Bab 9
SATU KAMAR
Albio Vargasbara
Musik Sambalado diputar. Lunetta sudah memegang mikropon
sambil bersiap menyanyi, sementara Willy Love You bergoyang macam pohon ketiup
angin. Semua peserta di dalam bus riuh bersorak-sorai. Ada yang berdiri sambil
tepuk tangan mengikuti lagu. Ada juga yang sambil foto selfi dan menggelengkan
kepala melihat pasangan duet maut yang kini sedang tampil di depan. Ada juga yang merekam kejadian langka dan ajaib ini. Apalagi kalau bukan sang bos man jadi badut lucu dadakan.
Gibran maju ke depan dengan tangan yang memegang uang recehan. Sambil berjoged, dia memberikannya pada Lunetta, menirukan gaya penonton organ tunggal yang menyawer sindennya.
“Saya gak disawer juga, Ban?” Mendengar pertanyaan Willy Love You barusan, sontak semua peserta terbahak lagi. Kini Everist yang maju ke depan memberikan saweran untuk Willy Love You tersayang.
Semuanya ikut berdendang dan berjoged. Termasuk ibu tiri yang mulai mau menggerakan badannya mengikuti irama. Willy Love You semakin heboh saja goyangnya. Kacamata hitamnya sekarang ditaruh di atas dahi. Persis mirip Jarwo di film animasi kartun.
Aku leluasa memandangi Lunetta dari atas sampai bawah. Badannya langsing dan berisi. Wajahnya bersih dan menggemaskan. Suaranya pun tidak jelek-jelek amat. Dia pun terlihat pandai berjoged.Pokoknya pemandangan di depan mataku kali ini luar biasa. Aku dengan mudah menjepretnya berkali-kali. Sungguh objek yang sangat indah.
“Colak-colek sambalado alama oy, dicolek sedikit cuma sedikit, tetapi menggigit. Ujung-ujungnya bikin sakit hati.” Lunetta seperti sengaja mencolek lengan Willy Love You. Yang dicolek kegirangan. Jogednya semakin heboh. Penonton pun semakin riuh menyuraki orang pertama yang menjabat sebagai direktur sekaligus vice presiden itu.
“Di dalam lidahmu itu mengandung bara api yang membakar hati. Di dalam lidahmu itu mengandung racun tikus yang mematikannya.” Lunetta tampak lancar dan hafal menyanyikan lagu yang dipopulerkan Ayu Ting-ting tersebut.
Di sela-sela lagu, Lunetta menyuruh kami untuk terus bersemangat bergoyang. “Saweran jangan lupa saweran,” katanya membuat penonton bergantian memberikan saweran untuk pasangan pertama ini. Bu Imelda memberikan saweran paling besar, lembaran merah. Luar biasa. Aku juga jadi kepengen kalau begini ceritanya hehe.
Di kursi tengah, Everist dan Faris berdansa sambil bernyanyi
menirukan lagu. Gibran berpasangan dengan Bang Chandra. Sangat amat menjiwai.
Tak tanggung-tanggung, Lunetta sendiri minta tambah lagu. Lagu kedua yang dia bawakan adalah Geboy Mujair. Duh, Willy Love You semakin kesenengan. Semoga saja dia tidak encok setelah jadi badut dadakan.
Gibran Handal Pribadi
Lagu kedua Lunetta semakin panas. Peserta semakin tak kuat menahan diri untuk tidak ikut bergoyang. Termasuk diriku yang sedari tadi macam ulat keket. Urat syarafku mendadak tegang nih gara-gara Geboy Mujairnya Lunetta.
Untung saja aku punya uang recehan di dompet. Lumayan buat nyawer Lunetta manggung. Tidak apa-apa deh tekor yang penting dia untung banyak. Apa sih yang nggak buat Neng Lunetta cantik jelita? Jujur saja, di dalam diri Lunetta, dia memiliki banyak kriteria untuk dijadikan istri idaman.
Selain cantik, Lunetta juga pintar, profesional, dan lucu. Membuat aku ingin selalu dekat-dekat dengannya. Mungkin bukan cuma aku saja yang berpikir seperti itu, tapi hampir semua laki-laki akan setuju dengan perkataanku.
“Terima kasih ya atas jogged barengnya. Dan terima kasih buat sawerannya. Kayaknya nanti saya ngamen lagi di villa biar cepet jadi horang kaya dadakan. Ya, gak Pak Wil?” Lunetta tampak kelelahan bernyanyi dan berjoged.
“Iya iya iya.” Willy Love You terlihat ngos-ngosan karena harus berjoged dua lagu sekaligus.
Kalau aku jadi Willy Love You, mungkin Lunetta sudah aku pecat. Tapi, nampaknya PAK BOS sedang bahagia sekali karena bisa jogged dangdut, maka Lunetta pasti akan naik jabatan menjadi asisten pribadinya, mengalahkan jabatan Veronica yang kini senyum-senyum menertawakan Willy Love You yang berbulir keringat.
“Ini tisunya, Pak. Terima kasih ya Pak sudah menghibur dan menginspirasi kami semua.” Ujar Veronica berapi-api sambil memberikan kotak tisu ke Willy Love You. Pak bos langsung menyeka keringatnya dan kembali duduk di kursi penumpang.
“Saya sepertinya harus minum penambah kalsium nih, Bu.” Keluh Willy Love You kepada ibu tiri yang duduk di sebelahnya.
“Hayo, Lunetta, tanggung jawab! sudah bikin Pak Willy encok.” Ibu tiri sambil meneriaki Lunetta yang sedang asyik menghitung jumlah saweran dari penonton.
“Siap Bu, ini lagi saya hitung dulu hasil ngamennya buat beli obat Pak Wil. Nanti kalau ketemu apotek mampir ya. Hehehe.”
Semua peserta riuh. Bu Tira tertawa kecil. Momen langka bisa menyaksikan seorang nenek lampir tertawa. Mungkin momen bersejarah ini hanya ditemukan saat acara besar saja.
“Ok next ya peserta selanjutnya. Vero kocok ya nama-namanya. Siapa pun yang keluar namanya, harus maju.” Celetuk Veronica sambil menunjukan toples transparan yang ia pegang. Dan aku penasaran siapa ya kira-kira peserta duet kedua?
Everist Firsta
Akhirnya tiba juga di villa. Aku meminta tolong Cupkei, office boy yang super baik, membawakan tas besarku yang berisikan peralatan untuk pentas seni nanti malam. Dua jam perjalanan di bus lumayan melelahkan. Walau pun sebenarnya sangat terhibur dengan acara karokean. Pipi dan peruyku rasanya kram lantaran tertawa sepanjang perjalanan.
Villa berukuran besar dan bercat putih yang dikelilingi warna hijau pepohonan dan birunya gunung, membuat mataku enggan berpaling ke objek yang lain. Namun, tiba-tiba Albio memotretku tanpa aba-aba. Katanya, candid. Kan aku maunya foto berdua sama dia. Eh tapi, kan aku tidak boleh terlalu berharap. Aku harus membuang semua angan-anganku tentang dia.
Sesampainya di resepsionis, Veronica membagikan kunci kamar sesuai daftar nama yang ia buat. Aku kaget karena sekamar dengan Lunetta. Untuk hal teman sekamar, aku memang tidak tahu menahu. Karena yang memilihkan langsung adalah ibu tiri. Tapi, bukannya aku tidak senang sekamar dengan Lunetta. Lagipula dia merupakan teman yang asyik, dan bisa menyimpan rahasia.
Setelah berhasil menemukan nomor kamar, aku langsung menuju toilet untuk menuntaskan hajatku. Sepanjang perjalanan tadi, aku menahan rasa ingin pipis. Aku juga ingin rebahan sebentar di kasur sebelum waktu makan siang dan acara selanjutnya.
“Habis ini acaranya apa, Ev?” Lunetta yang keluar dari toilet, mengelap wajahnya dengan handuk kering.
“Rahasia negara.”
“Yah, gak seru masa pake acara rahasia-rahasiaan segala.” Lunetta duduk di tepian Kasur sambil memakai cream muka andalannya.
“Hehehe, kidding.” Kataku. “Jam 12 siang nanti kita makan sampai jam satu siang di kantin. Jam 2 ada games gemes.”
“Gamesnya ngapain aja?” Tanya Lunetta lagi.
“Nanti lo juga tahu. Si Vero sih yang bikin gamesnya. Gue bagian pentas senin aja nanti malam."
“Oh gitu.” Lunetta memanggutkan kepalanya tanda mengerti.
“Lo tahu gak sih, Ev, semalam Yuki telepon gue. Makannya tadi gue telat bangun. Lama banget dia telepon.”
“Oh ya?” aku terkejut mendengar pengakuan Lunetta barusan. Yuki itu merupakan mantan pacarnya Lunetta. Mereka putus sekitar beberapa bulan yang lalu.
“Iya, beneran. Dia minta balikan.”
“Terus lo jawab apa?”
“Gue gak bisa jawab. Gue bilang mau pikir-pikir dulu.”
Iya, aku tahu kenapa Lunetta ingin berpikir ulang dahulu sebelum memutuskan menjawab iya atau tidak. Karena yang kutahu mereka putus secara tidak baik. Yuki ketahuan selingkuh di depan mata Lunetta sendiri. Dan orang yang diselingkuhi adalah teman baik Lunetta. Wajar kalau dia masih mempertimbangkan akan menerima mantannya kembali atau tidak.
Aku masih ingat betul waktu Lunetta menangis sampai matanya sembab akibat pertengkaran dengan mantan kekasihnya itu. Katanya, “Gue kurang apa sih di mata dia? Kenapa dia sejahat itu? Dia pikir dengan minta maaf semua persoalan selesai? NGGAK.”
“Kok dia bisa hubungin lo lagi? Bukannya lo udah blokir nomor dia?”
“Iya, gue juga gak ngerti kenapa dia masih berusaha ngehubungin gue.”
“Dia pakai nomor baru?”
“Nggak.”
Lunetta merebahkan tubuhnya di kasur, bersisian denganku, bicara dari hati ke hati sebagai perempuan.
“Dia pakai nomor si Vian, temennya dia. Gue pikir kan si Vian yang telepon gue, makanya gue angkat. Takut penting ya kan? Eh gak taunya si kucing garong yang telepon.” Lunetta terdengar menghempaskan napas.
“Tapi lo masih sayang gak sama dia?” Tanyaku ingin tahu.
“Seperti yang lo tahu, gak ada kata toleransi buat segala macam perselingkuhan, Ev. Itu prinsip hidup gue. Dan sayangnya gue ke dia udah lenyap. Kesempatan kedua itu telah habis buat dia. Titik gak akan berubah jadi koma.” Lunetta menarik napas panjang.
Dari nada bicaranya yang berapi-api, aku juga tahu kalau Lunetta masih menyimpan benci pada laki-laki yang sudah dipacarinya tiga tahun terakhir. Dan kini dia sangat menikmati masa jomblonya tanpa ikatan status apa pun.
Kalau aku jadi Lunetta, aku pun pasti melakukan hal yang serupa. Tidak ada toleransi dalam bentuk apa pun untuk perselingkuhan. Sekali sudah selingkuh, dia akan melakukan hal yang sama untuk kedua kali dan seterusnya. Jadi, keputusan Lunetta untuk tidak memberikan kesempatan kedua kurasa sudah benar. Aku sangat mendukung keputusannya itu.
Biar bagaimana pun, semua makhluk di bumi ini berhak bahagia dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Tak terkecuali Lunetta, rekan kerjaku yang kini menjadi saingan terberatku untuk mendapatkan perhatian Albio.
Lunetta, aku tidak ada maksud untuk menjadi sainganmu. Aku sadar diri kalau aku tidak punya kelebihan yang bisa kutunjukan untuk laki-laki macam Albio yang lebih tertarik dengan wanita cantik sepertimu. Aku coba menguatkan hatiku dan mengikhlaskannya sebelum perasaan ini semakin larut.
Nanti malam, aku ingin bertanya langsung pada Lunetta terkait Albio. Apakah laki-laki berkumis tipis itu masuk dalam daftar pencariannya?