretaris seperti dia. Aku perhatikan muka Albio ditekuk dan bibirnya sedikit maju. Dia seperti keberatan mengemban tugas-tugasnya. Tapi, lucu juga kalau melihat Albio kesal.

“Nah, Raka, Devi, Lana, dan Eva  seksi konsumsi, atur catering dari berangkat sampai selesai. Serta Anggarannya tolong info ke Albio dan Everist. Untuk pembayaran nanti bisa langsung kontak tim finance. Budgetnya tolong dibuatkan proposalnya dulu ya, Bio ganteng... “

Ih, Veronica demen banget sih godain cowok, heran gue.

            "Untuk dekor jangan berdua aja dong, pasti ribet harus naik-naik tangga, dan banyak perintilannya." Albio mengusulkan pendapatnya. 

            Benar juga sih, kalau hanya berdua, repot banget pasti. 

            "Ok, nanti Raka dan Devi ikut bantu ya." 

             "Vero bantu apa?" Raka iseng menggoda. 

             "Vero ngapain ya? Jadi seksi pengawas kali ya. Hehehe" 

             GUBRAK!!!

            "Lokasinya mau ambil di mana?" aku mulai mencari-cari tempat bersantai paling eksotis nan menenangkan jiwa. 

Duh, gak kebayang kalau liburan nanti bareng Albio, kemana-mana berdua karena ditugaskan bersama. 

Namun, belum selesai aku mengkhayal, Albio mencubit lenganku. Aw, sakit sekaliiiiii...

"Terserah, mau pantai, puncak, atau pulau." Ucap Veronica.

"Kita ke puncak saja. Terserah mau Bogor atau Bandung." Bu Tira buka suara.

Ok, kalau cluenya sudah dapat kan enak. "Ke Bandung saja kalau begitu, Bu. Nanti saya akan pilihkan beberapa referensi tempat yang bagus buat petualangan kita.” Celetukku girang.

"Kamu enak masih muda bisa lari-lari, lah saya, encok yang ada." Bu Tira komplain. Peserta rapat senyum-senyum simpul, tidak berani tertawa keras, takut disetrap.

"Terus nanti, ada buat seragam juga gak? Biar saya carikan langsung. Mau warna apa bu? Tahun kemarin kan biru, gimana kalau sekarang ungu. Biar anti maInstream." Dika mengusulkan ide.

“Jangan ungu ah, gue gak suka. Kayak terong.” Aku langsung memotong usulan aneh Dika.

“Pink aja. Hehehe.” Veronica mengusulkan ide yang lebih aneh.

“Jangan pink dong, nanti yang cowok gak maco lagi. Jadi kalem kayak Vero.”

Aku setuju dengan Wildan, nanti Albio yang ganteng jadi cantik, kan gak lucu. Huhuhu.

“Kalau bisa warna cerah." Usul Bu Tira.

"Acaranya nanti di sana ngapain aja, Ver? Biar kita ada gambaran nih." tanya Albio.

“Kalau Vero diskusi dengan Bu Tira, di sini ada games gemez dan pentas seni. Nanti tolong buat kelompok ya, Devi dan Dika. Per kelompok maksimal 10 orang. Gabung divisi ya."

"Asik, ada pentas seni. Seru banget pasti.”

"Ada tukar kado juga gak?" tanyaku menggebu-gebu. Bagian ini yang paling aku suka saat outing kantor.

"Ada dong, budgetnya per orang 100.000 ya. Kwitansinya nanti disertakan di kado.

"Doorprise ada juga kan?" Nah, Albio mewakili pertanyaanku selanjutnya.

"Mmm... Ada gak Bu Tira?" Veronica melempar pertanyaan kepada Mak Lampir yang sedang memperhatikan kami satu per satu macam guru BP.

"Ada gak ya? Lihat nanti saja."

Ah, jawaban Bu Tira tidak memuaskan. Penonton kecewa deh.