CEMBURU
ALBIO VARGASBARRA
Pagi ini aku terpaksa membawa mobil sendiri dari rumah. Berhubung Pak Kipli, supir kantor cuti dadakan. Ada keperluan keluarga katanya. Daripada aku harus ke kantor dulu untuk mengambil mobil operasional, lebih baik aku modal sendiri saja. Dobel waktu dan tenaga. Kalau bensin, sudah pasti diklaim kantor.
Semalam aku sudah janjian akan menjemput Everist di depan rumahnya. Itu artinya, seharian ini aku akan bertugas menjadi supirnya Everist. Menjemputnya ke rumah dan mengantarkannya pulang.
Sebenarnya jarak rumahku ke rumahnya terbilang lumayan dekat, hanya berkisar enam kilometer saja. Tapi, tetap saja rasanya malas sekali dipasangkan dengan wanita aneh macam dia. Kenapa tidak sama Lunetta giu loh? Yang mukanya enak dipandang, dan gemesin? Bu Tira ada angin apa sih memasangkan aku dengan cewek absurd nan langka macam Everist?
“Pagi bener! Gak bisa tidur ya?”
Everist mengintip jendela kaca saat mobilku berhenti di titik maps sharelocation yang ia bagikan untukku. Tanpa basa-basi, dia langsung membuka pintu depan dan memakai sabuk pengaman.
“Eh, kok lo di depan sih? Belakang sana!" Kataku bercanda.
“Yakin lu mau gue panggil abang supir?” Everist malah meleletkan lidah.
Siap-siap deh kalau begini ceritanya. Seharian bakalan pusing kepalaku menghadapi perilaku Everist yang susah ditebak.
“Lo udah pernah ke sana?” tanyaku membahas beberapa tempat yang dipilihkan Everist untuk lokasi outing kantor.
“Belum lah. Gue kan baru lihat review di Instagram, dan pengen tahu aslinya. Kan kita emang ditugasin buat survey.”
Tuh kan, baru sedetik saja bertemu dengan Everist, hatiku sudah kesal. Mana ada dua tempat yang akan kami survey hari ini; Lembang dan Ciwidey. Semoga saja seharian bisa selesai dengan lancar tanpa a-i-u-e-o.
“Lo udah sarapan? Gue bawa bekel nih.” Everist membuka kotak Tupperware berisi roti tawar isi. Ah, itu mah mamah juga sering buatkan. Tapi, boleh deh daripada aku harus mencari rest area terdekat. Nanti malah bisa mengulur waktu.
Sebenarnya aku gengsi, tapi apa daya perutku perih. Jadi, aku comot saja satu potong roti tawar dari kotak makan Everist.
“Laper ya? Malu-malu.” Everist mengunyah rotinya dengan sangat nikmat sambil meledekku. Sialan, jangan bikin mukaku merah dong.
“Eh, Bio, gue boleh request lagu gak?”
“Puter aja sendiri.”
Everist menghubungkan ponselnya ke car MP3 player. Dan dia mulai mencari-cari lagu yang akan diputar.
“Gue suka banget lagu ini.”
Pada saat mendengarkan intronya, aku tidak mengenali lagu yang diputar Everist. Tapi saat mendengarkan sebait liriknya, bukankah ini lagu lawas?
“Jangan ganggu gue, gue mau mengenang.” Everist memperhatikan jalan di depan sambil mulutnya terus mengunyah.
“Emang mengenang siapa? Mantan pacar gak jadi?” Aku iseng meledek Everist yang hanya menatapku datar.
EVERIST FIRSTA
Lagu zaman dulu milik Nano Band ini, memang mengingatkanku pada seseorang yang tak dapat kumiliki karena suatu hal. Tapi, dengan mendengarkan lagunya saja, jiwaku seolah terbang ke masa itu. Dan apakah orang yang berada di sampingku saat ini tahu kalau aku benar-benar sedang bermimpi bertualang bersama dia? Ya walau alasan klasiknya adalah demi tugas negara.
Iss, Albio tahu saja kalau aku punya mantan pacar khayalan.
“Ambilin koin dong buat pak ogah.” Albio membuka kaca mobil dan menyuruhku mengambil uang koin di jok mobilnya saat hendak memutar balik mobil menuju pintu tol.
“Gak ah, gue gak mau.” Aku bergidik sambil menjauh.
“Ya elah, tibang ambilin doang susah amat.”
Albio susah payah mengambil koin menggunakan tangan kirinya di laci dashboard. Dan saat Albio memberilkan koin itu kepada pak ogah, bunyinya nyaring, sangat khas.
Seluruh badanku terasa gemetar. Aku rasanya ingin meludah. Sungguh, aku alergi dengan rupa uang koin, bunyi, dan baunya.
“Lo kenapa sih? Kayak yang jijik banget lihat uang recehan? Oh, gue tahu, lo sukanya sama yang warna merah kan?”
“Gue emang geli lihat uang koin, apalagi suruh pegang.” Jawabku.
Albio menatapku heran. Kedua alisnya terpaut.
“Sejak kapan?” Tanya Albio serius.
“Sejak gue kecil.”
“Terus kalau lo pegang kembalian uang koin, lo pegang pake apa dong?”
“Gue gak pernah berani pegang. Gue siapin dompet khusus uang koin. Kasir suruh masukin sendiri ke dompet gue.”
“Oh, iya. Lupa gue. Sorry.” Katanya menyesal.
Ah, Albio menggangguku saja nih. Aku kan lagi fokus mendengarkan lagu milik Nano. Gara-gara uang koin, aku jadi tidak dapat mendengarkan secara seksama lagu nan penuh kenangan. Aku putar ulang saja deh.
Bisa-bisanya dia lupa kelemahanku ini. Tapi, tak apalah, aku bisa maklum kalau ingatan laki-laki itu 30% lebih tumpul dibandingkan wanita. Mungkin faktor gen laki-laki yang dasarnya cuek dan tidak peka.
Bawalah aku ke dalam mimpimu
Aku tak kan kecewakan kamu
Walau pun itu semua hanyalah sebatas mimpi
Jadikan aku kekasih hatimu
Aku menginginkan kamu
Sungguh-sungguh merasa kujatuh cinta
Pada dirimu…
Duh, tiba-tiba hatiku meleleh mendengarkan lirik lagu Nano Band ini. Dan tak lama kemudian, Albio kembali mengusik ketenanganku.
“Biasa aja kali dengerinnya. Gak usah baper gitu.”
“Apa sih,”
“Gue bagi lagi dong rotinya. Masih laper gue.” Albio memperhatikan isi kotak Tupperwareku yang tersisa satu potong kecil roti tawar.
“Nih, abisin aja. Biar lo kuat menghadapi kenyataan hidup.” Aku menyodorkannya pada Albio yang terlihat heran menatapku.
Tiba-tiba Albio mengerem mobilnya secara mendadak, dan aku tersedak.
“Apa sih Bio? Ada kucing nyebrang?” tanyaku sembari mengomel lantaran jantungku hampir copot dibuatnya.
Albio bukanya menjawab pertanyaanku, malah celingukan. Ada apa ya? Kok aku jadi penasaran.
“Bio, lo kenapa sih?”
“Lunetta ultah kan ya hari ini? Gue sampe lupa belum ngucapin.”
Astaga, aku pikir ada kucing menyeberang jalan, makanya dia ngerem mendadak. Ternyata dia teringat tanggal ulang tahun Lunetta. Aku jadi curiga, jangan-jangan dia memang benar-benar menyukai Lunetta.
“Cie, cie, keinget TTM-an. Mending lo minggir dulu sebelum masuk tol. Terus kita telepon Lunetta sekarang.
Kenapa ya, semakin ke sini Albio semakin menunjukan sikap perhatian dan pedulinya pada Lunetta. Padahal, sebelumnya ia tampak cuek dan masa bodoh dengan semua perempuan. Apa benar dia menyukai Lunetta?
(Di tempat berbeda)
LUNETTA VERICA
Saat sedang melamun, Iban tiba-tiba menimpukku dengan kertas.
“Baca!” katanya.
Aku pun membuka kepalan kertas coretan tangan Iban yang jelek itu.
“Cabut yuk, laper banget gue.”
“Belum jam maksi.” Jawabku malas.
“Gak apa-apa, gak ada Willy Love You ini. Ayolah temenin gue!” Iban menghampiri kubikelku dan menarik paksa aku dari kursi.
“Tapi, ada Ibu Tiri.”
“Santuy aja ama dia mah. Paling dapat surat cinta lagi.” Faris kini malah ikut-ikutan menarikku.
“Ogah, gue. Cukup sekali aja dikasiih surat cintanya.”
Dan aku bagai kura-kura rapuh tak berdaya. Aku pasrah. Ditarik kanan ditarik kiri. Arrrgghhh… rasanya pengen menyublim saja dari dua cucunguk tak berperi-kemanusiaan ini.
Sepanjang perjalanan ke kantin, Iban dan Faris menggamit lenganku.
Aku bagaikan Ratu Elizabeth yang sedang dikawal oleh dua algojo sembrono. Berharap dipapah di red carpet menuju singgasana, tapi kenyataannya di jalanan aspal tanpa sehelai karpet merah.
Setibanya di kantin, Bu Imelda, Zena, dan Bang Chandra memberikan kejutan. Mereka sudah ada di sana lebih dulu.
“Surepriseeeeeee….” Katanya serempak.
“Oh, jadi gara-gara ini gue suruh ke kantin sekarang. Boleh juga.” Aku manggut-manggut dengan akal bulus Iban dan Faris.
“Lo pikir gue ke sini mau apa? Mau minta ditraktir, ngehe.” Seru iban.
“Kampret lu!” Aku menjitak Iban dan duduk di sampingnya.
Tak lama, ada panggilan video dari Everist.
“Hy, Lun, Happy Birthday ya, moga makin sukses dan selalu bahagia. Btw, ada salam dari Albio, nih.” Everist menunjukan wajah Albio yang sedang tersenyum malu.
“Met ultah ya, Ta, semoga semua keinginan lo terwujud dan makin bahagia lahir batin.”
“Amiiinnnn” Semuanya menjawab kompak. Sampai-sampai bapak yang sedang menggoreng bebek pun menoleh.
“Makasih ya, Ev, Bio, udah inget sama ultah gue. Terharuuuu… Jangan lupa bolu Kartika ya..” Aku meremas kencang tangan Iban, lebih tepatnya mencubit. Iban mengaduh sambil melotot.
“Eh, lo udah sampe mana? Cari yang ada kolam renangnya ya? Gue mau berendam di sana. Hati-hati sama Everist, gue pernah digigit dia, sakit banget. Untung gak rabies.” Iban merebut ponselku dan mulai mengaku-aku bahwa itu gadget miliknya.
“Lo pikir gue tikus sejenis drakula yang main gigit? Baru mau masuk tol. Mau video call sama yang ultah dulu.” Jawab Everist sambil cekikikan.
“Udah dulu ya, gue takut diciduk satpol PP nih karena berhenti terlalu lama bikin macet. Jangan lupa traktirannya ya, besok gue tagih.” Albio terkekeuh.
“Emang siapa juga yang mau nraktir lo, Bio. Huh!” kataku seraya merebut kembali gadgetku dari tangan Iban yang kini sibuk memainkan poni baruku.
“Ayo dong, tiup lilinnya. Gue udah gak sabar mau makan kue ultah.” Faris menyeretku tepat di kue ulang tahun.
“WISH dulu dong.” Bu Imelda membelaku. Zena dan Faris kini berebut pisau plastik.
“Jangan wish si Iban, Lun, RUGIII!” Bang Chandra menimpuk Iban dengan sumpit.
Padahal baru saja aku ingin menyematkan doa berisi nama Iban di wish ulang tahunku ini. Seakan Bang Chandra bisa menebak isi hatiku.
Ya Tuhan, aku ingin Iban peka sedikit saja tentang perasaanku. Kalau selama ini aku selalu terhibur oleh candaannya. Meski dia sering membuatku kesal, tapi dia selalu ada di saat aku butuh. Aku sangat membutuhkan sosok sepertinya.
Belum juga selesai berdoa, Faris dan Zena sudah mengotori wajahku dengan lumuran kue dan kompak mengatakan ‘AAAAAMIIINNN…”
“Panjang banget sih lo doanya. Kita keburu laper.” Ungkap Iban yang langsung mencomot kue ulang tahun yang disiapkan Bu Imelda.
Gak sopan banget. Dasar Iban kampret!!!
EVERIST FIRSTA
Kenapa setelah menelepon Lunetta barusan, hatiku pilu? Apa aku cemburu? Bukankah aku curiga kalau Albio memang menyukai Lunetta? Rasanya aneh saja, kenapa aku tiba-tiba sendu begini. Pura-pura ceria di depan orang yang mungkin tak mengerti perasaanku, sungguh bukan perkara mudah. Aku harus pandai menyembunyikan perasaan itu.
Albio mulai tancap gas lagi. Kita sudah antri masuk tol. Tidak ada percakapan apa pun. Tidak ada lantunan lagu, juga obrolan. Hening. Hanya bunyi gaduh mesin kendaraan roda empat yang memenuhi gendang telingaku.
Ya, Tuhan, haruskah aku cemburu dengan sahabatku sendiri? Rasanya ini sulit kumengerti.
“Lo kenapa?” Albio menginjak kaki kananku dengan sepatunya. Untung saja aku pakai sneakers, kalau tidak bisa lecet kena sepatu semi booth milik Albio.
“Gak kenapa-napa. Emang kenapa?” Duh, semestinya aku tidak mengatakan hal ini pada Albio. Nanti dia curiga.
“Aneh aja lo jadi diem sejak telepon Lunetta barusan. Gak mau denger lagu lagi?”
“Nggak ah, gue ngantuk mau tidur.” Aku menaruh kotak tiupperware ke dalam ranselku.
“Curang lo.”
“Curang kenapa?”
“Ya, kalau lo tidur, gue ngobrol sama siapa? Sama setir? Tar kalau gue ikutan ngantuk kan bahaya.” Albio menempelkan kartu elektrik saat transaksi tol masuk.
Oh iya, aku lupa kalau hari ini aku bertugas menjadi pasangan Albio. Bahaya kan kalau dia ngantuk di tengah-tengah perjalanan. Aku kan tidak bisa mengendarai mobil. Jadi, aku tidak dapat menggantikan menyetir kalau Albio lelah dan mengantuk parah.
“Iya, iya, gak jadi tidur. Tapi lo nyanyi dulu.”
“Gak mau. “
“Tapi gue mau dengerin lo nyanyi. Please… sekali aja. Kalau gak mau, gue tidur nih.”
“Ya udah tidur aja sana. Daripada gue suruh nyanyi. Tar kalau gue ngantuk beneran terus nabrak, lo jangan salahin gue ya.”
“Isss… Gitu banget.”
ALBIO VARGASBARA
Everist memanyunkan bibirnya lima centi meter. Suruh siapa berani mengancamku, akan kuancam balik. Rasakan kau Everist, skak mat deh.
Lagipula, tumben dia mendadak jadi pendiam. Biasanya seperti radio dobol yang tak henti bicara. Kalau dia diam begini, aku bisa saja mengantuk. Lebih baik aku mendengarkan musik kesukaanku saja.
Cewek itu memang aneh. Kadang dia ceria, beberapa detik kemudian menjadi sangat pendiam. Ditanya kenapa, jawabnya gak apa-apa. Apa mungkin dia sedang PMS ya? Bodo amat lah, aku harus fokus menyetir. Setengah jam lagi juga pasti sudah berubah mood-nya.
Dasar cewek. Gelagatnya memang selalu membingungkan. Makanya aku malas pacaran.