Rabu, 15 Desember 2021

PARALEL - BAB 9 #NOVELSERIES

 

Bab 9

SATU KAMAR

 

Albio Vargasbara

 

Musik Sambalado diputar. Lunetta sudah memegang mikropon sambil bersiap menyanyi, sementara Willy Love You bergoyang macam pohon ketiup angin. Semua peserta di dalam bus riuh bersorak-sorai. Ada yang berdiri sambil tepuk tangan mengikuti lagu. Ada juga yang sambil foto selfi dan menggelengkan kepala melihat pasangan duet maut yang kini sedang tampil di depan. Ada juga yang merekam kejadian langka dan ajaib ini. Apalagi kalau bukan sang bos man jadi badut lucu dadakan.

                Gibran maju ke depan dengan tangan yang memegang uang recehan. Sambil berjoged, dia memberikannya pada Lunetta, menirukan gaya penonton organ tunggal yang menyawer sindennya.

“Saya gak disawer juga, Ban?” Mendengar pertanyaan Willy Love You barusan, sontak semua peserta terbahak lagi. Kini Everist yang maju ke depan memberikan saweran untuk Willy Love You tersayang.

Semuanya ikut berdendang dan berjoged. Termasuk ibu tiri yang mulai mau menggerakan badannya mengikuti irama. Willy Love You semakin heboh saja goyangnya. Kacamata hitamnya sekarang ditaruh di atas dahi. Persis mirip Jarwo di film animasi kartun.

Aku leluasa memandangi Lunetta dari atas sampai bawah. Badannya langsing dan berisi. Wajahnya bersih dan menggemaskan. Suaranya pun tidak jelek-jelek amat. Dia pun terlihat pandai berjoged.Pokoknya pemandangan di depan mataku kali ini luar biasa. Aku dengan mudah menjepretnya berkali-kali. Sungguh objek yang sangat indah.

“Colak-colek sambalado alama oy, dicolek sedikit cuma sedikit, tetapi menggigit. Ujung-ujungnya bikin sakit hati.” Lunetta seperti sengaja mencolek lengan Willy Love You. Yang dicolek kegirangan. Jogednya semakin heboh. Penonton pun semakin riuh menyuraki orang pertama yang menjabat sebagai direktur sekaligus vice presiden itu.

“Di dalam lidahmu itu mengandung bara api yang membakar hati. Di dalam lidahmu itu mengandung racun tikus yang mematikannya.” Lunetta tampak lancar dan hafal menyanyikan lagu yang dipopulerkan Ayu Ting-ting tersebut.

Di sela-sela lagu, Lunetta menyuruh kami untuk terus bersemangat bergoyang. “Saweran jangan lupa saweran,” katanya membuat penonton bergantian memberikan saweran untuk pasangan pertama ini. Bu Imelda memberikan saweran paling besar, lembaran merah. Luar biasa. Aku juga jadi kepengen kalau begini ceritanya hehe.

Di kursi tengah, Everist dan Faris berdansa sambil bernyanyi menirukan lagu. Gibran berpasangan dengan Bang Chandra. Sangat amat menjiwai.

Tak tanggung-tanggung, Lunetta sendiri minta tambah lagu. Lagu kedua yang dia bawakan adalah Geboy Mujair. Duh, Willy Love You semakin kesenengan. Semoga saja dia tidak encok setelah jadi badut dadakan.

 

Gibran Handal Pribadi

Lagu kedua Lunetta semakin panas. Peserta semakin tak kuat menahan diri untuk tidak ikut bergoyang. Termasuk diriku yang sedari tadi macam ulat keket. Urat syarafku mendadak tegang nih gara-gara Geboy Mujairnya Lunetta.

Untung saja aku punya uang recehan di dompet. Lumayan buat nyawer Lunetta manggung. Tidak apa-apa deh tekor yang penting dia untung banyak. Apa sih yang nggak buat Neng Lunetta cantik jelita? Jujur saja, di dalam diri Lunetta, dia memiliki banyak kriteria untuk dijadikan istri idaman.

Selain cantik, Lunetta juga pintar, profesional, dan lucu. Membuat aku ingin selalu dekat-dekat dengannya. Mungkin bukan cuma aku saja yang berpikir seperti itu, tapi hampir semua laki-laki akan setuju dengan perkataanku.

“Terima kasih ya atas jogged barengnya. Dan terima kasih buat sawerannya. Kayaknya nanti saya ngamen lagi di villa biar cepet jadi horang kaya dadakan. Ya, gak Pak Wil?” Lunetta tampak kelelahan bernyanyi dan berjoged.

“Iya iya iya.” Willy Love You terlihat ngos-ngosan karena harus berjoged dua lagu sekaligus.

Kalau aku jadi Willy Love You, mungkin Lunetta sudah aku pecat. Tapi, nampaknya PAK BOS sedang bahagia sekali karena bisa jogged dangdut, maka Lunetta pasti akan naik jabatan menjadi asisten pribadinya, mengalahkan jabatan Veronica yang kini senyum-senyum menertawakan Willy Love You yang berbulir keringat.

“Ini tisunya, Pak. Terima kasih ya Pak sudah menghibur dan menginspirasi kami semua.” Ujar Veronica berapi-api sambil memberikan kotak tisu ke Willy Love You. Pak bos langsung menyeka keringatnya dan kembali duduk di kursi penumpang.

“Saya sepertinya harus minum penambah kalsium nih, Bu.” Keluh Willy Love You kepada ibu tiri yang duduk di sebelahnya.

“Hayo, Lunetta, tanggung jawab! sudah bikin Pak Willy encok.” Ibu tiri sambil meneriaki Lunetta yang sedang asyik menghitung jumlah saweran dari penonton.

“Siap Bu, ini lagi saya hitung dulu hasil ngamennya buat beli obat Pak Wil. Nanti kalau ketemu apotek  mampir ya. Hehehe.”

Semua peserta riuh. Bu Tira tertawa kecil. Momen langka bisa menyaksikan seorang nenek lampir tertawa. Mungkin momen bersejarah ini hanya ditemukan saat acara besar saja.

“Ok next ya peserta selanjutnya. Vero kocok ya nama-namanya. Siapa pun yang keluar namanya, harus maju.” Celetuk Veronica sambil menunjukan toples transparan yang ia pegang. Dan aku penasaran siapa ya kira-kira peserta duet kedua?


Everist Firsta

Akhirnya tiba juga di villa. Aku meminta tolong Cupkei, office boy yang super baik, membawakan tas besarku yang berisikan peralatan untuk pentas seni nanti malam. Dua jam perjalanan di bus lumayan melelahkan. Walau pun sebenarnya sangat terhibur dengan acara karokean. Pipi dan peruyku rasanya kram lantaran tertawa sepanjang perjalanan.

Villa berukuran besar dan bercat putih yang dikelilingi warna hijau pepohonan dan birunya gunung, membuat mataku enggan berpaling ke objek yang lain. Namun, tiba-tiba Albio memotretku tanpa aba-aba. Katanya, candid. Kan aku maunya foto berdua sama dia. Eh tapi, kan aku tidak boleh terlalu berharap. Aku harus membuang semua angan-anganku tentang dia.

Sesampainya di resepsionis, Veronica membagikan kunci kamar sesuai daftar nama yang ia buat. Aku kaget karena sekamar dengan Lunetta. Untuk hal teman sekamar, aku memang tidak tahu menahu. Karena yang memilihkan langsung adalah ibu tiri. Tapi, bukannya aku tidak senang sekamar dengan Lunetta. Lagipula dia merupakan teman yang asyik, dan bisa menyimpan rahasia.

Setelah berhasil menemukan nomor kamar, aku langsung menuju toilet untuk menuntaskan hajatku. Sepanjang perjalanan tadi, aku menahan rasa ingin pipis. Aku juga ingin rebahan sebentar di kasur sebelum waktu makan siang dan acara selanjutnya.

“Habis ini acaranya apa, Ev?” Lunetta yang keluar dari toilet, mengelap wajahnya dengan handuk kering.

“Rahasia negara.”

“Yah, gak seru masa pake acara rahasia-rahasiaan segala.” Lunetta duduk di tepian Kasur sambil memakai cream muka andalannya.

“Hehehe, kidding.” Kataku. “Jam 12 siang nanti kita makan sampai jam satu siang di kantin. Jam 2 ada games gemes.”

“Gamesnya ngapain aja?” Tanya Lunetta lagi.

“Nanti lo juga tahu. Si Vero sih yang bikin gamesnya. Gue bagian pentas senin aja nanti malam."

“Oh gitu.” Lunetta memanggutkan kepalanya tanda mengerti.

“Lo tahu gak sih, Ev, semalam Yuki telepon gue. Makannya tadi gue telat bangun. Lama banget dia telepon.”

“Oh ya?” aku terkejut mendengar pengakuan Lunetta barusan. Yuki itu merupakan mantan pacarnya Lunetta. Mereka putus sekitar beberapa bulan yang lalu.

“Iya, beneran. Dia minta balikan.”

“Terus lo jawab apa?”

“Gue gak bisa jawab. Gue bilang mau pikir-pikir dulu.”

Iya, aku tahu kenapa Lunetta ingin berpikir ulang dahulu sebelum memutuskan menjawab iya atau tidak. Karena yang kutahu mereka putus secara tidak baik. Yuki ketahuan selingkuh di depan mata Lunetta sendiri. Dan orang yang diselingkuhi adalah teman baik Lunetta. Wajar kalau dia masih mempertimbangkan akan menerima mantannya kembali atau tidak.

Aku masih ingat betul waktu Lunetta menangis sampai matanya sembab akibat pertengkaran dengan mantan kekasihnya itu. Katanya, “Gue kurang apa sih di mata dia? Kenapa dia sejahat itu? Dia pikir dengan minta maaf semua persoalan selesai? NGGAK.”

“Kok dia bisa hubungin lo lagi? Bukannya lo udah blokir nomor dia?”

“Iya, gue juga gak ngerti kenapa dia masih berusaha ngehubungin gue.”

“Dia pakai nomor baru?”

“Nggak.”

Lunetta merebahkan tubuhnya di kasur, bersisian denganku, bicara dari hati ke hati sebagai perempuan.

“Dia pakai nomor si Vian, temennya dia. Gue pikir kan si Vian yang telepon gue, makanya gue angkat. Takut penting ya kan? Eh gak taunya si kucing garong yang telepon.” Lunetta terdengar menghempaskan napas.

“Tapi lo masih sayang gak sama dia?” Tanyaku ingin tahu.

“Seperti yang lo tahu, gak ada kata toleransi buat segala macam perselingkuhan, Ev. Itu prinsip hidup gue. Dan sayangnya gue ke dia udah lenyap. Kesempatan kedua itu telah habis buat dia. Titik gak akan berubah jadi koma.” Lunetta menarik napas panjang.

Dari nada bicaranya yang berapi-api, aku juga tahu kalau Lunetta masih menyimpan benci pada laki-laki yang sudah dipacarinya tiga tahun terakhir. Dan kini dia sangat menikmati masa jomblonya tanpa ikatan status apa pun.

Kalau aku jadi Lunetta, aku pun pasti melakukan hal yang serupa. Tidak ada toleransi dalam bentuk apa pun untuk perselingkuhan. Sekali sudah selingkuh, dia akan melakukan hal yang sama untuk kedua kali dan seterusnya. Jadi, keputusan Lunetta untuk tidak memberikan kesempatan kedua kurasa sudah benar. Aku sangat mendukung keputusannya itu.

Biar bagaimana pun, semua makhluk di bumi ini berhak bahagia dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Tak terkecuali Lunetta, rekan kerjaku yang kini menjadi saingan terberatku untuk mendapatkan perhatian Albio.

Lunetta, aku tidak ada maksud untuk menjadi sainganmu. Aku sadar diri kalau aku tidak punya kelebihan yang bisa kutunjukan untuk laki-laki macam Albio yang lebih tertarik dengan wanita cantik sepertimu. Aku coba menguatkan hatiku dan mengikhlaskannya sebelum perasaan ini semakin larut.

Nanti malam, aku ingin bertanya langsung pada Lunetta terkait Albio. Apakah laki-laki berkumis tipis itu masuk dalam daftar pencariannya? 


 

Rabu, 08 Desember 2021

PARALEL - BAB 8 #NOVELSERIES

BAB 8

 

Sebulan kemudian

GIBRAN HANDAL PRIBADI

Rasanya sungguh menyenangkan bisa satu tim dengan Lunetta dalam acara pentas seni yang akan diadakan nanti malam. Aku dan Lunetta sudah banyak latihan dalam sepekan terakhir. Meski terhambat dengan tugas kantor dan kunjungan klien, kurasa tak akan jadi masalah bila hasilnya melenceng dengan prediksi awal. Yang terpenting judulnya tampil.

Satu per satu bus pariwisata berdatangan dan parkir di halaman gedung kantor. Para staf karyawan, manager, dan panitia sibuk berlalu-lalang. Tetapi, di mana Lunetta ya? Kenapa dia belum menunjukkan batang hidungnya? Semoga saja dia tidak kesiangan.

Everist dan Albio tampak kompak mengenakan seragam panitia berwarna biru. Sebenarnya semua peserta mengenakan kaos yang sama berwarna biru, tapi khusus panitia, ada logo bendera kebangsaan alias bros di bagian bawah pundak sebelah kanan.

“Cie, best couple tahun ini.”

“Apaan sih.” Everist meninju lengan atasku.

Kenapa ya, tiap kali habis ditonjok Everist, rasanya sakit sekali? Badannya boleh saja kecil, tapi tenaganya bak gajah. Luar biasa!!!

“Lo gak pamitan dulu sama piaraan lo, Nung?” Aku mengusap bahuku bekas tonjokan Everist yang kini lebam.

“Oh, tentu saja. Leon, jaga diri baik-baik ya. Jangan ngelamun. Lusa aku ke sini lagi kok. Ini stok makanan buat kamu dua hari ke depan. Kalau masih lapar, tahan ya. Makan banyak ya, Leon, biar lo gak kelaperan selama gue gak ke kantor. Ok.”

Everist mulai berbicara dengan ikan cupangnya sambil memberikan pelet dan remahan biskuit ke dalam drinking jar bening.

“Gak sekalian lo bawa ke Bandung si Leonnya?”

“Gak ah, kan gue sibuk nanti di sana. Takut dia gak ada yang ngasuh.” Everist membetulkan ikatan tali sepatu yang hampir lepas.  

Bio, gue khawatir lo bakalan ketularan Everist?”

 Albio hanya tertawa menanggapi pertanyaan isengku.

“Ini apaan sih, Nung?” Aku membuka goodie bag milik Everist. Namun, sebelum berhasil mengintip apa isinya, Everist malah memukul tanganku.

“Jangan dibuka, Kampret! Ini rahasia negara.” Everist mengamankan kantung tas berwarna biru berukuran jumbo yang hendak dibuka Faris dan langsung diberikan ke Albio.

“Apaan?” Tanya Albio.

“Bawain, Kampret…” Ya masa gue yang bawain ke bus.

“Kan tenaga lo kayak gajah, Rist. Ya kan, Ban?”

“Yoi. Tangan gue aja abis lo tonjok langsung memar nih.” Kataku sembari cengengesan.

“Dasar para kampret.”

Everist berlalu meninggalkan kami bertiga yang sibuk menghubungi Lunetta. Juga meninggalkan tas jinjing besar agar Albio membantu membawakannya ke dalam bus. Everist memang penuh strategi

 

LUNETTA VERICA

Ya Tuhan, aku kesiangan. Banyak sekali panggilan masuk dari geng cecunguk; Gibran, Albio, dan Faris. Aku sengaja tidak menjawab panggilan telepon mereka, karena lebih mementingkan mandi dan makeup. Untung saja semalam sebelum tidur, aku sudah menyiapkan apa saja yang mesti dibawa. Jadi, setidaknya aku tidak perlu terlalu panik. Tapi, masalahnya aku hanya punya waktu setengah jam lagi menuju jam keberangkatan bus. Bagaimana ini?

Aku buru-buru memesan ojek daring dan meminta abang ojek untuk ngebut menuju kantor. Masa bodoh kalau dandananku luntur diterjang angin dan rambutku acak-acakan lagi.  Yang terpenting aku bisa ikut outing kantor. Kasihan tiga cecunguk pasti mengharapkan aku cepat datang.

Seturun dari ojek, aku berlarian mendekati bus pariwisata yang di sana ada Albio sedang berdiri membawa daftar absen peserta. Everist bilang di chat grup, aku ada di bus 1. Satu rombongan dengan geng cecunguk, Willy Love You, dan ibu tiri.

“Dari mana aja lu, Ta. Dihubungin gak bisa. Iban dan Faris panik banget lu gak datang.”

“Sorry, Bio. Gue gak sempet buka hp. Nguber jam soalnya tadi gue kesiangan.”

“Makanya lain kali jangan begadang nonton drakor.”

“Hahaha, tahu aja lo. Gue di bus 1 kan?”

“Iya, sana gih masuk! Kita tinggal nunggu lo doang nih. Untung aja supirnya bisa diajak kompromi. Gue tahan-tahan jangan dulu, biar lo bisa ikut.” Kata Albio sembari menceklis namaku di daftar kehadiran.

Thanks ya, Bio.”

Aku dan Albio langsung masuk ke dalam bus. Dan, ketika aku muncul di pintu bus, semua orang menyurakiku. Suara Gibran dan Faris yang paling kencang.

“Ini dia artis yang kita tunggu-tunggu. Akhirnya datang juga. Kasih tepuk tangan!!!”

Sialan, Iban. Semua orang yang ada di dalam Bus 1 bertepuk tangan mengikuti perintah Iban. Duh, bikin malu saja.

“Peserta sudah komplit, Bu Tira, kita bisa berangkat sekarang.” Albio laporan ke ibu tiri.

“Lunetta, kamu mandi kan?” Bu Tira memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya ngeri.

“Mandi lah, Bu. Bau dong kalau gak mandi.” Kataku spontan. Ya iya lah aku mandi. Pertanyaan Bu Tira aneh sekali.

“Ok, Pak, kita bisa jalan sekarang.” Bu Tira memerintahkan supir melajukan bus.

“Duduk sama gue, Lun.” Everist memberiku kursi. Namun, entah kenapa aku memilih duduk bersama Iban di bangku sebelah Everist.

“Duh, Lune, gue udah khawatir banget lo gak datang. Nanti partner gue kurang satu..”

Gibran membantuku menaikan tas ransel ke atas jok.

“Iya, gue kesiangan.”

Duh, Gibran pagi ini wangi sekali. Eh, tiap hari juga wangi sih. Tapi, kali ini dia terlihat cool banget. Dengan rambut yang super klimis, dan celana pendek cino yang membuatnya terlingat sangat kasual dan  fashionabel.

“Abis nonton film bokep ya, Lun?” tiba-tiba kepala Faris muncul di atas kepalaku. Kupikir dia monster.

“Enak aja.” Aku menarik rambutFaris yang duduk di belakangku, dan dia mohon ampun agar dilepaskan jenggutannya.

“Jujur aja sih, Lun. Sama kita-kita mah gak usah malu-malu.” Bang Chandra yang duduk sebangku dengan Faris cengar-cengir, ikut meledek

“Ya kali.” Aku mengambil sisir di tas kecil yang sengaja kubawa untuk menyimpan dompet dan benda penting lainnya. Repot kalau harus membongkar isi ransel yang berisi barang bawaan selama di vila nanti.

Bus terhenti di lampu merah. Veronica mengetes microphone dan mulai mengoceh.

“Tes-tes-tes. 1-2-3. Pagi semuanya. Selamat pagi…. Udah sarapan belum nih?” Veronica yang mengenakan rok span di atas lutut, mengedipkan matanya. Duh, kalah saing aku sama dia.

“Pagi, Vero cantik. Belum sarapan nih. Buru-buru soalnya tadi.” Iban di sebelagku iseng menggoda.Yang digoda mesem-mesem manja..

“Belum nih, Vero. Mau dong sarapan ama Vero.” Faris ikut-ikutan menggoda Veronica.

“Neng Vero emang mau nyuapin abang?” Bang Chandra nyengir kuda. Tak peduli di deretan bangku depan ada ibu tiri dan Willy Love you.

Huuuuuuu……

Hampir semua peserta menyuraki ketiga cecunguk ini. Termasuk aku dan Everist yang menyumbang suara dengan volume paling tinggi di antara semuanya. Kuperhatikan Willy Love You ikut tertawa, namun tidak dengan ibu tiri yang sibuk dengan gawainya.

“Nanti dibagikan snack kok, abang-abang gantengkuh….”

Tak lama, Raka dan Devi membagikan bungkusan kotak berisi risoles, roti isi, pudding susu, dan air mineral ke masing-masing peserta. Gibran, Faris, dan Bang Chandra seperti melihat harta karun berharga. Mereka langsung menghabiskan semua isi di dalam kotak tersebut. Macam tidak makan dua hari saja.

 

 

 

 

ALBIO VARGASBARA

Lunetta terlihat ngos-ngosan setelah berlarian ke arah bus usai turun dari ojek daring. Rambutnya di cepol asal, acak-acakan. Mungkin ia tak sempat menyisir rambutnya. Kaos seragam outingnya dia tutupi dengan cardigan berwarna biru tua. Lunetta tampil anggun dengan dandanan sederhana.

Gadis berambut panjang itu memakai celana tiga seperempat dan mengenakan sepatu sneakers berwarana cream yang membalut kakinya yang putih. Ia juga membawa tas ransel besar dan tas selempang kecil yang diseselempangkan di dadanya.

Saat Lunetta mengurai rambutnya dan menyisiri helai demi helai, aku tahu dia memang tidak pernah ingin terlihat buruk di mata orang lain. Laki-laki mana yang tidak suka dengan kerapihan seorang wanita? Buatku, biar pun dia tidak sempat berdandan, Lunetta tetap terlihat sempurna di mataku.

Meski pun kata orang-orang, Lunetta dan Veronica punya nilai yang hampir mirip, yakni 11-12. Buatku Lunetta lebih unggul dibandingkan Veronica. Karena Lunetta lebih dewasa dan professional dalam segala aspek kehidupan. Dia nyaris sempurna bagai bidadari dari khayangan. Oh Tuhan, aku ingin sekali memilikinya. Akan tetapi, semenjak dia sering berdua dengan Gibran kemana pun, kenapa hatiku tak rela? Aku lebih suka dia bergaul dengan siapa saja, daripada harus selalu dengan Gibran.

Alih-alih memerhatikan Lunetta yang masih asyik menyisir rambutnya, Everist memukul tanganku dengan botol air mineral.

“Ngelamunin apaan sih? Sarapan dulu, habis itu lo jadi seksi pemotretan. Fotoin gue yang banyak ya…Hehehe.” Everist menjawil lenganku.

“Kepo deh.” Aku segera bangkit dari kursi penumpang dan mulai memotret lingkungan di sekitar bus. Dari pada mengikuti permintaan Everist yang tidak akan mungkin aku kabulkan, lebih baik aku memperbanyak foto-foto Lunetta. Dan dialah objek manusia pertama yang ada di dalam lensa kamera DSLRku. Hahaha.

“Oke, daripada kita bete dan terpaku sama ponsel masing-masing, mending kita karaokean saja. Setuju gak?” Veronica bicara sangat menggebu-gebu. “Ini udah ada nama-nama peserta. Akan kami kocok dulu ya, nanti Vero buka sekaligus dua nama. Dan nama yang keluar, harus maju dan duet karokean bareng. Hehehe.”

“Lagunya boleh milih gak, Vero?” Tanya Lunetta.

“Boleh gak, Bu?” Veronica bertanya pada Bu Tira.

“Lunetta, kamu duet bareng Bu Tira saja.” Willy Love You tiba-tiba mengusulkan ide konyol.

Aku melihat wajah Lunetta tampak berpikir sejenak. Aku rasa dia sedang berpikir ingin turun dari bus sekarang juga.

“Ah, Bapak. Saya gak bisa nyanyi. Nanti Iban yang wakilin saya, Pak. Ya, kan Ban?”

“Eh, saya juga gak bisa nyanyi, Pak. Suara saya lagi serak-serak becek. Nih, ehem-ehem-ehem.”

Gibran mengeles. Lagian ada-ada saja Winnie the Pooh mengusulkan duet mak lampir dengan karyawan. Yang ada karyawan diterkam oleh BU Tira. Seandainya nama Bu Tira yang keluar, pasti beliau bilang tidak mau menyanyi. Atau, sesuatu yang kutakutkan bila Bu Tira memilih lagu lawas yang kami tidak hafal, bisa jadi sebaliknya. Yang ada dia semakin ingin menelan pasangan duetnya bulat-bulat karena tidak bisa diajak kerjasama.

Sambil mengocok nama-nama peserta yang sudah panitia buat, Veronica menyuruh kami bersiap-siap latihan vocal. Aku sih sudah tidak deg-degan. Namaku sudah aku robek dan kubuang ke dalam tong sampah. Aku tidak akan pernah duet dengan siapa pun di dalam bus ini. Hahahaa. Begini enaknya jadi panitia.

 

 

EVERIST FIRSTA

Bus melaju dengan kecepatan normal di ruas tol menuju Bandung. Aku melihat di kanan dan kiri, mobil-mobil kecil yang melintas bagai gambar animasi yang bergerak-gerak. Lumayan agak senggang, megingat hari ini adalah hari libur akhir pekan.

Sebulan yang lalu, aku melewati jalanan yang sama bersama Albio, saat hendak survey lokasi gatering atas perintah Willy Love You dan Mak Lampir. Saat itu, aku bagaikan orang bodoh karena harus cemburu pada rekan kerjaku sendiri.

Aku ingin membuang perasaan itu dan membunuhnya perlahan. Namun, semakin aku berusaha memusnahkan perasaan itu, semakin menyayat perih. Canggung rasanya saat aku harus menyembunyikan sembilu nan pilu di relung kalbu.

Please, Everist, meski ini sangat sulit, kamu pasti bisa menghadapi kenyataan pahit ini. Aku mencoba menguatkan hati, bahwa cinta tak mesti saling memiliki. Seperti lagu yang sering kudengar. Kedengarannya sangat sepele, tapi ini butuh perjuangan. Huaaa… Rasanya aku ingin kabur saja dari bus pariwisata yang sedang kutumpangi ini. Menghilang dalam kesunyian, dan hanya Tuhan yang boleh tahu perasaanku, mereka jangan.

Kehembuskan napas berkali-kali, agar detak jantungku tetap berdegup normal. Seolah tidak terjadi apa pun di dalam hatiku yang kalut ini.

“Nama yang keluar pertama adalah….” Veronica menjadi pusat perhatian di bus, tangannya mengambil gulungan kertas kecil dari toples bening dan membuka kertas tersebut. Saudah pasti nama-nama yang keluar yang berada di dalam bus 1 ini. Untung saja aku sudah mengamankan namaku di toples itu. Aku sudah menyobek namaku dan membuangnya di WC kantor. Aman deh, tidak akan ada calon duet karokean denganku. Hahaha. Sekali-kali, panitia boleh main curang kan?

“Ayo tebak siapa yang  keluar namanya?” Veronica memancing penasaran peserta.

Faris berteriak paling kencang, “Jangan gue, jangan gue. Plisss…”

“Buru, Ver, kepo banget gue.” Lunetta smash Veronica.

“Oke-oke, nama yang pertama keluar adalah… Jeng jeng jeng… Bapak William, Vice President kita… Dipersilakan maju ya Pak, gak boleh nolak.”Vero menjemput Willy Love You yang bingung tak percaya namanya ada di toples transparan tersebut.

“Semangat ya, Pak Willy… Duh, akhirnya bisa dengar Bapak nyanyi…”

Veronica tampak sumringah menggandeng atasannya yang tampil kece dengan syal di leher dan kacamata hitam berbalut kaos seragam berwarna biru dan celana pendek. Duh, Willy Love You mau ke puncak atau ke pantai sih? Aku jadi salah fokus jadinya.

“Nah, nama kedua nih. Siap-siap ya semuanyaaaa….”

Seandainya namaku ada di sana, aku pasti sudah deg-degan sedari tadi. Tapi, aku cukup penasaran siapa nama kedua yang keluar.

Tanpa ba-bi-bu, Veronica menyebutkan dengan lantang melalui microphone nama yang keluar dari toples, “LUNETTA!!!”

Oow, orang yang ada di pikiranku malah keluar nih. Padahal tadi dia yang menggebu-gebu ingin tahu nama peserta pertama yang keluar. Dan ternyata nama kedua adalah dia sendiri. Semangat Lun, Albio pasti sangat senang  dapat mendengar suara merdu dan melihat wajah ayumu. Dan aku siap-siap menelan cemburu.

“Maju, Lunetta! Maju, Lunetta!, Maju Lunetta…”

Suara peserta lain riuh menyuruh Lunetta berdiri dan maju ke depan menjadi pasangan duet Willy Love You.

“Kok gue sih, ah curang nih Vero. Pasti settingan nih.”Luentta tampak enggan menjadi partner duet sang bos man yang sudah siap menyambut di muka bus.

“Nggak kok, Vero acak ambilnya. Tadi dibantuin kocok sama Devi.” Veronica bersikukuh kalau dirinya main fair. Sementara itu, peserta lain terus meneriaki Lunetta agar segera berduet dengan pak bos super kece tahun ini.

Karena saking gemasnya, Gibran dan Faris sampai menarik Lunetta agar mau berdiri. Gibran dan Faris mengantar Lunetta hingga ke depan.

“Pagi semua, perkenalkan, saya bodyguard pribadi Lunetta.” Faris dan Gibran menundukan kepala dan kembali ke kursi masing-masing, seolah mereka mendalami peran akting. Aku terbahak paling keras.

“Ahh,,, gak mauuuu… Tapi, kalau nolak takut dipecat sama Pak Willy.”

Lunetta mengibaskan rambut panjangnya. Menirukan gaya Veronica kalau lagi kecentilan di kantor. Semua peserta tertawa lagi. Aku harus selalu terlihat ceria di depan orang banyak.

“Bapak sukanya lagu apa? Saya manut saja.” Tukas Lunetta mempersilakan Pak Willy memilih lagu lebih dulu.

“Saya tidak bisa nyanyi. Gimana kalau kamu yang nyanyi, saya yang joged?”

Hah? Willy Love You membuat ide yang sungguh cemerlang. Belum juga lagu diputar, perutku sudah sakit efek terbahak tak henti-henti. Lucu saja membayangkan Willy Love you bergoyang seperti badut mampang.

Akhirnya Lunetta setuju dengan gagasan sang bos man. Siap tidak siap mereka harus memberikan hiburan yang spektakuler. Lunetta terlihat pasrah. Veronica dan Albio membantu Lunetta mencarikan lagu yang cocok untuk pasangan duet karoke pertama. Dan apakah kalian tahu lagu apa?

Oh no, Lunetta memilih lagu dangdut? Sudah kubayangkan Willy Love You yang mengenakan celana pendek selutut dan kacamata hitam itu benar-benar goyang ngebor mirip badut kaku.

 

 

BERSAMBUNG YA, GENGS....NANTIKAN EPISODE BERIKUTNYA PAK BOS JOGED DANGDUTAN. LEBIH LINCAH MANA YA SAMA GIBRAN DAN FARIS? HEHEHE

 

Baca Juga bab sebelumnya ya 

http://aboutnalla.blogspot.com/2021/11/paralel-bab-7-novelseries.html