Kamis, 14 Januari 2016

#DiaryNalla - Kesal yang Beralasan

Jakarta, 14 Januari 2016

Pukul 10 WIB (aku sendiri tidak memperhatikan tepat di angka berapa jarum panjang jam bergeser), ibukota digemparkan berita dahsyat. Pos polisi di seberang Gedung Sarinah, Thamrin, porak poranda oleh bom sejenis granat yang sengaja dilemparkan oleh pihak tak bertanggungjawab, entah ada modus apa di balik peristiwa itu. Desas-desus yang beredar di media mengatakan, tragedi berdarah itu merupakan bom bunuh diri. Sebagian ada yang berpendapat kalau insiden yang menewaskan tujuh orang itu semata-mata karena motif balas dendam, kepentingan politik. Ada juga yang berkomentar sebagai pengalihan isu penyerahan saham Freeport Indonesia pada pemerintah yang semestinya dilakukan besok.

Jauh sebelum berita ini tersebar di jejaring sosial, ramai-ramai orang membicarakannya, aku boleh bangga diri sudah mendengarnya lebih dulu melalui siaran radio, langsung di tempat kejadian peristiwa. Menurutku informasi dari siaran radio lebih akurat dan terpercaya ketimbang media lainnya. Aku yang sedang duduk anteng di ruangan kerja memandang layar komputer berjubel angka-angka, lebih tertarik menyimak pembicaraan rekan kerjaku yang membahas tentang terorisme. Mereka menambahkan buih-buih karangan bahwa bom masih akan meledak di beberapa titik, terutama mal-mal besar.

Jujur saja aku bergidik ngeri membayangkan jaringan teroris yang sudah menyebar luas dan siap meluluh-lantahkan Jakarta, melancarkan misinya di tanah air. Siapapun mereka, apapun namanya, aku tidak akan pernah setuju dengan tindakan anarki tersebut. Setelah dipenuhi cerita ngaler-ngidul di mana saja yang menjadi sasaran keganasan teroris, spontan aku memekik dengan kerasnya, memasang wajah pucat pasi mendengar kata Slipi dan Palmerah.

Oh, Tuhan, aku lupa, benar-benar tidak ingat, kalau seseorang itu, orang yang belakangan ini ingin memperbaiki masa lalunya, bekerja di kawasan Slipi, dan tinggal di daerah Palmerah. Betapa cemas dan khawatirnya perasaanku saat itu. Aku langsung merogoh ponselku, mengirimkan pesan bertanya kabar, berkali-kali menekan nomor teleponnya, menunggu nada sambung terputus oleh sambutan suara cueknya. Namun setengah jam tak ada jua jawaban. Aku benar-benar nyaris putus asa, tak ingin sesuatu buruk menimpanya.

Jantungku serasa ingin copot di tempat, pikiranku mendadak kusut terus terpikirkan dia. “Bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia selamat? Atau…?” Aku benar-benar mencemaskannya. Aku sungguh tidak mampu menghadapi kenyataan terpahit oleh pertanyaan terakhirku yang terpotong di tengah kalimat. Tidak! Aku tidak ingin kehilangannya lagi, kehilangan dia secepat ini.

Satu jam menunggu, dia masih bisu. Dua jam hatiku gelisah, dia sama sekali tidak ada tanda kehidupan. Tiga jam berlalu, oh, Tuhan, aku bahkan tidak dapat bernafas dengan hikmad, selera makanku mendadak hilang. Bukan karena melihat foto korban yang tergeletak naas dengan luka parah di jalan, melainkan terlalu sibuk memikirkan dia seorang. Hingga jam istirahat berakhir, dia belum juga merespon pesan singkat dan panggilan teleponku yang sembilan kali kuulang demi mendengar suaranya.

Di saat aku sudah pasrah menanti jawabannya, dia hanya membalas dengan dua huruf; “Gk,” – maksudnya ‘tidak’. Astaga, aku mengutuk diriku sendiri, bagaimana bisa aku mendapatkan pasangan sedingin dan secuek dia? Sejak tiga jam lalu aku tidak dapat konsentrasi menyusun laporan keuangan, lebih sibuk menerka tentang keadannya, dia hanya membalas malas. Betapa jengkelnya perasaanku mendapat perlakuan itu. Tapi setidaknya aku lega karena dia baik-baik saja. Sebenarnya aku tidak heran dengan sikapnya. Dia memang seperti itu; menyebalkan. Aku sering mengelus dadaku menghadapi sikap dinginnya yang kerap membuatku salah persepsi menanggapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar